Fitur Sosial Media Ada di Banyak E-Commerce, Apakah Melanggar?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mendekati tenggat waktu yang telah ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag), yakni hingga April 2024 proses integrasi TikTok dan Tokopedia hampir rampung.
Direktur Ekonomi Digital CELIOS Nailul Huda mengatakan ada satu titik akan ada aplikasi yang mulai menggabungkan berbagai fitur atau bersifat hybrid.
"Jadi saya tidak kaget ketika TikTok ingin mengakuisisi Tokopedia dan mengintegrasi layanannya ke dalam aplikasi TikTok," ujar dia dalam sebuah wawancara, dikutip Kamis (28/3/2024).
Menurut dia Tokopedia dan TikTok seharusnya tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Kemendag. Pasalnya Tokopedia telah memiliki lisensi untuk loka pasar di mana itu disyaratkan di Permendag 31 tahun 2023.
"TikTok juga sudah memiliki lisensi untuk sosial media. Sehingga tidak ada yang sebenarnya dipermasalahkan ketika mereka sudah memiliki lisensi untuk keduanya," jelasnya.
Terkait respons pemerintah, Huda menyoroti ragam argumen yang muncul terkait Permendag 31 dari sisi pemerintah itu sendiri.
"Kita tidak bisa mengekang inovasi, dia harus sosial media, dia harus loka pasar dan sebagainya. Kita melihat ke depan akan semakin banyak aplikasi sosial media yang mengalami perubahan seperti ini," kata dia.
Huda juga menjelaskan bahwa sebaiknya peraturan yang ada memiliki ruang bergerak karena ke depannya akan ada ruang “abu-abu” yang belum diatur dalam peraturan.
"Jangan lupa bahwa di beberapa e-commerce juga banyak yang memiliki fitur sosial media untuk berbagi video dan untuk live streaming di dalam platformnya. Ini yang disebut ruang abu-abu," jelasnya.
Sementara, Executive Director dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menjelaskan banyak platform e-commerce yang juga memiliki fitur serupa dengan sosial media.
"Harus ada equal level playing field dengan pemain-pemain e-commerce yang ada. Dengan hadirnya Permendag 31, harusnya aturan mainnya lebih jelas. Kalau kita lihat memang Tokopedia dan TikTok mencoba mengikuti aturan yang ada. Kita harus kawal terus hal ini," jelas Heru.
Heru menekankan dalam mengevaluasi kepatuhan platform atas Permendag 31 sangat penting untuk memberi perhatian pada keamanan data pengguna.
"Saya pikir sudah sesuai aturan. Yang pasti mereka melakukan pemisahan antara e-commerce dan sosial medianya. Misalnya mereka nanti menggunakan TikTok untuk berbelanja, pasti akan dialihkan ke Tokopedia. Dari beberapa uji coba yang kami lakukan, pengiriman dan pembayaran sudah lewat Tokopedia sebagai penyelenggara e-commercenya," kata Heru.
Di sisi lain, terkait kekhawatiran terhadap UMKM lokal karena predatory pricing atau produk-produk yang dijual di bawah harga pasar, Heru menjelaskan perlu ada pengawasan dan sama-sama memastikan bahwa produk yang dijual merupakan produk yang berkualitas dan juga harganya bersaing.
"Jadi tidak terlalu murah dan bersifat predatory pricing. Kalau dipastikan sekarang, barang yang dijual hampir sama dengan yang di jual di platform Tokopedia," katanya.
"Harapannya dengan integrasi dan perkembangan ini lebih banyak UMKM yang masuk ke ranah digital dan berkontribusi dalam ekonomi tanah air," tutup Heru.
Direktur Ekonomi Digital CELIOS Nailul Huda mengatakan ada satu titik akan ada aplikasi yang mulai menggabungkan berbagai fitur atau bersifat hybrid.
"Jadi saya tidak kaget ketika TikTok ingin mengakuisisi Tokopedia dan mengintegrasi layanannya ke dalam aplikasi TikTok," ujar dia dalam sebuah wawancara, dikutip Kamis (28/3/2024).
Menurut dia Tokopedia dan TikTok seharusnya tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Kemendag. Pasalnya Tokopedia telah memiliki lisensi untuk loka pasar di mana itu disyaratkan di Permendag 31 tahun 2023.
"TikTok juga sudah memiliki lisensi untuk sosial media. Sehingga tidak ada yang sebenarnya dipermasalahkan ketika mereka sudah memiliki lisensi untuk keduanya," jelasnya.
Terkait respons pemerintah, Huda menyoroti ragam argumen yang muncul terkait Permendag 31 dari sisi pemerintah itu sendiri.
"Kita tidak bisa mengekang inovasi, dia harus sosial media, dia harus loka pasar dan sebagainya. Kita melihat ke depan akan semakin banyak aplikasi sosial media yang mengalami perubahan seperti ini," kata dia.
Huda juga menjelaskan bahwa sebaiknya peraturan yang ada memiliki ruang bergerak karena ke depannya akan ada ruang “abu-abu” yang belum diatur dalam peraturan.
"Jangan lupa bahwa di beberapa e-commerce juga banyak yang memiliki fitur sosial media untuk berbagi video dan untuk live streaming di dalam platformnya. Ini yang disebut ruang abu-abu," jelasnya.
Sementara, Executive Director dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menjelaskan banyak platform e-commerce yang juga memiliki fitur serupa dengan sosial media.
"Harus ada equal level playing field dengan pemain-pemain e-commerce yang ada. Dengan hadirnya Permendag 31, harusnya aturan mainnya lebih jelas. Kalau kita lihat memang Tokopedia dan TikTok mencoba mengikuti aturan yang ada. Kita harus kawal terus hal ini," jelas Heru.
Heru menekankan dalam mengevaluasi kepatuhan platform atas Permendag 31 sangat penting untuk memberi perhatian pada keamanan data pengguna.
"Saya pikir sudah sesuai aturan. Yang pasti mereka melakukan pemisahan antara e-commerce dan sosial medianya. Misalnya mereka nanti menggunakan TikTok untuk berbelanja, pasti akan dialihkan ke Tokopedia. Dari beberapa uji coba yang kami lakukan, pengiriman dan pembayaran sudah lewat Tokopedia sebagai penyelenggara e-commercenya," kata Heru.
Di sisi lain, terkait kekhawatiran terhadap UMKM lokal karena predatory pricing atau produk-produk yang dijual di bawah harga pasar, Heru menjelaskan perlu ada pengawasan dan sama-sama memastikan bahwa produk yang dijual merupakan produk yang berkualitas dan juga harganya bersaing.
"Jadi tidak terlalu murah dan bersifat predatory pricing. Kalau dipastikan sekarang, barang yang dijual hampir sama dengan yang di jual di platform Tokopedia," katanya.
"Harapannya dengan integrasi dan perkembangan ini lebih banyak UMKM yang masuk ke ranah digital dan berkontribusi dalam ekonomi tanah air," tutup Heru.
(nng)