Pendudukan Israel Hancurkan Ekonomi Gaza, Studi PBB Ungkap Datanya
loading...
A
A
A
JENEWA - Blokade Israel terhadap Jalur Gaza yang sudah berlaku sejak 2007, telah menyebabkan penurunan signifikan terhadap PDB riil per kapita Palestina, lonjakan pengangguran dan kemiskinan. Hal itu diungkapkan oleh laporan yang dikeluarkan oleh Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD).
Menurut studi PBB tersebut, pada periode 2006 hingga 2022, populasi Gaza naik 61%, akan tetapi PDB hanya tumbuh 1,1%, dan PDB riil per kapita menyusut 27% dari USD1.994 pada 2006 menjadi USD1.257 di tahun 2022, dibandingkan dengan USD2.923 dan USD4.458 di Tepi Barat.
Pada periode yang sama, kesenjangan regional dalam kondisi kehidupan melebar, karena pangsa Gaza dalam ekonomi Palestina berkontraksi dari 31% menjadi 17,4%, menurut catatan UNCTAD.
Selain itu pada periode yang sama, angkatan kerja tumbuh sebesar 112%, jumlah pekerja yang menganggur meningkat sebesar 157%, dan pengangguran bertambah dari 34,8% menjadi 45,3%, untuk menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
"Pertumbuhan populasi dan angkatan kerja serta kelangkaan pekerjaan telah mengakibatkan hilangnya generasi pekerja miskin, dan tidak terampil," klaim laporan itu.
"Pada saat pembentukan Otoritas Nasional Palestina pada tahun 1994, Gaza memiliki standar hidup yang sama dengan Tepi Barat, dengan rasio PDB per kapita terhadap Tepi Barat sebesar 97%."
Namun Rasio ini turun menjadi 44% dengan dimulainya pembatasan dan penutupan pada tahun 2007 dan mencapai titik terendah sepanjang masa pada tahun 2021 sebesar 27,7%.
Laporan PBB itu menunjukkan bahwa ekonomi Gaza telah "mengalami distorsi struktural yang signifikan karena pembatasan pergerakan, akses terbatas ke impor, hancurnya basis produktif, dan isolasi semi-autarkik dari pasar domestik dan global."
Situasi tersebuttelah mengurangi pangsa pertanian dan manufaktur dalam perekonomian, dari 32% pada tahun 1995 menjadi 17,6% pada tahun 2022.
"Kerusakan yang ditimbulkan di bawah pendudukan (Israek) meluas ke semua sektor ekonomi, yang paling menonjol di antaranya adalah hilangnya tanah dan sumber daya alam ke pemukiman, larangan atau pembatasan impor teknologi dan input tertentu di bawah sistem daftar penggunaan ganda dan hambatan untuk gerakan yang meningkatkan biaya produksi, transaksi dan perdagangan. Dimana dengan demikian mengikis dan menghambat daya saing semua produsen Palestina," jelasnya.
UNCTAD memproyeksikan bahwa prospek ekonomi bakal meredup, yang disebabkan oleh "kendala terkait pendudukan" sebagai hambatan utama bagi pembangunan ekonomi di wilayah Palestina.
Sementara itu Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, bahwa dampak pelonggaran pembatasan terkait pendudukan, bisa berimplikasi peningkatan 3 kali lipat terhadap iklim bisnis, listrik, dan pasokan air Palestina.
Menurut studi PBB tersebut, pada periode 2006 hingga 2022, populasi Gaza naik 61%, akan tetapi PDB hanya tumbuh 1,1%, dan PDB riil per kapita menyusut 27% dari USD1.994 pada 2006 menjadi USD1.257 di tahun 2022, dibandingkan dengan USD2.923 dan USD4.458 di Tepi Barat.
Pada periode yang sama, kesenjangan regional dalam kondisi kehidupan melebar, karena pangsa Gaza dalam ekonomi Palestina berkontraksi dari 31% menjadi 17,4%, menurut catatan UNCTAD.
Selain itu pada periode yang sama, angkatan kerja tumbuh sebesar 112%, jumlah pekerja yang menganggur meningkat sebesar 157%, dan pengangguran bertambah dari 34,8% menjadi 45,3%, untuk menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
"Pertumbuhan populasi dan angkatan kerja serta kelangkaan pekerjaan telah mengakibatkan hilangnya generasi pekerja miskin, dan tidak terampil," klaim laporan itu.
"Pada saat pembentukan Otoritas Nasional Palestina pada tahun 1994, Gaza memiliki standar hidup yang sama dengan Tepi Barat, dengan rasio PDB per kapita terhadap Tepi Barat sebesar 97%."
Namun Rasio ini turun menjadi 44% dengan dimulainya pembatasan dan penutupan pada tahun 2007 dan mencapai titik terendah sepanjang masa pada tahun 2021 sebesar 27,7%.
Laporan PBB itu menunjukkan bahwa ekonomi Gaza telah "mengalami distorsi struktural yang signifikan karena pembatasan pergerakan, akses terbatas ke impor, hancurnya basis produktif, dan isolasi semi-autarkik dari pasar domestik dan global."
Situasi tersebuttelah mengurangi pangsa pertanian dan manufaktur dalam perekonomian, dari 32% pada tahun 1995 menjadi 17,6% pada tahun 2022.
"Kerusakan yang ditimbulkan di bawah pendudukan (Israek) meluas ke semua sektor ekonomi, yang paling menonjol di antaranya adalah hilangnya tanah dan sumber daya alam ke pemukiman, larangan atau pembatasan impor teknologi dan input tertentu di bawah sistem daftar penggunaan ganda dan hambatan untuk gerakan yang meningkatkan biaya produksi, transaksi dan perdagangan. Dimana dengan demikian mengikis dan menghambat daya saing semua produsen Palestina," jelasnya.
UNCTAD memproyeksikan bahwa prospek ekonomi bakal meredup, yang disebabkan oleh "kendala terkait pendudukan" sebagai hambatan utama bagi pembangunan ekonomi di wilayah Palestina.
Sementara itu Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, bahwa dampak pelonggaran pembatasan terkait pendudukan, bisa berimplikasi peningkatan 3 kali lipat terhadap iklim bisnis, listrik, dan pasokan air Palestina.
(akr)