Perhepi Pilih Pendekatan Intervensi daripada HET

Kamis, 07 September 2017 - 23:35 WIB
Perhepi Pilih Pendekatan Intervensi daripada HET
Perhepi Pilih Pendekatan Intervensi daripada HET
A A A
JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi menilai kebijakan harga eceran tertinggi (HET) tidak menjamin persoalan beras tuntas. Justru, pola lama yaitu intervensi harga beras oleh Bulog lebih efektif.

"Pendekatan intervensi jika harga naik, pemerintah melalui Bulog bisa jual beras lebih baik," tukasnya saat menjadi pembicara seminar publik bertema Mencari Kebijakan Beras yang Seimbang: Apakah Harga Eceran Tertinggi Pilihan Tepat oleh CSIS di Jakarta, Kamis (7/9/2017).

Menurut Bayu, keputusan HET ini upaya pemerintah menyamakan komoditas beras dengan bahan bakar dan listrik. Yaitu menjadikan bisnis beras sebagai administratif product dan komoditas. "Karena nanti kita akan makan beras yang seragam. Padahal saat ini varian beras ratusan," tukasnya lagi.

Karena itu, Bayu menyebut hal itu menjadi tantangan karena peraturannya tidak jelas dan tegas. Kebijakan ini merupakan rezim administrasi beras. Sebab sebelumnya, masyarakat bebas mandiri berkreasi mengembangkan inovasinya.

"Di Tasikmalaya ada pengusaha yang membuat beras pink dan ungu. Pink itu 60 persen beras merah dan 40 persen putih," ungkap dia. Supaya efektif beras menjadi komiditas administratif, harusnya peran perdagangan Bulog bukan 8% tetapi sebanyak 70%.

"Bulog harus diberi wewenang membeli dan menjual dengan harga berapapun asal ada persetujuan. Dengan demikian tidak ada pemain," ujar dia.

Baginya, kebijakan HET ini bakal menemui banyak kendala. Diantaranya variasi itu akan menyulitkan kebijakan. Apalagi, setiap kota ada harga yang beda-beda, jenisnya juga berbeda. Jenis atau mutu dan kualitas atau varietas.

"Justru saya menangkap bahwa tidak ada pidananya HET ada kecanggungan. Apalagi di Indonesia ada 180 ribu penggilingan dan ada 15 ribu pedagang tradisional. Ada seribu pedagang besar," beber Bayu.

Bayu mengatakan masalah beras karena banyak pengusaha beras nakal tidak tepat. Menurut hematnya, ada 100 pengusaha beras dan sebanyak 97 pengusaha taat hukum, hanya tiga yang nakal. "Jadi yang harus dipikirkan itu yang 97 pengusaha ini," pungkas dia.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5587 seconds (0.1#10.140)