Bareng PHE ONWJ, Buruh Pengupas Rajungan Sukses Merintis Bisnis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tengah malam lewat beberapa jam, Iin Inani sudah bersiap berangkat kerja dan menghadapi angin dingin pesisir Utara Jawa. PT Rajungan, tempatnya bekerja berjarak sekitar 10 menit jalan kaki dari rumahnya. Berlokasi tepat di samping muara Dusun Pasir Putih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang.
PT Rajungan, begitu sebutan warga sekitar, merupakan sentra usaha rumahan yang tersebar di sepanjang muara Pasir Putih. Dikutip dari dokumen social mapping Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), pada 2022, sekali melaut, nelayan di Pasir Putih bisa menangkap 5-10 kilogram rajungan atau 1,5 sampai 2 ton rajungan.
Rajungan hasil tangkapan nelayan ini sebagian besar langsung diolah dengan cara dikupas, dipisah daging dan cangkang. Bahkan rajungan kupas ini memiliki nilai komoditas dagang cukup tinggi, yang diekspor sampai ke berbagai negara seperti India dan Amerika Serikat.
Sebelum mendarat, para nelayan merebus rajungan hasil tangkapan sampai matang melalui kompor dan tungku yang ada di kapal. Tujuannya, agar rajungan tetap segar saat diolah dan siap dikupas. Begitu mendarat, berplastik-plastik rajungan itu diturunkan, disimpan ke dalam cooler box berisi es, lalu langsung dikupas puluhan ibu-ibu di sentra usaha pengupas rajungan. Iin salah satu karyawan di sana.
Sebenarnya, istilah karyawan sama sekali tidak tepat. Karena sentra pengupas rajungan itu hanya usaha rumahan tanpa sistem kontrak kerja. Jam kerja Iin dan ibu-ibu lainnya berkisar 14 sampai 16 jam. Dari jam dua subuh sampai enam sore. Mereka dibayar harian. Jika hari sedang baik dan pekerjaan lancar, mereka bawa pulang uang maksimal Rp 300 ribu. Jika nasib sedang apes, upah Rp 100 ribu sehari yang masuk kantong.
"Kami dibayar per pekerjaan. Misal, jika mengupas lam atau dada kembang, upahnya Rp 18 ribu per kilo. Di tempat kerja sudah ada petugas yang mencatat hasil kerja ibu-ibu di buku. Dada kembang itu paling sudah, sekaligus juga paling mahal upahnya," jelas Iin.
Dari jauh, penghasilan Rp 300 ribu per hari terlihat besar. Dari dekat, upah itu sebanding dengan risiko kesehatan, ungkap Iin kepada wartawan, Jumat (8/9/2023).
Di tahun 2021, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Karawang menyampaikan data jumlah penduduk kategori miskin ekstrem di Karawang mencapai 106.780 jiwa. Indikatornya, seorang penduduk masuk kategori miskin ekstrem apabila pendapatannya Rp 11 ribu per hari atau di bawahnya. Desa Sukajaya, tempat tinggal Iin, jadi salah satu desa berpenduduk miskin ekstrem terbanyak di Karawang bersama 25 desa lainnya.
Iin mengakui masih banyak penduduk di Sukajaya berniat atau sudah bekerja di luar negeri sebagai buruh migran Indonesia untuk menghidupi keluarga. Data menyebut, ada 125 TKI/TKW di Desa Sukajaya. Ada anggapan kuat di kalangan masyarakat kalau profesi ini bisa menaikkan derajat keluarga. Padahal, menjalani profesi sebagai buruh migran Indonesia, ibarat bermain judi. Kadang dapat majikan baik, kadang tidak. Iin, ibu beranak tiga ini, yang dapat meruntuhkan anggapan tersebut.
PT Rajungan, begitu sebutan warga sekitar, merupakan sentra usaha rumahan yang tersebar di sepanjang muara Pasir Putih. Dikutip dari dokumen social mapping Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), pada 2022, sekali melaut, nelayan di Pasir Putih bisa menangkap 5-10 kilogram rajungan atau 1,5 sampai 2 ton rajungan.
Rajungan hasil tangkapan nelayan ini sebagian besar langsung diolah dengan cara dikupas, dipisah daging dan cangkang. Bahkan rajungan kupas ini memiliki nilai komoditas dagang cukup tinggi, yang diekspor sampai ke berbagai negara seperti India dan Amerika Serikat.
Sebelum mendarat, para nelayan merebus rajungan hasil tangkapan sampai matang melalui kompor dan tungku yang ada di kapal. Tujuannya, agar rajungan tetap segar saat diolah dan siap dikupas. Begitu mendarat, berplastik-plastik rajungan itu diturunkan, disimpan ke dalam cooler box berisi es, lalu langsung dikupas puluhan ibu-ibu di sentra usaha pengupas rajungan. Iin salah satu karyawan di sana.
Sebenarnya, istilah karyawan sama sekali tidak tepat. Karena sentra pengupas rajungan itu hanya usaha rumahan tanpa sistem kontrak kerja. Jam kerja Iin dan ibu-ibu lainnya berkisar 14 sampai 16 jam. Dari jam dua subuh sampai enam sore. Mereka dibayar harian. Jika hari sedang baik dan pekerjaan lancar, mereka bawa pulang uang maksimal Rp 300 ribu. Jika nasib sedang apes, upah Rp 100 ribu sehari yang masuk kantong.
"Kami dibayar per pekerjaan. Misal, jika mengupas lam atau dada kembang, upahnya Rp 18 ribu per kilo. Di tempat kerja sudah ada petugas yang mencatat hasil kerja ibu-ibu di buku. Dada kembang itu paling sudah, sekaligus juga paling mahal upahnya," jelas Iin.
Dari jauh, penghasilan Rp 300 ribu per hari terlihat besar. Dari dekat, upah itu sebanding dengan risiko kesehatan, ungkap Iin kepada wartawan, Jumat (8/9/2023).
Di tahun 2021, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Karawang menyampaikan data jumlah penduduk kategori miskin ekstrem di Karawang mencapai 106.780 jiwa. Indikatornya, seorang penduduk masuk kategori miskin ekstrem apabila pendapatannya Rp 11 ribu per hari atau di bawahnya. Desa Sukajaya, tempat tinggal Iin, jadi salah satu desa berpenduduk miskin ekstrem terbanyak di Karawang bersama 25 desa lainnya.
Iin mengakui masih banyak penduduk di Sukajaya berniat atau sudah bekerja di luar negeri sebagai buruh migran Indonesia untuk menghidupi keluarga. Data menyebut, ada 125 TKI/TKW di Desa Sukajaya. Ada anggapan kuat di kalangan masyarakat kalau profesi ini bisa menaikkan derajat keluarga. Padahal, menjalani profesi sebagai buruh migran Indonesia, ibarat bermain judi. Kadang dapat majikan baik, kadang tidak. Iin, ibu beranak tiga ini, yang dapat meruntuhkan anggapan tersebut.