Cegah Polusi Udara Ibu Kota, Pengembangan BBM Ramah Lingkungan Mendesak
loading...
A
A
A
Dari catatan Kemenko Marves, secara fundamental, polusi udara datang dari pembakaran bahan bakar kendaraan yang tidak sempurna. Tercatat, ada sekitar 40-an juta kendaraan bermotor yang lalu lalang di DKI Jakarta.
"Begitu pula dengan studi yang dilakukan oleh Jakarta Rendah Emisi mengonfirmasi bahwa sektor transportasi menyumbang 67% emisi particulate matter (PM) 2.5, 58% emisi PM10, dan 84% emisi Karbon Hitam pada tahun 2019, dengan sumber utamanya adalah kendaraan berat," tukas Badar.
Kebijakan uji emisi kendaraan bermotor bisa menjadi quick action yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi pencemaran udara. Mensosialisasikan pentingnya menggunakan BBM yang sesuai dengan spesifikasi mesin, juga bisa menjadi solusi yang perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat. Karena, industri otomotif di Indonesia sudah memproduksi mobil mesin bensin dengan standar Euro 4 sejak 2018.
Sedangkan untuk mesin diesel dimulai sejak April 2022. Kemudian menyediakan BBM berkualitas untuk mendorong penurunan emisi dan memperbaiki kualitas udara adalah penting. Saat ini masih ada beberapa jenis bahan bakar yang tidak memenuhi standar Euro 4.
Diakui oleh Badar, bahwa hadirnya kendaraan listrik juga dapat menjadi solusi. Namun sambungnya, tantangannya juga tidak mudah, karena masih tingginya harga kendaraan listrik dan budaya masyarakat kita yang masih sangat menggandrungi kendaraan berbasis BBM.
"Bioetanol yang sedang direncanakan, juga semestinya perlu dikaji kembali. Dengan produksi dalam negeri yang minim, mustahil untuk mempertimbangkan bioetanol sebagai solusi jangka pendek dan menengah," kata Badar.
Belum lagi lanjutnya, penerapan bensin bioetanol secara nasional memerlukan investasi besar-besaran baik dalam bahan baku maupun peningkatan jaringan distribusi untuk mengakomodasi bioetanol dan mungkin memerlukan waktu puluhan tahun sebelum hal ini menjadi kenyataan. Solusi harus segera dirumuskan serius agar hak publik untuk mendapatkan udara sehat dapat terpenuhi.
Menurut Badar, penggunaan BBM berkualitas akan mendorong penurunan emisi dan memperbaiki kualitas udara. Solusi ini dapat di implementasikan dengan cepat. Indonesia, kata Badar, bisa belajar dari China yang sempat menjadi negara dengan polusi udara ekstrem, tetapi berhasil meningkatkan kualitas udara dalam waktu singkat dengan penerapan standar kualitas BBM yang lebih tinggi.
Negara tetangga pun sudah meninggalkan BBM berkualitas rendah dan mengadopsi BBM dengan standar Euro lebih tinggi daripada Indonesia. Bahkan, Presiden Jokowi pada tanggal 14 Agustus silam secara tegas telah menyatakan untuk mempercepat penerapan standar emisi Euro 5 atau 6 yang dimulai di wilayah Jabodetabek. Ini solusi yang perlu ditindaklanjuti segera.
“Kita tidak bisa selalu menggantungkan pada solusi jangka panjang, namun lupa untuk memikirkan solusi terdekat. Kesehatan masyarakat untuk mendapatkan udara yang lebih sehat, adalah hak fundamental yang harus segera dipenuhi," tandas Badar.
"Begitu pula dengan studi yang dilakukan oleh Jakarta Rendah Emisi mengonfirmasi bahwa sektor transportasi menyumbang 67% emisi particulate matter (PM) 2.5, 58% emisi PM10, dan 84% emisi Karbon Hitam pada tahun 2019, dengan sumber utamanya adalah kendaraan berat," tukas Badar.
Kebijakan uji emisi kendaraan bermotor bisa menjadi quick action yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi pencemaran udara. Mensosialisasikan pentingnya menggunakan BBM yang sesuai dengan spesifikasi mesin, juga bisa menjadi solusi yang perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat. Karena, industri otomotif di Indonesia sudah memproduksi mobil mesin bensin dengan standar Euro 4 sejak 2018.
Sedangkan untuk mesin diesel dimulai sejak April 2022. Kemudian menyediakan BBM berkualitas untuk mendorong penurunan emisi dan memperbaiki kualitas udara adalah penting. Saat ini masih ada beberapa jenis bahan bakar yang tidak memenuhi standar Euro 4.
Diakui oleh Badar, bahwa hadirnya kendaraan listrik juga dapat menjadi solusi. Namun sambungnya, tantangannya juga tidak mudah, karena masih tingginya harga kendaraan listrik dan budaya masyarakat kita yang masih sangat menggandrungi kendaraan berbasis BBM.
"Bioetanol yang sedang direncanakan, juga semestinya perlu dikaji kembali. Dengan produksi dalam negeri yang minim, mustahil untuk mempertimbangkan bioetanol sebagai solusi jangka pendek dan menengah," kata Badar.
Belum lagi lanjutnya, penerapan bensin bioetanol secara nasional memerlukan investasi besar-besaran baik dalam bahan baku maupun peningkatan jaringan distribusi untuk mengakomodasi bioetanol dan mungkin memerlukan waktu puluhan tahun sebelum hal ini menjadi kenyataan. Solusi harus segera dirumuskan serius agar hak publik untuk mendapatkan udara sehat dapat terpenuhi.
Menurut Badar, penggunaan BBM berkualitas akan mendorong penurunan emisi dan memperbaiki kualitas udara. Solusi ini dapat di implementasikan dengan cepat. Indonesia, kata Badar, bisa belajar dari China yang sempat menjadi negara dengan polusi udara ekstrem, tetapi berhasil meningkatkan kualitas udara dalam waktu singkat dengan penerapan standar kualitas BBM yang lebih tinggi.
Negara tetangga pun sudah meninggalkan BBM berkualitas rendah dan mengadopsi BBM dengan standar Euro lebih tinggi daripada Indonesia. Bahkan, Presiden Jokowi pada tanggal 14 Agustus silam secara tegas telah menyatakan untuk mempercepat penerapan standar emisi Euro 5 atau 6 yang dimulai di wilayah Jabodetabek. Ini solusi yang perlu ditindaklanjuti segera.
“Kita tidak bisa selalu menggantungkan pada solusi jangka panjang, namun lupa untuk memikirkan solusi terdekat. Kesehatan masyarakat untuk mendapatkan udara yang lebih sehat, adalah hak fundamental yang harus segera dipenuhi," tandas Badar.