Ekonom: Perekonomian RI Lampu Kuning Jika Rupiah Sentuh Rp15.000/USD
A
A
A
JAKARTA - Perekonomian Indonesia bisa dikatakan lampu kuning apabila pelemahan nilai tukar rupiah terus berlanjut hingga tembus level Rp15.000/USD. Hal ini disampaikan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira yang menerangkan, hal itu karena bakal meningkatkan biaya produksi.
"Batas psikologis dari beberapa uji stress test adalah 15.000. Kalau mendekati angka itu artinya lampu kuning mau merah. Perusahaan BUMN dan swasta kuat tahan pelemahan sampai 15.000. Diatas itu, potensi utang gagal bayar tinggi dan biaya produksi naik signifikan," ujar Bhima kepada SINDOnews di Jakarta, Sabtu (1/9/2018).
(Baca Juga: Rizal Ramli Khawatirkan Kondisi Ekonomi RI Lima Tahun ke DepanSambung dia, menyarankan agar Bank Indonesia (BI) bisa menaikan suku bunga hingga 125 basis point jika rupiah telah menembus Rp15.000. "Karena tekanannya besar sehingga tidak cukup naikan bunga 125 bps. Harus lebih besar dari itu, namun tetap memerhatikan dampak ke sektor riil," jelasnya.
Penurunan rupiah mengikuti pelemahan mata uang sejumlah negara berkembang di antaranya peso Argentina, rupee India bahkan hingga Lira Turki. Apalagi, krisis Argentina ini memiliki kesamaan dengan Turki. Beberapa indikator kesehatan moneter dan fiskal Indonesia, Argentina dan Turki memiliki beberapa kesamaan meskipun kondisi Indonesia sedikit lebih baik.
(Baca Juga: BI Rate Naik Bisa Jadi Obat Penenang Bagi RupiahSebelumnya Pengamat Pasar Modal Reza Priyambada menyakini kenaikan suku bunga acuan atau Bank Indonesia (BI) 7-day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,50% pada awal Agustus 2018, dinilai menjadi obat penenang untuk rupiah. "BI kasih obat penenang lagi ke rupiah, bisa sembuh sesaat. Begitu efeknya hilang, bisa kumat lagi," jelas Reza.
"Batas psikologis dari beberapa uji stress test adalah 15.000. Kalau mendekati angka itu artinya lampu kuning mau merah. Perusahaan BUMN dan swasta kuat tahan pelemahan sampai 15.000. Diatas itu, potensi utang gagal bayar tinggi dan biaya produksi naik signifikan," ujar Bhima kepada SINDOnews di Jakarta, Sabtu (1/9/2018).
(Baca Juga: Rizal Ramli Khawatirkan Kondisi Ekonomi RI Lima Tahun ke DepanSambung dia, menyarankan agar Bank Indonesia (BI) bisa menaikan suku bunga hingga 125 basis point jika rupiah telah menembus Rp15.000. "Karena tekanannya besar sehingga tidak cukup naikan bunga 125 bps. Harus lebih besar dari itu, namun tetap memerhatikan dampak ke sektor riil," jelasnya.
Penurunan rupiah mengikuti pelemahan mata uang sejumlah negara berkembang di antaranya peso Argentina, rupee India bahkan hingga Lira Turki. Apalagi, krisis Argentina ini memiliki kesamaan dengan Turki. Beberapa indikator kesehatan moneter dan fiskal Indonesia, Argentina dan Turki memiliki beberapa kesamaan meskipun kondisi Indonesia sedikit lebih baik.
(Baca Juga: BI Rate Naik Bisa Jadi Obat Penenang Bagi RupiahSebelumnya Pengamat Pasar Modal Reza Priyambada menyakini kenaikan suku bunga acuan atau Bank Indonesia (BI) 7-day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,50% pada awal Agustus 2018, dinilai menjadi obat penenang untuk rupiah. "BI kasih obat penenang lagi ke rupiah, bisa sembuh sesaat. Begitu efeknya hilang, bisa kumat lagi," jelas Reza.
(akr)