Jembatan Udara, Upaya Menekan Disparitas Harga di Timur Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Sukses Tol Laut mengilhami Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menggagas ide dibangunnya Jembatan Udara ke wilayah timur Indonesia. Ide lanjutan yang sementara telah diterapkan di Papua itu disebut sukses mengurangi disparitas harga hingga 20%.
Guna menilai realistis atau tidaknya perluasan konsep tersebut, digelar diskusi bertema "Efektivitas Program Jembatan Udara Dalam Mengurangi Disparitas Harga di Wilayah Indonesia Timur" di Jakarta, Selasa (10/10/2017).
Menhub yang bertindak sebagai keynote speaker dalam diskusi tersebutmenjelaskan, program Tol Laut dan Jembatan Udara diharapkan mampu lebih menjangkau daerah terpinggir dan juga daerah yang berada di ketinggian tertentu. Namun, untuk mempercepat pemerataan harga melalui Jembatan Udara, imbuh dia, dibutuhkan perbaikan sejumlah bandara di wilayah timur Indonesia.
"Disparitas (harga) yang paling signifikan itu di pinggiran dan di daerah yang memiliki ketinggian tertentu. Di batas-batas negara beberapa memang hanya bisa dijangkau oleh pesawat udara. Oleh karenanya, tahun ini Kemenhub (Kementerian Perhubungan) menginisiasi tol udara," jelasnya.
Penyelenggara kegiatan diskusi Toriq Hadad mengatakan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional yang tengah dilakukan pemerintah memang butuh strategi konektivitas secara nasional. Karena itu, pembahasan mengenai konsep Jembatan Udara yang tengah digagas Kemenhub tersebut perlu dilakukan.
"Program pemerintah dengan menyediakan moda transportasi alternatif seperti Tol Laut dan Jembatan Udara diharapkan dapat menyeimbangkan penyebaran pembangunan dan distribusi hingga ke daerah tertinggal, terpencil, terluar dan perbatasan di Indonesia," tuturnya.
Dia mengatakan, lemahnya konektivitas nasional dapat menyebabkan tingginya biaya ekonomi, mengurangi daya saing, dan akhirnya berimbas pada lambatnya penanggulangan kemiskinan. Untuk mengatasinya, pemerintah memang harus membuat program-program yang tergabung dalam rencana konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan juga terhubung secara global.
"Makanya, program Jembatan Udara yang digagas itu perlu dibedah sehingga dapat di-explore lebih lanjut tentang ide tersebut," tandasnya.
Adapun para pakar yang turut membedah gagasan Jembatan Udara dalam diskusi tersebut adalah Kasubdit Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal dan Bukan Niaga Ubaedillah, Direktur Sarana Distribusi dan Logistik Kementerian Perdagangan Sihard Hadjopan Pohan, Ketua INACA (Indonesian National Air Carriers Association) Bidang Penerbangan Berjadwal Bayu Sutanto, dan Ekonom Faisal Basri.
Guna menilai realistis atau tidaknya perluasan konsep tersebut, digelar diskusi bertema "Efektivitas Program Jembatan Udara Dalam Mengurangi Disparitas Harga di Wilayah Indonesia Timur" di Jakarta, Selasa (10/10/2017).
Menhub yang bertindak sebagai keynote speaker dalam diskusi tersebutmenjelaskan, program Tol Laut dan Jembatan Udara diharapkan mampu lebih menjangkau daerah terpinggir dan juga daerah yang berada di ketinggian tertentu. Namun, untuk mempercepat pemerataan harga melalui Jembatan Udara, imbuh dia, dibutuhkan perbaikan sejumlah bandara di wilayah timur Indonesia.
"Disparitas (harga) yang paling signifikan itu di pinggiran dan di daerah yang memiliki ketinggian tertentu. Di batas-batas negara beberapa memang hanya bisa dijangkau oleh pesawat udara. Oleh karenanya, tahun ini Kemenhub (Kementerian Perhubungan) menginisiasi tol udara," jelasnya.
Penyelenggara kegiatan diskusi Toriq Hadad mengatakan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional yang tengah dilakukan pemerintah memang butuh strategi konektivitas secara nasional. Karena itu, pembahasan mengenai konsep Jembatan Udara yang tengah digagas Kemenhub tersebut perlu dilakukan.
"Program pemerintah dengan menyediakan moda transportasi alternatif seperti Tol Laut dan Jembatan Udara diharapkan dapat menyeimbangkan penyebaran pembangunan dan distribusi hingga ke daerah tertinggal, terpencil, terluar dan perbatasan di Indonesia," tuturnya.
Dia mengatakan, lemahnya konektivitas nasional dapat menyebabkan tingginya biaya ekonomi, mengurangi daya saing, dan akhirnya berimbas pada lambatnya penanggulangan kemiskinan. Untuk mengatasinya, pemerintah memang harus membuat program-program yang tergabung dalam rencana konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan juga terhubung secara global.
"Makanya, program Jembatan Udara yang digagas itu perlu dibedah sehingga dapat di-explore lebih lanjut tentang ide tersebut," tandasnya.
Adapun para pakar yang turut membedah gagasan Jembatan Udara dalam diskusi tersebut adalah Kasubdit Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal dan Bukan Niaga Ubaedillah, Direktur Sarana Distribusi dan Logistik Kementerian Perdagangan Sihard Hadjopan Pohan, Ketua INACA (Indonesian National Air Carriers Association) Bidang Penerbangan Berjadwal Bayu Sutanto, dan Ekonom Faisal Basri.
(fjo)