Mengenal Lebih Dekat Jalur Sutra Modern China, Pertaruhan Triliunan Dolar

Senin, 27 November 2023 - 11:26 WIB
loading...
Mengenal Lebih Dekat Jalur Sutra Modern China,  Pertaruhan Triliunan Dolar
Melimpahnya kucuran uang tunai yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dipompa ke hampir 150 negara untuk Belt and Road Initiative (BRI) atau jalur sutra modern, apakah efeknya sepadan buat China?. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Belt and Road Initiative (BRI) atau jalur sutra modern yang diusung China , telah berjalan selama 10 tahun dengan kucuran triliunan dolar ke negara berkembang hingga berpendapatan rendah. Sebuah kebijakan Presiden Xi Jinping, Belt and Road Initiative bertujuan untuk menjahit China lebih dekat ke dunia melalui investasi dan proyek infrastruktur.



Dengan melimpahnya kucuran uang tunai yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dipompa ke hampir 150 negara, China membanggakan bahwa mereka telah mengubah dunia dan itu tidak sepenuhnya salah. Tapi pertaruhan besar-besaran Beijing belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan. Apakah itu sepadan?

Dari saat Belt and Road Initiative diresmikan pada tahun 2013 dengan perbandingan dengan Jalur Sutra kuno, jelas China memiliki ambisi yang luas.

Belt mengacu pada rute darat yang menghubungkan China ke Eropa melalui Asia Tengah, serta ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Sementara Road menunjukkan jaringan maritim yang menghubungkan China ke pelabuhan-pelabuhan utama melalui Asia ke Afrika dan Eropa.

Semua itu dimulai dengan investasi besar yang digerakkan oleh negara ke dalam infrastruktur di luar negeri. Sebagian besar dana yang sudah dikucurkan diperkirakan mencapai USD1 triliun ke dalam proyek-proyek energi dan transportasi, seperti pembangkit listrik hingga kereta api.

Win-win Ekonomi

China menggaungkan, semua itu menghasilkan win-win ekonomi, dimana Ia mengatakan, kepada negara-negara lain bahwa investasi ini akan merangsang pembangunan. Sementara di dalam negeri, ia menjual BRI sebagai cara untuk membantu perusahaan-perusahaan China, meningkatkan ekonomi dan meningkatkan reputasi negara.

Namun ada beberapa tujuan yang belum terlalu berhasil, seperti internasionalisasi yuan dan meningkatkan kapasitas perusahaan China. Akan tetapi China menuai keuntungan ekonomi yang sangat besar dalam perdagangan.

Sejumlah perjanjian membawa akses China ke lebih banyak sumber daya seperti minyak, gas dan mineral, terutama karena fokus BRI melebar mencakup Afrika, Amerika Selatan dan Timur Tengah. Sekitar USD19,1 triliun barang diperdagangkan antara China dan negara-negara BRI dalam dekade terakhir.

"Ini tentang perusahaan milik negara China yang pergi ke luar negeri ... untuk membantu memfasilitasi aliran sumber daya yang dibutuhkan China," kata seorang analis senior di Mercator Institute for China Studies, Jacob Gunter.

"Ini juga tentang memperluas dan mengembangkan pasar ekspor sebagai alternatif bagi negara maju liberal," sambungnya.

Diversifikasi ini menjadi sangat penting pada saat China menghadapi ketegangan yang lebih besar dengan Barat dan sekutu mereka.

Ambil contoh misalnya. China, importir terbesar dunia, dulu sangat bergantung pada AS untuk pasokan. Tetapi perang tarif dengan Washington memaksa Beijing untuk beralih ke sumber-sumber asal Amerika Selatan, terutama Brasil, yang diperkirakan merupakan penerima dana BRI terbesar di kawasan itu.

Pipa gas dari Asia Tengah dan Rusia - dan impor minyak dari Rusia, Irak, Brasil, dan Oman - telah mengurangi ketergantungan China pada Jepang, Korea Selatan, dan AS, demikian menurut Institut Internasional dalam Studi Strategis (IISS).

Diplomasi Perangkap Utang

Setelah menjadi pemberi pinjaman bagi banyak negara berpenghasilan rendah atau menengah melalui BRI, China sekarang menjadi kreditor internasional terbesar di dunia. Skala sebenarnya dari utang tidak diketahui, tapi diperkirakan setidaknya ratusan miliar dolar.

Banyak pinjaman, yang diberikan oleh pemberi pinjaman publik dan swasta, diselimuti kerahasiaan. Saat ini dari mulai Sri Lanka dan Maladewa ke Laos hingga Kenya, negara-negara tersebut berjuang dengan utang BRI. Ini menempatkan pemerintah China di tempat yang sempit.

Sementara itu krisis real estat dan pinjaman liberal oleh pemerintah daerah telah menciptakan "bom utang" di dalam negeri - diprediksi nilainya mencapai triliunan dolar. Ekonomi pasca-Covid yang lesu dan rekor pengangguran kaum muda juga tidak membantu.

China sejauh ini telah merestrukturisasi pinjaman BRI, memperpanjang tenggat waktu dan membayar sekitar USD240 miliar untuk membantu peminjam melakukan pembayaran tepat waktu. Tetapi mereka menolak untuk membatalkan utang tersebut.

"Bagi China untuk secara bersamaan terlibat dalam penghapusan utang di luar negeri, sementara masalah ekonomi domestik tidak sepenuhnya sudah diselesaikan – akan menjadi tantangan politik secara internal untuk mempromosikannya," kata Christoph Nedopil, direktur pendiri Green Finance and Development Center (GFDC), yang melacak pengeluaran BRI.

Kondisi ini telah merusak reputasi Beijing. Beberapa kritikus menuduh China terlibat dalam "diplomasi perangkap utang" dengan memikat negara-negara miskin untuk mendaftar proyek-proyek mahal sehingga Beijing akhirnya dapat menguasai aset yang disiapkan sebagai jaminan. Ini adalah tuduhan AS atas proyek pelabuhan Hambantota yang kontroversial di Sri Lanka.

Seangkan banyak analis berpendapat ada sedikit bukti tentang hal ini, tetapi telah meningkatkan kekhawatiran bahwa Beijing menggunakan BRI untuk merusak kedaulatan negara lain.

China juga menjadi sasaran kritik atas apa yang disebut "utang tersembunyi" - pemerintah tidak tahu seberapa terbuka lembaga pinjaman mereka, yang menyulitkan negara-negara untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat BRI.

Selama bertahun-tahun proyek-proyek BRI juga dituduh menciptakan "white elephants" yang boros, memicu korupsi lokal, memperburuk masalah lingkungan, mengeksploitasi pekerja, dan gagal memenuhi janji untuk membawa pekerjaan dan kemakmuran bagi masyarakat setempat.

Satu studi belum lama ini yang dilakukan oleh laboratorium penelitian Aid Data menemukan lebih dari sepertiga proyek menghadapi masalah. Reaksi yang berkembang telah mendorong beberapa negara seperti Malaysia dan Tanzania untuk membatalkan kesepakatan BRI.

"Manajemen risiko yang buruk dan kurangnya perhatian terhadap detail dan kohesi" dari pemberi pinjaman dan perusahaan China, sebagian harus disalahkan, demikian menurut Dewan Hubungan Luar Negeri.

Tetapi think tank dan pengamat lainnya telah menunjukkan bahwa negara-negara peminjam juga harus disalahkan, baik karena terburu-buru melakukan kesepakatan tanpa perencanaan yang tepat atau salah mengelola keuangan seperti dalam kasus Hambantota.

Para pengamat juga mengatakan, China memberikan sumber daya dengan ikatan yang lebih sedikit, yang tidak terlalu apabila dibandingkan daripada tawaran dari pemberi pinjaman global atau Barat.

China muncul dengan pendekatan 'one-stop shop': 'Ini adalah bank dan perusahaan kami dan kami melakukan segalanya dari awal hingga akhir, dan jika Anda menandatangani hari ini, kami akan menyelesaikan kereta api itu, dan akan dilakukan tepat waktu seperti yang Anda janjikan untuk pemilihan berikutnya'," kata Gunter.

"Ini adalah nilai jual yang sangat besar untuk mengatakan bahwa Anda dapat melakukannya dalam satu hingga tiga tahun dengan sedikit dokumen. Mungkin itu akan sedikit kotor dan mungkin ada pelanggaran hak-hak buruh, tetapi kereta api Anda akan selesai," sambungnya.

Kemenangan Diplomatik

Namun China telah memenuhi salah satu tujuan terbesarnya - memperluas pengaruhnya. Bukan hanya melalui kereta api dan jalan raya, China telah menciptakan koneksi.

Beijing memproyeksikan kekuatan dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin di Global South, membayar ribuan beasiswa universitas Tiongkok, program pertukaran budaya, dan Institut Konfusius. Perluasan blok perdagangan Brics juga telah dikreditkan ke China.

Pew Research menemukan bahwa dalam dekade terakhir banyak negara berpenghasilan menengah memiliki sikap yang semakin baik terhadap China, termasuk Meksiko, Argentina, Afrika Selatan, Kenya dan Nigeria.

Gunter mencatat, bahwa semakin banyak negara di Global South tidak ingin memihak dalam persaingan AS-Cina. "China belum membalikkan arah banyak negara dari orientasi Barat, tetapi fakta bahwa China telah memindahkan jarum ke jalan tengah – itu sudah merupakan kemenangan diplomatik besar bagi Beijing," katanya.

Tetapi para pengamat juga telah menyuarakan kekhawatiran tentang kemungkinan pemaksaan ekonomi, di mana pemerintah asing merasa tertekan untuk mengikuti agenda Beijing atau mengambil risiko China bakal menarik investasi.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1711 seconds (0.1#10.140)