Jokowi Wariskan Utang Rp8.000 Triliun di Akhir Jabatan, Ditanggung Presiden Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah kembali menarik utang baru sebesar Rp90,94 triliun sepanjang bulan November 2023 lalu. Sehingga posisi utang pemerintah per November sebesar Rp8.041 triliun.
Peneliti Ekonomi CORE (Center of Reform on Economic) Yusuf Rendy Manilet mengatakan dengan penambahan utang baru tersebut juga sejalan dengan peningkatan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto pada Bulan November sebesar 38,11%. Menurut Yusuf, peningkatan utang baru tersebut tentunya bakal PR (Pekerjaan Rumah) baru bagi pemerintah di Tahun depan.
"Penambahan (utang) yang terjadi punya konsekuensi, bagaimana pun pemerintah ingin menyasar agar rasio utang terhadap PDB itu setidaknya kembali sebelum terjadinya pandemi, penambahan ini menjadi PR Pemerintah nantinya dalam jangka menengah dan panjang," ujar Yusuf dalam Market Review IDXChannel, Jumat (22/12/2023).
Namun demikian, Yusuf menilai penambahan utang yang dilakukan pemerintah kadang kurang optimal. Sebab realisasi belanja hanya gencar dilakukan ketika sudah memasuki kuartal IV atau akhir tahun saja.
"Sayangnya kalau konteks belanja, ini PR yang terjadi setiap tahun diangkat pemerintah dalam hal realisasi belanja. Kalau kita lihat polanya, umumnya di kuartal IV pertumbuhan realisasi belanja pemerintah mengalami peningkatan, baik di pusat maupun di daerah, sehingga dugaan saya di akhir tahun Belanja baru di gas, untuk bisa lebih tinggi realisasinya," lanjut Yusuf.
"Kalau sudah menarik utang, dan realisasi belum baik, makanya itu kemudian menjadi diskursus tersendiri, perlu ada peningkatan realisasi pemerintah," sambungnya.
Lebih lanjut, Yusuf menjelaskan penambahan beban utang negara baru yang tembus Rp8.000 triliun itu akan menjadi PR bagi siapapun capres - cawapres yang terpilih tahun depan. Sebab jatuh tempo utang 2-3 tahun kedepan itu relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun sebelumnya.
"Tentu kalau jatuh tempo utang, Pemerintah perlu memikirkan strategi apakah kemudian melakukan refinancing, atau kemudian membayarkan utangnya. Ini akan berkaitan dengan kondisi ekonomi global dan domestik, termasuk didalamnya suku bunga acuan," pungkasnya.
Peneliti Ekonomi CORE (Center of Reform on Economic) Yusuf Rendy Manilet mengatakan dengan penambahan utang baru tersebut juga sejalan dengan peningkatan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto pada Bulan November sebesar 38,11%. Menurut Yusuf, peningkatan utang baru tersebut tentunya bakal PR (Pekerjaan Rumah) baru bagi pemerintah di Tahun depan.
"Penambahan (utang) yang terjadi punya konsekuensi, bagaimana pun pemerintah ingin menyasar agar rasio utang terhadap PDB itu setidaknya kembali sebelum terjadinya pandemi, penambahan ini menjadi PR Pemerintah nantinya dalam jangka menengah dan panjang," ujar Yusuf dalam Market Review IDXChannel, Jumat (22/12/2023).
Namun demikian, Yusuf menilai penambahan utang yang dilakukan pemerintah kadang kurang optimal. Sebab realisasi belanja hanya gencar dilakukan ketika sudah memasuki kuartal IV atau akhir tahun saja.
"Sayangnya kalau konteks belanja, ini PR yang terjadi setiap tahun diangkat pemerintah dalam hal realisasi belanja. Kalau kita lihat polanya, umumnya di kuartal IV pertumbuhan realisasi belanja pemerintah mengalami peningkatan, baik di pusat maupun di daerah, sehingga dugaan saya di akhir tahun Belanja baru di gas, untuk bisa lebih tinggi realisasinya," lanjut Yusuf.
"Kalau sudah menarik utang, dan realisasi belum baik, makanya itu kemudian menjadi diskursus tersendiri, perlu ada peningkatan realisasi pemerintah," sambungnya.
Lebih lanjut, Yusuf menjelaskan penambahan beban utang negara baru yang tembus Rp8.000 triliun itu akan menjadi PR bagi siapapun capres - cawapres yang terpilih tahun depan. Sebab jatuh tempo utang 2-3 tahun kedepan itu relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun sebelumnya.
"Tentu kalau jatuh tempo utang, Pemerintah perlu memikirkan strategi apakah kemudian melakukan refinancing, atau kemudian membayarkan utangnya. Ini akan berkaitan dengan kondisi ekonomi global dan domestik, termasuk didalamnya suku bunga acuan," pungkasnya.
(nng)