Cara Hitung Paling Adil Divestasi Saham Freeport 10,64%
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dan PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga saat ini belum menemui titik temu divestasi saham Freeport sebesar 10,64%. Sejak April lalu, sampai saat ini belum ada kemajuan berarti pelepasan saham perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut karena perbedaan perhitungan besaran divestasi.
(Baca Juga: Indonesia Dinilai Tak Sanggup Beli Saham Freeport
Pemerintah memakai perhitungan dengan metode cost replacement yang kemudian diubah dan pihak Freeport menggunakan metode fear value. Kedua pihak memiliki hitungan masing-masing mengenai harga yang dinilai fair untuk saham tersebut.
Saat ini, pemerintah telah memiliki saham Freeport sebanyak 9,36% dan selanjutnya akan membeli 10,64% saham raksasa tambang AS itu lagi agar porsi kepemilikan Indonesia mencapai 20%. Divestasi saham dilakukan secara bertahap hingga pada akhirnya nanti pemerintah memiliki 51% saham Freeport.
Freeport sendiri menawarkan harga untuk 10,64% saham divestasi sebesar USD1,7 miliar. Pemerintah menganggap harga tersebut masih kemahalan, karena dari hitungan pemerintah harganya hanya sekitar USD630 juta.
Direktur Eksekutif Center Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, dalam revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 tahun 2013 pemerintah telah mengubah cara perhitungan harga saham divestasi dari sebelumnya penggantian biaya yang dikeluarkan (replacement cost) menjadi harga pasar yang wajar (fair market value). Namun, kedua metode tersebut dianggap masih belum adil untuk kedua belah pihak.
"Kalau di Permen 27/2013 itu replacement cost, sekarang diubah jadi fair market value (penggantian dengan menggunakan harga saat ini). Keduanya belum mencerminkan fairness, ini yang jadi persoalan," katanya di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Dia menjabarkan, metode replacement cost tidak bisa digunakan untuk penghitungan saham divestasi karena pemerintah akan dianggap seolah hanya memberikan angin surga untuk investor. Sebab, harga saham hanya dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menemukan cadangan tersebut.
"Kalau pakai replacement hanya mengganti apa yang dikeluarkan. Ini preseden buruk karena seolah memberi kesempatan janji surga orang masuk, begitu selesai pengembangannya lalu diambil saham. Itu tidak fair, hanya mengganti apa yang dikeluarkan tapi tidak mengganti ekspektasi alasan orang masuk," imbuh dia.
Dengan metode tersebut, katanya, pemerintah sejatinya memiliki kesanggupan untuk membeli saham divestasi Freeport. Namun, cara tersebut dianggap tidak fair dan akan berpotensi menyeret Indonesia ke arbitrase internasional.
"Kalau tidak fair, solusinya pasti ke arbitrase yang akan diambil perusahaan. Kalau dibawa ke arbitrase, agaknya pemerintah kalah. Itu cukup jelas klausul (di KK). Kita kemungkinan akan membayar kompensasi lebih besar dibanding 51% saham itu. Itu malah merugikan," terangnya.
Sementara metode fair market value dianggap tidak cocok. Sebab, fair market value digunakan untuk aset yang ada perbandingan (comparable) nya. Sedangkan aset tambang bawah tanah (underground mining) Freeport dianggap tidak ada perbandingannya.
Menurutnya, metode penghitungan divestasi yang tepat adalah metode income atau discounted cashflow. Dengan metode tersebut, maka penghitungan harga saham divestasi akan memasukkan ekspektasi pendapatan (revenue) dan keuntungan (profit) dari yang diharapkan perusahaan.
"Metode income lebih tepat karena ada ekspektasi revenue dan profit yang diharapkan. Supaya fair, kita jangan menghitung semua cadangan. Itu tinggi sekali. Tapi kira-kira going concern perusahaan ini berapa tahun. Misal 20 atau 50 tahun. itu lebih fair. Tinggal menunjuk appraisal yang independen, supaya menggunakan metode yang independen. Jadi bukan Freeport atau pemerintah yang menggunakan metode sendiri. Kalau perlu dari asing, supaya lebih fair," tandasnya.
(Baca Juga: Indonesia Dinilai Tak Sanggup Beli Saham Freeport
Pemerintah memakai perhitungan dengan metode cost replacement yang kemudian diubah dan pihak Freeport menggunakan metode fear value. Kedua pihak memiliki hitungan masing-masing mengenai harga yang dinilai fair untuk saham tersebut.
Saat ini, pemerintah telah memiliki saham Freeport sebanyak 9,36% dan selanjutnya akan membeli 10,64% saham raksasa tambang AS itu lagi agar porsi kepemilikan Indonesia mencapai 20%. Divestasi saham dilakukan secara bertahap hingga pada akhirnya nanti pemerintah memiliki 51% saham Freeport.
Freeport sendiri menawarkan harga untuk 10,64% saham divestasi sebesar USD1,7 miliar. Pemerintah menganggap harga tersebut masih kemahalan, karena dari hitungan pemerintah harganya hanya sekitar USD630 juta.
Direktur Eksekutif Center Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, dalam revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 tahun 2013 pemerintah telah mengubah cara perhitungan harga saham divestasi dari sebelumnya penggantian biaya yang dikeluarkan (replacement cost) menjadi harga pasar yang wajar (fair market value). Namun, kedua metode tersebut dianggap masih belum adil untuk kedua belah pihak.
"Kalau di Permen 27/2013 itu replacement cost, sekarang diubah jadi fair market value (penggantian dengan menggunakan harga saat ini). Keduanya belum mencerminkan fairness, ini yang jadi persoalan," katanya di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Dia menjabarkan, metode replacement cost tidak bisa digunakan untuk penghitungan saham divestasi karena pemerintah akan dianggap seolah hanya memberikan angin surga untuk investor. Sebab, harga saham hanya dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menemukan cadangan tersebut.
"Kalau pakai replacement hanya mengganti apa yang dikeluarkan. Ini preseden buruk karena seolah memberi kesempatan janji surga orang masuk, begitu selesai pengembangannya lalu diambil saham. Itu tidak fair, hanya mengganti apa yang dikeluarkan tapi tidak mengganti ekspektasi alasan orang masuk," imbuh dia.
Dengan metode tersebut, katanya, pemerintah sejatinya memiliki kesanggupan untuk membeli saham divestasi Freeport. Namun, cara tersebut dianggap tidak fair dan akan berpotensi menyeret Indonesia ke arbitrase internasional.
"Kalau tidak fair, solusinya pasti ke arbitrase yang akan diambil perusahaan. Kalau dibawa ke arbitrase, agaknya pemerintah kalah. Itu cukup jelas klausul (di KK). Kita kemungkinan akan membayar kompensasi lebih besar dibanding 51% saham itu. Itu malah merugikan," terangnya.
Sementara metode fair market value dianggap tidak cocok. Sebab, fair market value digunakan untuk aset yang ada perbandingan (comparable) nya. Sedangkan aset tambang bawah tanah (underground mining) Freeport dianggap tidak ada perbandingannya.
Menurutnya, metode penghitungan divestasi yang tepat adalah metode income atau discounted cashflow. Dengan metode tersebut, maka penghitungan harga saham divestasi akan memasukkan ekspektasi pendapatan (revenue) dan keuntungan (profit) dari yang diharapkan perusahaan.
"Metode income lebih tepat karena ada ekspektasi revenue dan profit yang diharapkan. Supaya fair, kita jangan menghitung semua cadangan. Itu tinggi sekali. Tapi kira-kira going concern perusahaan ini berapa tahun. Misal 20 atau 50 tahun. itu lebih fair. Tinggal menunjuk appraisal yang independen, supaya menggunakan metode yang independen. Jadi bukan Freeport atau pemerintah yang menggunakan metode sendiri. Kalau perlu dari asing, supaya lebih fair," tandasnya.
(akr)