Dari Manggis Hingga Padi, Ikut Mendongkrak Kesejahteraan Petani

Jum'at, 07 Agustus 2020 - 17:30 WIB
loading...
Dari Manggis Hingga...
Pertanian jadi Andalan Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi. Foto:SINDONews
A A A
JAKARTA - Seperti yang telah diduga sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II tahun ini lebih buruk dibandingkan kuartal sebelumnya, yakni – 5,32% secara year to year (yoy). Jika dibandingkan dengan kuartal I-2020, BPS mencataat kemerosotan pertumbuhan ekonomi sebesar -4,19%.

Terpuruknya kondisi ekonomi ini merupakan imbas dari pandemi virus Covid 19 (Corona). Indonesia tidak sendiri, hampir semua negara di dunia, kondisi perekonomiannya juga terpuruk akibat pandemi

Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi yang berada di bawah nol ini, merupakan akumulasi dari pertumbuhan yang terjadi pada 17 lapangan usaha. Dilihat dari kontribusi lapangan usaha terhadap PDB, hampir semua lapangan usaha berkontribusi negatif.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto menjelaskan dari 17 lapangan usaha, hanya ada tiga jenis lapangan usaha yng tumbuh positif. Yakni sektor pertanian (pertanian, kehutanan dan perikanan), informasi dan komunikasi, serta pengadaan air.

Suhariyanto menyebutkan pertumbuhan lapangan usaha di sektor pertanian di Kuartal II dibandingkan dengan Kuartal I tercatat 16,24%. Untuk lapangan usaha informasi dan komunikasi tumbuh 3,44%, sedangkan pengadaan air sebesar 1,28%.

Itu artinya usaha pertanian di masa pandemi ini masih bisa tumbuh positif. Tidak itu saja, lapangan usaha ini juga mencatatkan pertumbuhan yang tertinggi diantara lapangan usaha lainnya. Tidak salah jika Pertanian Syahrul Yasin Limpo meyakini sektor pertanian mampu menjadi tumpuan perekonomian di tengah merebaknya pandemi Covid-19.

Melihat potensi yang dimiliki, sektor pertanian pun bisa menjadi pendongkrak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia pascapandemi Covid 19 berakhir. Seperti yang disampaikan oleh Ekonom Indef Bhima Yudistira. Menurutnya pertanian bakal difungsikan oleh pemerintah untuk menjadi lokomotif menggerakkan rangkaian gerbong ekonomi, di saat ini maupun pascapandemi.

Alasannya, saat ekonomi terpuruk, daya beli merosot, masyarakat akan memprioritaskan untuk membeli kebutuhan pokok. Di sisi lain, serapan tenaga kerjanya sektor ini tergolong tinggi. Data yang disampaikan Kementerian Pertanian per Februari 2020 yang lalu menyebutkan, tenaga kerja yang diserap sektor pertanian mencapai 35 juta orang atau setara dengan 20,70% dari total jumlah tenaga kerja Indonesia (Stastistik KetenagakerjaanSektor Pertanian, Februari 2020).

Bhima Yudistira menambahkan di saat ekonomi terpuruk, mereka yang di PHK, atau kehilangan pekerjaan akan makin banyak. Berkaca pada krisi ekonomi yang pernah terjadi sebelumnya, mereka yang kehilangan pekerjaan itu pun beralih menjadi pekerja di sektor pertanian. Serapan tenaga kerja ke sektor pertanian pun makin banyak.

Meski pertumbuhan ekonomi tengah berkontraksi, faktanya sektor pertanian masih bisa diandalkan. Pertanian mampu menjadi kontributor yang membuat neraca perdagangan Indonesia surplus saat pandemi. Tercatat di enam bulan pertama tahun ini, kinerja ekspor mencapai USD 76,4 miliar, sedangkan impor USD 70,9 miliar.

Sehingga neraca perdagangan Indonesia pun surplus USD5,5 miliar. Sebagai perbandingan di Semester I tahun lalu, Indonesia malah mengalami defisit neraca perdagangan sebesar USD1,87 miliar.

20 Kali Lebih Mahal dari Apel
Menurut BPS sepanjang semester I tahun ini, ekspor pertanian meningkat 9,60%. Sebagai catatan penting, ekspor komoditas pertanian jadi satu-satunya sektor usaha nonmigas yang mencatatakan pertumbuhan positif. Sektor lainnya, seperti ekspor industri pengolahan dan pertambangan, anjlok cukup dalam dihadang virus Corona.

Seperti yang disampaikan oleh Kecuk Suhariyanto, disepanjang Semester I tahun ini, pertumbuhan ekspor pertanian disebabkan meningkatnya ekspor buah-buahan. Sementara penjualan kopi ke luar negeri, membuat pertumbuhan ekspor pertanian pada Juni 2020 meningkat 18,99% terhadap ekspor pertanian pada Mei 2020.

Meningkatnya ekspor buah-buahan memang terkait erat dengan datangnya pandemi Covid 19. konsumsi buah didunia meningkat. Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Fadjry Djufry, kebutuhan nutrisi dunia akan buah semakin meningkat terutama selama menjadi pandemi Covid-19. Di Indonesia misalnya, saat ini konsumsi buah jeruk di Indonesia meningkat enam kali lipat sejak 1995 atau berada di angka 4 kg/perkapita.

Ini menjadi peluang yang menjanjikan bagi petani jeruk Indonesia. Apalagi sekarang, Indonesia sudah mampu mengekspor jeruk sebanyak 1.752 ton. Jumlahnya belum signifikan dengan permintaan dari pasar ekpsor jeruk. Menurut Fadjry Djufry, kondisi ini menjadi peluang yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh petani dan pengusaha jeruk di Indonesia.

Meningkatnya ekspor buah-buahan disambut gembira oleh Sahul Priyadi (49) petani manggis asal Desa Kendangtepus Senduro Lumajang, Jawa Timur. Sahul bahkan tidak menyangka manggis produksi dari desanya itu bisa diekspor ke luar negeri saat wabah Corona ini.

Sebenarnya setiap tahun Sahul yang juga menjadi ketua Asosiasi Petani Manggis Senduro Makmur Kendangtepus Senduro Lumajang hampir tiap tahun mampu mengekspor manggis melalui eksportir. Awalnya ia sempat khawatir karena lockdown di sejumlah negara, mengakibatkan ekspor manggis akan terhenti.

Ternyata sebaliknya, dalam sebulan ia dan petani manggis lainnya di Kendangtepus mampu mengekspor manggis sebanyak 90 ton. Padahal biasnaya hanya 55 ton per tahun. Saat panen harga manggis ditingkat petani dibeli eksportir dengan kisaran harga Rp 13 ribu hingga Rp 15 ribu per Kg. Menurut Sahul, manggis yang dibeli eksportir ini sangat membantu petani. Sebab, jika dilempar ke pasar domestik harganya jauh di bawah itu.

Manggis memang salah satu buah tropis yang digemari dunia. Harganya pun cukup menggurkan, sesuai dengan julukan manggis sebagai queen of fruits. Sebagai gambaran di dalam negeri manggis di tingkat konsumen harganya sekitar Rp 20 ribu per Kg. Di luar negeri seperti di Australia atau Korea Selatan bisa mencapai Rp 200 ribu bahkan lebih. Harga manggis di pasar dunia rata-rata memang 20 kali lipat lebih mahal dari apel.

Buah asal Indonesia yang diminati pasar ekpsor tidak hanya manggis. Ada juga pepaya dan nanas yang dimintai oleh penduduk Jepang. Lalu juga ada durian dan buah naga asal Indonesia yang digemari oleh konsumen di China.

Saat pandemi, kesejahtaran petani memang cenderung meningkat. Contohnya saja para petani buah tadi. Kesejahteraan yang meningkat ini tidak hanya dinikmati petani buah, petani padi pun ikut merasakan hal yang sama, demikian juga dengan pemilik penggilingan padi. Ini terjadi karena harga gabah juga ikut meningkat.

Data terakhir yang disampaikan BPS menunjukkan, rata-rata harga gabah dengan kualitas kering panen (Gabah Kering Panen /GKP) selama Juli 2020 di tingkat petani meningkat 1,44% atau menjadi Rp4.788 per Kg,dibandingan dengan Mei 2020. Sementara itu, di tingkat penggilingan harga rata-rata gabah kualitas GKP naik 1,32% menjadi Rp4.883 per kg.

Secara tahunan pendapatan petani padi juga meningkat, sebab pada Juli 2020 dibandingkan dengan harga gabah di Juli 2019 juga mengalami kenaikan. Di tingkat petani harga gabah kualitas GKP, Gabah Kering Giling (GKG) serta gabah di luar kualitas tersebut masing-masing naik sebesar 3,68% ; 3,30%, dan 3,11% .

Hal yang sama juga terjadi di tingkat penggilingan. Rata-rata harga pada Juli 2020 dibandingkan dengan Juli 2019 untuk kualitas GKP, GKG, dan gabah di luar kualitas tersebut masing-masing naik sebesar 3,62%; 4,01% dan 2,90%.

Kesejahteraan petani saat pandemijuga bisa diukur melalui NTP (Nilai Tukar Petani). NTP berupa indeks yang menggambarkan tingkat kemampuan daya beli petani di perdesaan. Daya beli dimaksud ini mencakup kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa kebutuhan sehari-hari, maupun untuk biaya produksi usaha pertanian.

Secara nasional NTP pada Juli 2020 tercatat sebesar 100,09 atau naik 0,49% dibanding NTP Mei 2020. Nah, untuk periode Januari–Juli 2020, NTP mencapai 101,29. NTP di periode ini lebih tinggi 1,16% dibandingkan NTP pada periode yang sama di tahun 2019. Dari sini tergambar jelas bahwa selama pandemi daya beli petani di desa malah meningkat.

Untuk menjadikan pertanian sebagai gerbong untuk menarik pertumbuhan ekonomi agar bergerak lebih cepat lagi, butuh upaya yang lebih keras lagi. Sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memperkuat sektor pertanian.

Pertanian masih menghadapi permasalahan klasik seperti harga komoditas yang turun saat panen. Harga pupuk, benih/bibit yang melonjak saat dibutuhkan di musim tanam. Tenaga kerja yang ada di sektor ini kualitasnya juga harus ditingkatkan dan perlu melakukan regenerasi petani. Mengajak kaum milenial untuk mau menjadi petani modern.
(eko)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1627 seconds (0.1#10.140)