Rentan Perubahan, Sektor Tambang Butuh Kepastian Jangka Panjang

Selasa, 11 Juli 2017 - 14:11 WIB
Rentan Perubahan, Sektor Tambang Butuh Kepastian Jangka Panjang
Rentan Perubahan, Sektor Tambang Butuh Kepastian Jangka Panjang
A A A
JAKARTA - Guna menjamin kelangsungan investasi di sektor pertambangan, investor membutuhkan jaminan kelangsungan investasi jangka panjang. Isu ini mencuat di saat negosiasi antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia dimana PTFI bersedia melepaskan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan beberapa syarat antara lain adanya perjanjian stabilitas investasi (investment stability agreement) atau ISA.

Menurut Ketua Umum Indonesian Mining Institute Hendra Sinadia, Industri pertambangan dikenal memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dibanding industri lainnya. Industri pertambangan umumnya bersifat investasi jangka panjang dan padat modal.

Deposit mineral umumnya berada di wilayah-wilayah terpencil (remote area) dan minim infrastruktur, sehingga sangat berisiko tinggi di berbagai aspek seperti teknis, geologi, pasar, fiskal, kebijakan (policy) dan lingkungan hidup. Dengan karakteristik yang unik tersebut, maka umumnya investor pertambangan menginginkan rezim aturan yang khusus agar investasi jangka panjang terjamin.

“Jaminan tersebut sangat diperlukan tidak saja bagi PT Freeport dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara, tapi juga bagi produsen mineral lainnya dan bahkan perusahaan batu bara para pemegang PKP2B. Dalam beberapa tahun ke depan, beberapa perusahaan pemegang PKP2B kontraknya akan berakhir dan akan berubah menjadi IUPK," ucap Hendra dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (11/7/2017).

Dia menambahkan pelaku industri pertambangan khususnya mengkhawatirkan potensi dampak dari kepastian investasi jangka panjang jika berubah menjadi IUPK. Apalagi di dalam UU No. 4/2009 mengatur pungutan tambahan 10% bagi pemegang IUPK yang dikenakan dari keuntungan bersih (net income). Ditambah hingga saat ini belum ada aturan rinci mengenai tambahan tarif pungutan 10% tersebut.

Investor terang Hendra sebenarnya lebih tertarik dengan skema KK atau PKP2B karena antara lain faktor stabilisasi perpajakan, meskipun tarif PPh badan di dalam KK/PKP2B jauh lebih tinggi dari tarif PPh yang berlaku dari waktu ke waktu. Seperti misalnya tarif PPh badan pemegang PKP2B generasi I yaitu 45% dan KK generasi V dan VI yaitu 35%, yang mana tarif tersebut lebih tinggi dari tarif PPh saat ini yaitu 25% dan 20% bagi perusahaan yang listing di bursa.

“Dengan adanya ISA, maka paling tidak perusahaan dapat memproyeksikan investasi mereka untuk beberapa puluh tahun kedepan. Perusahaan membutuhkan ISA agar tarif PPh, tarif royalti dan pungutan lainnya tidak selalu berubah-ubah," ungkapnya.

"Sektor pertambangan di tanah air sangat rentan dengan perubahan kebijakan fiskal, seperti halnya waktu pemerintah di tahun 2013 dan 2015 mewacanakan kenaikan tarif royalti batu bara bagi pemegang IUP meski di periode tersebut harga komoditas sedang dalam level yang sangat rendah," sambung dia.

ISA diyakini dapat memproteksi penambang dari berbagai risiko perubahan kebijakan baik dari aspek perpajakan, keuangan, teknis, nilai tambah termasuk bea keluar, dan sebagainya. Menurutnya di sektor pertambangan global, keberadaan ISA adalah hal yang lumrah dan diterapkan di banyak negara produsen mineral mengingat karakteristik sektor pertambangan. ISA menjadi salah satu daya tarik utama selain tentunya deposit mineral di negara tujuan investasi.

Ghana dan Mongolia adalah sedikit contoh dari negara-negara produsen mineral yang menerapkan ISA, yang mana ISA diatur secara spefisik yang berlaku untuk skala investasi tertentu. Di Mongolia, bentuk ISA dibuat dalam bentuk yang praktis dan singkat yang hanya berisi pernyataan (statement) mengenai tarif pajak yang “dikunci” (locked) dengan tarif yang berlaku pada saat penandatangan ISA dan berlaku untuk jangka waktu tertentu.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4767 seconds (0.1#10.140)