DPR Siap Fasilitasi Pelaku Fintech Bahas Regulasi

Senin, 20 Agustus 2018 - 13:11 WIB
DPR Siap Fasilitasi Pelaku Fintech Bahas Regulasi
DPR Siap Fasilitasi Pelaku Fintech Bahas Regulasi
A A A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan siap memfasilitasi para pelaku usaha financial technology (fintech) yang mengeluh kesulitan dalam menyikapi inkonsistensi regulasi yang diterapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Komisi XI pun mengaku tidak ragu akan memanggil OJK jika para pelaku fintech melaporkan kesulitannya.

Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menuturkan, regulasi yang konsisten dan visioner sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan suatu industri kedepannya. Jika tidak konsisten, dunia usaha menurutnya dipastikan akan kesulitan, tidak terkecuali mengenai aturan terhadap para penyelenggara fintech yang sedang mengejar izin permanen dari regulator.

Karena itu, apabila penyelenggara fintech merasa ada aturan yang tidak konsisten dan cenderung mempersulit perolehan izinnya, mereka diminta melaporkan keluhannya kepada DPR, baik ke Komisi XI ataupun 10 fraksi yang ada di DPR.

Jika ada keluhan yang masuk, DPR siap memanggil OJK maupun pihak terkait lainnya, untuk menjelaskan dan mencari solusinya. "Intinya, tolong kalau ada keluhan atau kesulitan, jangan segan-segan untuk menyampaikannya ke Komisi XI DPR," ucap Hendrawan, Senin (20/8/2018).

Dengan melaporkan keluhannya ke DPR, proses perizinan diharapkan juga bisa lebih cepat karena ada dorongan DPR. Untuk saat ini sendiri mengenai aturan yang tampak inkonsisten karena terus berubah, Hendrawan menyatakan, siap mengecek apa saja yang diubah. "Nanti Komisi XI akan membicarakan ini dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan," ucapnya.

Hendrawan berupaya memahami adanya aturan ketat terkait industri fintech, sebagai bentuk kehati-hatian dari otoritas terkait untuk mencegah oportunisme. Akan tetapi, ia menegaskan, tidak dibenarkan juga jika aturan menjadi inkonsisten.

Hal tersebut justru bisa memicu banyak fintech ilegal yang beredar tanpa izin. Padahal akhir Juli lalu, OJK baru merilis adanya 227 fintech yang beroperasi ilegal. Jumlah ini bisa saja bertambah jika izin kian sulit diperoleh. "Karena itu, perlu diberi masukan apa yang mempersulit pelaku usaha agar kita melakukan kontrol. Karena DPR itu lembaga kontrol," tukasnya.

Senada, Amir Uskara dari Fraksi PPP juga melihat, aturan fintech yang berubah-ubah kerap menjadi keluhan pelaku usaha. Mengenai aturan yang ketat, ia memandang hal tersebut memang diperlukan untuk mengamankan kepentingan masyarakat. Hanya saja, aturan yang dibuat harusnya bisa sekonsisten mungkin. "Saya berharap OJK konsisten dengan aturan-aturan yang dibuatnya," ujarnya beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut dia memaparkan, agar iklim usaha fintech kondusif, OJK mesti terus melakukan pembinaan terhadap perusahaan yang ada. Namun, otoritas tidak boleh mengenyampingkan pembukaan ruang yang seluas-luasnya untuk penyelenggara fintech yang belum memperoleh izin.

Sebelumnya, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi, menyatakan aturan terkait perolehan izin di fintech memang bersifat dinamis. Perubahan bisa terjadi bergantung kondisi di dunia maupun dalam negeri.

Pengetatan aturan turunan dari POJK Nomor 77 Tahun 2016 pun dibuat sebagai tanggapan dari kasus penutupan hampir 200 fintech di China. Tujuannya agar fintech yang kelak memperoleh izin permanen adalah fintech yang benar-benar terpercaya dan kompeten. "Jadi, saya lebih memilih hanya ada satu atau dua fintech lending yang benar-benar kuat, sehat dan tahan banting daripada kita mempunyai 100 fintech yang membuat rakyat panik," paparnya.

Untuk diketahui, saat ini baru satu fintech yang mengantongi izin permanen sebagai penyelenggara fintech di Indonesia. Sebanyak 62 penyelenggara fintech lainnya baru memperoleh status terdaftar di OJK. Mereka yang terdaftar ini harus segera mengantongi izin permanen maksimal setahun semenjak memperoleh status terdaftarnya.

Peneliti Indef Andry Satrio Nugroho sebelumnya juga menuturkan, tanpa ekosistem yang baik, fintech yang pertumbuhannya tertahan, ujungnya justru membuat target inklusi keuangan sebesar 75% pada 2019 sulit digapai. Padahal menurutnya, fintech saat ini merupakan senjata utama Indonesia untuk bisa mencapai tingkat inklusi keuangan yang diharapkan.

"Kalau misalnya ada aturan yang bertabrakan. Pertama, ini mempengaruhi fintech. Kedua, fintech ini tidak bisa bekerja optimal untuk melakukan inklusi keuangan yang sedang digiatkan sekarang di Indonesia," tuturnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4495 seconds (0.1#10.140)