Tanpa Jiwa, Perusahaan Tak Ada Artinya

Selasa, 02 Januari 2018 - 13:20 WIB
Tanpa Jiwa, Perusahaan Tak Ada Artinya
Tanpa Jiwa, Perusahaan Tak Ada Artinya
A A A
TOKYO - Lewat tangan dinginnya, Tadashi Yanai membentuk elemen kunci dari jiwa perusahaan yang membuatnya berubah dari sekadar toko busana menjadi ritel fashion yang mendunia.

Ada setumpuk kartu di meja Tadashi Yanai, CEO dan Presiden Fast Retailing, perusahaan induk Uniqlo. Kartu hitam itu berisi 23 Prinsip Manajemen yang dia rancang ketika berusia 30-an.

Perusahaannya saat itu bernama Ogri Shiji dengan omzet yang belum mencapai 1 miliar yen per tahun. Kini Yanai sudah berusia 68 tahun dan kartu tersebut masih tetap dibawa karyawannya di seluruh dunia.

Selama bertahun-tahun, kartu tersebut mencerminkan filosofi manajemen perusahaannya. Filosofi yang membuat dia bisa mengubah toko busana warisan orang tuanya menjadi raksasa ritel dunia. Pada 2015, pendapatannya mencapai USD15,5 miliar. Yanai menyebut, prinsip tersebut sebagai jiwa perusahaannya.

“Mereka adalah fondasi perusahaan yang paling penting. Jiwa adalah hal paling berharga yang kita miliki dalam hidup ini. Tanpa jiwa, perusahaan atau seseorang tidak lebih dari cangkang yang kosong,” ungkapnya.

Namun, jalan Yanai menuju sukses bukanlah hal yang lurus. Prinsip-prinsip yang dia tulis mencerminkan lika-liku perjalanannya. Ayahnya, Hitoshi Yanai, membuka Ogri Shiji di kota industri Ube, Yamaguchi, di ujung selatan Pulau Honshu di Jepang pada 1949. Bisnis ini didirikan pada 1963.

Namun, seiring bertambahnya usia, Yanai muda memiliki hal-hal lain pada pikirannya. Setelah lulus universitas, Yanai menghabiskan satu tahun bekerja untuk peritel lain sebelum mendarat di bisnis penjahit ayahnya pada 1972.

Namun, kedatangannya mendorong kepergian enam dari tujuh karyawan perusahaan tersebut. “Pada masa itu saya sangat sombong dan mereka semua mengira saya akan menjadi CEO perusahaan, jadi enam dari tujuh orang memutuskan untuk pergi,” tuturnya.

Dari situ, Yanai menempatkan dirinya pada tugas mengelola bisnis. “Saya perlu membersihkan toko dan menyikat jaket. Saya benar-benar harus melakukan semuanya sendiri karena tidak ada orang lain. Itu adalah kesempatan belajar yang besar,” ujarnya. Yanai dengan cepat belajar menempatkan pelanggan terlebih dahulu. “Tanpa pelanggan, bisnis tidak mampu mempertahankan dirinya sendiri,” katanya tanpa basa-basi.

“Saya juga menyadari bahwa saya sendiri hanya bisa melakukan sedikit hal,” lanjutnya. Seiring pertumbuhan perusahaan, dia mulai membuka lebih banyak toko dan mempekerjakan lebih banyak orang. “Itu membuat saya berpikir: ‘Mengapa kita bekerja? Siapa perusahaan kita?’. Karenanya, kami membutuhkan beberapa benang merah, beberapa prinsip, jadi kami mulai mendistribusikan kartu plastik ini,” katanya.

Yanai menulis tujuh atau delapan prinsip pertama saat ayahnya masih menjalankan perusahaannya. Dia menambahkan prinsip-prinsip yang tersisa setelah 1984, ketika memegang kendali perusahaan sebagai presiden. Pada tahun yang sama, perusahaan tersebut membuka toko Uniqlo pertamanya, yang kemudian disebut Gudang Pakaian Unik di Kota Hiroshima.

Terinspirasi perjalanannya ke Eropa dan Amerika Serikat, dia menemukan rantai pakaian kasual yang besar, seperti Benetton dan Gap. Yanai melihat potensi yang luar biasa untuk pasar pakaian santai Jepang dan mulai mengembangkan bisnis keluarga dari setelan pakaian kasual, membeli barang dagangan secara massal dengan biaya rendah.

Dia juga mengamati bahwa kebanyakan rantai busana asing terintegrasi secara vertikal, mengendalikan keseluruhan proses bisnis, mulai desain hingga produksi hingga ritel. Pada 1995, Yanai mulai menawarkan produk private label pertamanya.

Saat itu Uniqlo telah menjadi jaringan regional dengan jaringan toko di daerah pinggiran kota, di mana sewa rendah, dan Yanai telah menamai perusahaannya sebagai Fast Retailing, yang mencerminkan kepercayaannya dalam merespons konsumen dan mengambil keputusan lebih cepat daripada perusahaan lain.

Tahun 2004 merupakan tahun penting bagi Fast Retailing. Yanai tidak hanya memulai apa yang akan menjadi serangkaian akuisisi di luar negeri. Dia juga mulai memberi penekanan lebih besar pada kualitas, beriklan, serta menegaskan moto “kualitas datang lebih dulu, lalu harga”. Pada tahun yang sama, mengikuti Zara dan H&M, Yanai membuka toko format besar pertama Uniqlo di Osaka.

Saat ini Fast Retailing menjadi raksasa global, yang masa depannya terkait erat dengan kesuksesan di luar negara asalnya di Jepang. Di mana, Uniqlo menyumbang sekitar 82% dari pendapatan perusahaan, mengoperasikan lebih dari 840 toko dan telah memenuhi pasar. (Danang Arradian)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6385 seconds (0.1#10.140)