BI Perkuat Aturan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme

Rabu, 13 September 2017 - 23:36 WIB
BI Perkuat Aturan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
BI Perkuat Aturan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
A A A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memperkuat ketentuan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Hal tersebut dilakukan melalui penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank yang berlaku 11 September 2017.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean mengatakan, dengan ketentuan yang baru, penerapan peraturan bagi penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB) serta Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) telah terintegrasi.

Selain itu, peraturan yang baru juga telah diselaraskan dengan upaya pemerintah untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta rekomendasi dan panduan (guidelines) yang diberikan oleh lembaga internasional Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

"Ketentuan dalam PBI ini berlaku bagi Penyelenggara berupa PJSP selain Bank, yaitu penyelenggara Transfer Dana, penerbit APMK, penerbit uang elektronik, dan penyelenggara dompet elektronik, serta Penyelenggara KUPVA Bukan Bank," kata Eni di Jakarta, Rabu (13/9/2017).

Lebih lanjut dia menuturkan, penyempurnaan peraturan dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan dalam mendukung Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), yang antara lain muncul dari perkembangan teknologi sistem informasi.

Dengan berbagai inovasi dalam kegiatan sistem pembayaran dan penukaran valuta asing, maka produk, jasa, transaksi dan model bisnis pada kegiatan sistem pembayaran dan penukaran valuta asing menjadi semakin kompleks. "Hal tersebut berpotensi meningkatkan risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme," sebutnya.

Dia pun berharap, pengaturan dalam PBI mampu membantu menjawab tantangan yang dihadapi terkait APU dan PPT. PBI kali ini berlaku baik bagi Penyelenggara KUPVA BB maupun PJSP Selain Bank yang antara lain berupa Penyelenggara Transfer Dana dan penerbit Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK).

Melalui PBI ini, sambung dia, BI juga dapat menetapkan pihak lainnya yang menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem pembayaran atau penukaran valuta asing, seperti penyelenggara teknologi finansial, untuk menerapkan APU dan PPT. Adapun dalam menerapkan APU dan PPT, penyelenggara wajib menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), antara lain dengan memperhatikan faktor risiko terkait pengguna jasa, negara atau wilayah geografis, produk atau jasa, dan jalur atau jaringan transaksi.

"Penyelenggara wajib melakukan identifikasi, penilaian, pengendalian, dan mitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme berdasarkan faktor risik Pengguna Jasa, negara atau wilayah geografis, produk atau jasa, dan jalur atau jaringan transaksi, termasuk dengan memperhatikan hasil National Risk Assesment (NRA) dan Sectoral Risk Assesment (SRA)," jelas Eni.

Untuk mendukung ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya UU No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, PBI juga menegaskan kembali penanganan terkait Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) serta Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal, antara lain pelaksanaan freeze without delay.

Sementara itu, untuk meningkatkan kehati-hatian, setiap pengembangan produk dan teknologi baru yang dilakukan oleh penyelenggara harus terlebih dahulu melalui proses penilaian (assessment) terhadap risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. "Penggunaan teknologi dalam pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) diperkenankan sepanjang telah dilengkapi dengan kebijakan dan prosedur pengendalian risiko yang efektif," tambah Direktur Eksekutif Kepala Departemen Hukum BI Rosalia Suci.

Menurutnya, pelaksanaan prosedur CDD tersebut wajib dilakukan oleh Penyelenggara pada saat melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa atau calon Pengguna Jasa. Serta, ketika transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit Rp100 juta atau setara.

Selanjutnya, pelaksanaan CDD Sederhana (Simplified CDD) dimungkinkan untuk pengguna jasa yang termasuk kategori berisiko rendah, yang antara lain dimaksudkan untuk mendukung program pemerintah dalam rangka inklusi keuangan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Adapun dalam hal pengenaan sanksi, PBI APU PPT diperkuat dengan memungkinkan pengenaan sanksi tidak hanya kepada Penyelenggara namun dapat pula dikenakan kepada direksi, komisaris, pejabat eksekutif, dan pemegang saham yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan.

"Terhadap pelanggaran terhadap PBI APU dan PPT ini, BI dapat mengenakan sanksi administratif baik kepada Penyelenggara maupun kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pemegang saham, dan/atau Pejabat Eksekutif Penyelenggara," jelasnya.

Sementara itu, untuk memastikan bahwa ketentuan dalam PBI APU PPT dapat dilaksanakan dengan baik, BI akan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada Penyelenggara dan masyarakat mengenai pentingnya penerapan APU dan PPT, serta melanjutkan pelaksanaan kerjasama dan koordinasi yang intensif dengan otoritas terkait seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4710 seconds (0.1#10.140)