Isu Power Wheeling Kembali Mencuat, SP PLN Buka Suara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isu power wheeling alias skema bisnis pemanfaatan bersama jaringan listrik kembali mencuat setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam rapat dengan Komisi VII DPR Senin (20/11) lalu mengusulkan kembali masuknya skema ini ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Menyikapi hal itu, DPP Serikat Pekerja (SP) PLN Pusat menyuarakan kekhawatirannya. Ketua Umum DPP SP PLN Pusat (Persero) Abrar Ali dalam siaran persnya mengatakan, pemerintah telah mempertontonkan sikap plin-plan terhadap isu tersebut.
"Pada Januari lalu, menteri (ESDM Arifin Tasrif) sudah menyatakan tidak ada power wheeling. Hal ini harus menjadi perhatian serius Presiden Jokowi saat ini. SP PLN meminta presiden tidak meninggalkan legacy yang bisa membuat PLN ambruk di masa kepemimpinannya," ungkap Abrar, Kamis (23/11/2023).
Abrar bahkan meminta isu ini juga menjadi perhatian tiga calon presiden (capres) yang akan berkontestasi pada pemilihan presiden (pilpres) 2024. Menurut dia, hal ini berkaitan dengan ketahanan energi listrik nasional ke depan. Pengelolaan energi listrik yang baik dan benar saat ini menurutnya akan menjadi modal utama pemerintah menyejahterakan masyarakat dan menjamin kelangsungan pembangunan di masa mendatang.
"Kita berharap para capres yang akan berkontestasi pada Pilpres 2024 memberikan perhatian serius terhadap tata kelola energi listrik tersebut. Perlu kami sampaikan, pengelolaan energi listrik yang salah akan menyebabkan pembangunan terhambat. Demikian sebaliknya," tegas dia.
Abrar mengatakan, isu power wheeling berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat. Sebab, kata dia, skema ini berpotensi memicu tarif listrik yang mahal karena bertumpu pada pembangkit listrik berbasis EBT yang dibangun swasta, yang tentu akan lebih mahal.
"Yang akan menanggung beban tersebut adalah konsumen, dalam hal ini masyarakat secara umum. Padahal sebenarnya, saat ini pasokan listrik berbasis EBT dari PLN pun telah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional," tegasnya.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah dan DPR tidak perlu lagi memaksa memasukkan skema tersebut ke dalam draf RUU EBET. Terlebih, skema tersebut sebelumnya telah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dari UU Ketenagalistrikan melalui putusan Nomor 001-021-022/2003. Selanjutnya melalui putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK pun memutuskan bahwa pola unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945.
Menyikapi hal itu, DPP Serikat Pekerja (SP) PLN Pusat menyuarakan kekhawatirannya. Ketua Umum DPP SP PLN Pusat (Persero) Abrar Ali dalam siaran persnya mengatakan, pemerintah telah mempertontonkan sikap plin-plan terhadap isu tersebut.
"Pada Januari lalu, menteri (ESDM Arifin Tasrif) sudah menyatakan tidak ada power wheeling. Hal ini harus menjadi perhatian serius Presiden Jokowi saat ini. SP PLN meminta presiden tidak meninggalkan legacy yang bisa membuat PLN ambruk di masa kepemimpinannya," ungkap Abrar, Kamis (23/11/2023).
Abrar bahkan meminta isu ini juga menjadi perhatian tiga calon presiden (capres) yang akan berkontestasi pada pemilihan presiden (pilpres) 2024. Menurut dia, hal ini berkaitan dengan ketahanan energi listrik nasional ke depan. Pengelolaan energi listrik yang baik dan benar saat ini menurutnya akan menjadi modal utama pemerintah menyejahterakan masyarakat dan menjamin kelangsungan pembangunan di masa mendatang.
"Kita berharap para capres yang akan berkontestasi pada Pilpres 2024 memberikan perhatian serius terhadap tata kelola energi listrik tersebut. Perlu kami sampaikan, pengelolaan energi listrik yang salah akan menyebabkan pembangunan terhambat. Demikian sebaliknya," tegas dia.
Abrar mengatakan, isu power wheeling berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat. Sebab, kata dia, skema ini berpotensi memicu tarif listrik yang mahal karena bertumpu pada pembangkit listrik berbasis EBT yang dibangun swasta, yang tentu akan lebih mahal.
"Yang akan menanggung beban tersebut adalah konsumen, dalam hal ini masyarakat secara umum. Padahal sebenarnya, saat ini pasokan listrik berbasis EBT dari PLN pun telah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional," tegasnya.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah dan DPR tidak perlu lagi memaksa memasukkan skema tersebut ke dalam draf RUU EBET. Terlebih, skema tersebut sebelumnya telah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dari UU Ketenagalistrikan melalui putusan Nomor 001-021-022/2003. Selanjutnya melalui putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK pun memutuskan bahwa pola unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945.
(fjo)