Sinyal Dedolarisasi Makin Kuat, Pengaruh Dolar di Pasar Minyak Mulai Hilang

Selasa, 05 September 2023 - 17:56 WIB
loading...
Sinyal Dedolarisasi...
Pengaruh dolar AS di pasar minyak global disebut mulai menghilang. Foto/Ilustrasi/Reuters
A A A
JAKARTA - Di tengah wacana luas mengenai melemahnya pengaruh dolar AS, analis di salah satu bank melihat satu pasar komoditas mulai menjauh dari mata uang tersebut. Saat menganalisis korelasi dolar terhadap harga minyak mentah internasional, analis di JPMorgan memperingatkan dalam laporannya bahwa peran penting greenback - sebutan lain dolar AS - akan segera berkurang.

"Dolar AS, salah satu pendorong utama harga minyak global, tampaknya kehilangan pengaruhnya yang dulu sangat kuat," tulis Natasha Kaneva, kepala strategi komoditas global di JPMorgan, dalam laporannya, seperti dikutip Bussines Insider, Selasa (5/9/2023).

Analis tersebut menarik kesimpulannya dengan melihat dampak penguatan dolar terhadap harga minyak. Hubungan ini terjadi karena dolar secara tradisional berkorelasi terbalik dengan harga minyak – artinya ketika nilai dolar naik, harga minyak turun, dan sebaliknya. Korelasi ini terjadi karena perdagangan minyak internasional biasanya menggunakan mata uang greenback, sehingga permintaan terhadap komoditas tersebut menurun ketika nilai dolar menguat.



Antara tahun 2005 dan 2013, kenaikan 1% pada dolar AS – yang mengukur nilai greenback relatif terhadap sekeranjang mata uang asing lainnya – akan menurunkan harga minyak mentah Brent yang menjadi patokan internasional sekitar 3%, menurut data dari JPMorgan.

Namun, harga minyak mentah Brent tercatat hanya turun 0,2% dengan kenaikan 1% pada dolar AS antara tahun 2014 dan 2022, yang menunjukkan berkurangnya pengaruh greenback dalam perdagangan komoditas tersebut. JPMorgan dalam laporannya menyimpulkan, tren ini terjadi karena lebih banyak minyak yang ditransaksikan dalam mata uang non-dolar, seperti yuan China.

Memang, pembeli utama energi - China - telah menggunakan yuan untuk hampir seluruh minyak Rusia yang dibelinya selama setahun terakhir, menurut laporan Reuters pada bulan Mei, mengutip beberapa eksekutif perdagangan yang mengetahui langsung masalah tersebut. Minyak Rusia – yang kini tunduk pada pembatasan perdagangan internasional – juga dijual dalam mata uang lokal pembeli atau dalam mata uang negara-negara yang dianggap bersahabat oleh Rusia, tambah Kaneva dalam laporannya.

"Secara keseluruhan, kami menemukan bahwa pentingnya dolar telah menurun secara signifikan dari tahun 2014 hingga 2022," ungkap Jahangir Aziz, kepala penelitian ekonomi pasar berkembang di JP Morgan, dalam laporan tersebut.

Dia mengatakan sulit untuk mengabaikan perubahan ini, bahkan jika hal ini disebabkan oleh penguatan dolar pasca-pandemi dan ketegangan geopolitik – seperti sanksi yang dilakukan negara-negara Barat terhadap Rusia atas invasi mereka ke Ukraina yang membuat negara-negara lain waspada terhadap potensi konsekuensi jika berseberangan dengan Washington.



Yang pasti, dolar AS masih mempertahankan dominasinya dengan pangsa penggunaan umum melalui sistem pembayaran SWIFT lebih dari 40% - jauh lebih tinggi dibandingkan euro yang sekitar 25% dan yuan sekitar 3% pada Juli 2023.

Meskipun JPMorgan kini memperkirakan akan terjadi "dedolarisasi marginal", namun lajunya diperkirakan tidak akan terjadi dengan cepat. Hal ini karena dolar terlalu banyak digunakan dalam ekosistem keuangan global yang luas. "Sebaliknya, dedolarisasi parsial – di mana renminbi mengambil alih beberapa fungsi dolar saat ini di antara negara-negara non-blok dan mitra dagang China – lebih masuk akal, terutama dengan latar belakang persaingan strategis," tambah analis bank tersebut.

Ini bukan pertama kalinya raksasa perbankan tersebut menyebut adanya tren dedolarisasi. Pada bulan Juni, analis bank tersebut mengatakan bahwa "beberapa tanda dedolarisasi mulai muncul," karena porsi dolar dalam cadangan devisa turun ke rekor terendah. JPMorgan mencatat dalam laporannya pada hari Kamis bahwa porsi dolar dalam volume cadangan devisa telah turun ke rekor terendah 58% pada tahun 2022 dari 73% pada tahun 2001.
(fjo)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2116 seconds (0.1#10.140)