BI Disarankan Tahan Suku Bunga Acuan pada Level 6%, Berikut Dasarnya

Rabu, 21 Februari 2024 - 11:19 WIB
loading...
BI Disarankan Tahan Suku Bunga Acuan pada Level 6%, Berikut Dasarnya
Bank Indonesia (BI) disarankan perlu menahan suku bunga acuan kembali di 6,00% pada Februari 2024. Saran ini diberikan atas dasar beberapa bahan pertimbangan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) disarankan perlu menahan suku bunga acuan kembali di 6,00% pada Februari 2024. Saran ini diberikan atas dasar beberapa bahan pertimbangan.



Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan, pertimbangan pertama, inflasi umum turun menjadi 2,57% (y.o.y) pada bulan Januari 2024 mendekati titik tengah target baru sebesar 2,5%. Menurunnya dampak fenomena cuaca El-Nino terhadap harga pangan, penyaluran bantuan sosial untuk mengendalikan volatilitas pangan, dan berkurangnya dampak musiman akhir tahun mendorong penurunan inflasi pada bulan pertama tahun 2024.

" Neraca perdagangan masih berada pada teritori positif meski menurun sejak April 2022. Mengingat The Fed tidak akan menurunkan suku bunga kebijakannya dalam waktu dekat, kami menilai BI sebaiknya mempertahankan BI Rate di level 6,00% bulan ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar," ungkap Riefky dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (21/2/2024).



Perlu diketahui bahwa mulai tahun 2024, penghitungan inflasi menggunakan Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2022 sebagai basis baru menggantikan SBH tahun 2018. Pemutakhiran SBH tahun 2018 menjadi 2022 diharapkan dapat menangkap perubahan gaya hidup, khususnya akibat pandemi Covid-19

Jika dirinci, inflasi umum tahunan pada bulan Januari 2024 disebabkan oleh kenaikan harga pada ketiga komponen pembentuk inflasi. Inflasi inti mencatat perlambatan inflasi sebesar 1,68% (y.o.y) pada Januari 2024 dibandingkan 1,80% (y.o.y) pada Desember 2023.

"Dalam beberapa bulan mendatang, tekanan inflasi akan disebabkan oleh peningkatan pengeluaran akibat adanya beberapa libur panjang di bulan Februari 2024 dan harga pangan menjelang musim Ramadhan akibat naiknya permintaan masyarakat," jelas Riefky.

Selain pangan, kenaikan permintaan diperkirakan akan terjadi pada kelompok pengeluaran untuk pakaian dan mobilitas masyarakat menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.

Sejalan dengan ekspektasi pasar, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,04% (y.o.y) pada kuartal terakhir tahun 2023, sehingga perekonomian secara keseluruhan tumbuh sebesar 5,05% (y.o.y) pada tahun 2023.

Pertumbuhan PDB pada tahun 2023 lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 5,31% (y.o.y) pada tahun 2022 karena Indonesia masih menikmati sedikit efek low-base pada tahun 2022.

Pada awal tahun 2024, Indonesia membukukan neraca perdagangan positif sebesar USD2,01 miliar pada Januari 2024, terendah dalam enam bulan terakhir dibandingkan USD3,29 miliar pada bulan sebelumnya.

Ekspor pada Januari 2024 mengalami penurunan sebesar 8,06% (y.o.y) menjadi USD20,52 miliar, kontraksi yang lebih besar dibandingkan penurunan sebesar 5,76% (y.o.y) pada bulan sebelumnya.

Penurunan ekspor disebabkan oleh melemahnya permintaan global dan turunnya harga komoditas global sehingga berdampak pada penurunan ekspor migas dan nonmigas masing-masing sebesar 6,07% (y.o.y) (atau 5,49% (m.t.m)) dan 8,20% (y.o.y) (atau 8,54%). (m.t.m)).

"Dilihat dari dinamika terkini, ketahanan perekonomian domestik dan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed yang lebih rendah dalam waktu dekat, kami memandang BI perlu mempertahankan BI Rate pada level 6,00% pada rapat dewan gubernur BI bulan ini," ujarnya.

Hal itu karena inflasi tetap terjaga mendekati target baru sebesar 2,5% dengan tekanan inflasi terdekat kemungkinan berasal dari kenaikan pengeluaran pada beberapa libur akhir pekan panjang dan harga menjelang musim Ramadhan.

Meskipun sedikit terdepresiasi selama sebulan terakhir, Rupiah kini berada pada kisaran Rp15.650 per USD setelah pemilu. Dari sisi eksternal, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga kebijakannya dan mengindikasikan penurunan suku bunga kemungkinan akan ditunda.

Meskipun tidak ada tekanan dari inflasi, menjaga perbedaan imbal hasil yang memadai antara obligasi Pemerintah Indonesia dan obligasi Negara AS sangat penting untuk mencegah arus keluar modal dan menjaga nilai tukar Rupiah tetap terkendali.

"Mempertahankan BI Rate mungkin merupakan sikap paling bijak dalam Rapat Dewan Gubernur mendatang," pungkasnya.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1582 seconds (0.1#10.140)