Pelaku Bisnis Fintech P2P Lending Bagikan Tips agar Calon Borrower Tak Gagal Bayar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kredit macet (NPL) atau gagal bayar merupakan risiko yang tidak bisa dihindari dalam industri fintech P2P lending . Akar penyebabnya berasal dari berbagai aspek, baik dari sisi pemberi pinjaman, peminjam, maupun faktor eksternal seperti pandemi ataupun perubahan iklim ekonomi.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, fintech P2P lending telah menyalurkan pinjaman kepada peminjam dana (borrower) senilai Rp22,57 triliun per Desember 2023. Beberapa pelaku usaha fintech P2P Lending memiliki kekhawatiran yang besar terhadap tantangan yang terjadi di industri ini.
Meskipun kehadiran P2P Lending tetap diperlukan untuk menjembatani masyarakat yang belum terlayani untuk mengakses pinjaman, tingkat penunggakan peminjam adalah faktor yang perlu diperhatikan. Beberapa pemain fintech P2P Lending telah memiliki berbagai strategi untuk memitigasi risiko gagal bayar.
Platform fintech P2P Lending, 360Kredi telah secara proaktif memitigasi risiko kredit macet melalui berbagai cara, termasuk memanfaatkan data skor kredit. CEO 360 Kredi Kuseryansyah menjelaskan sejak awal bisnisnya menerapkan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat, meskipun 100% proses pinjaman sudah contactless.
360Kredi saat ini mencatat sebanyak 60% penggunanya didominasi oleh kelompok usia 25-35 tahun. “Kami melihat di segmen first user, peminjam pertama profil literasinya masih,” lanjutnya.
Kus menambahkan perusahaannya telah memanfaatkan digitalisasi dengan optimal untuk operasional. "Kesuksesan operasional juga tidak berdiri sendiri, tapi juga didukung ekosistem digital, salah satunya tanda tangan digital, kami juga terbantu dengan credit scoring,” ungkapnya.
Dari sektor pinjaman produktif, platform P2P Lending Akseleran membagikan pentingnya mengukur kelayakan kredit personal sebelum mengajukan pinjaman. “Akan selalu ada borrower yang tidak bijak bahkan punya itikad tidak baik. Nah, ini mengapa penting sekali untuk melakukan asesmen pinjaman secara prudent, sehingga kita bisa memfilter dan meminimalisir borrower yg tidak mampu atau tidak niat membayar,” kata CEO Akseleran Ivan Tambunan.
Ivan memberikan saran bagi calon borrower untuk menghindari gagal bayar dengan cara mengkalkulasi cash flow, mengurangi perilaku konsumtif, dan selalu memilih platform pinjaman legal.
“Jangan ambil pinjaman tanpa mengkalkulasi pendapatan dan kemampuan bayar. Perlu bedakan keinginan, keperluan, dan yang kita perlu bisa jadi prioritas. Terakhir, pastikan platform yang legal. Bila berurusan dengan fintech ilegal, hanya banyak negatifnya saja seperti bunga tinggi dan penagihan kasar,” tambahnya.
Managing Partner dari firma hukum KARNA Partnership, Rizki Dwianda, menekankan bahwa kesadaran -dan literasi keuangan- pemberi dana (kreditur) akan informasi dalam kontrak pinjaman antara kreditur dengan fintech P2P lending perlu lebih ditingkatkan. Fintech P2P lending biasanya memang memiliki suku bunga lebih tinggi. Namun, setiap stakeholder, termasuk calon kreditur, tetap perlu untuk memperhatikan dan memahami ketentuan lain yang sudah dicantumkan dengan transparan baik pada platform maupun dalam kontrak pinjaman.
Klausul di dalam kontrak seperti hak dan kewajiban, pernyataan dan jaminan serta ketentuan mengenai denda (apabila ada) dan disclaimer mengenai risiko yang terdapat di platform merupakan poin-poin penting namun kerap luput dari pemahaman pengguna. ”Terlepas perlunya peningkatan literasi keuangan untuk mengurangi keresahan yang ada, tetap penting untuk ditekankan bahwa setiap peminjam memang berkewajiban untuk melunasi pinjamannya,” jelasnya.
Bagaimanapun, kolaborasi antarpemangku kepentingan sangat penting untuk memastikan risiko kredit macet bisa ditekan. Hal utama yang tidak kalah penting adalah kesadaran dari borrower atau peminjam memastikan kemampuan mereka untuk membayar sebelum melakukan pinjaman agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Lihat Juga: Fintech Berbasis di Singapura Masuk Daftar Perusahaan Teknologi dengan Pertumbuhan Tinggi
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, fintech P2P lending telah menyalurkan pinjaman kepada peminjam dana (borrower) senilai Rp22,57 triliun per Desember 2023. Beberapa pelaku usaha fintech P2P Lending memiliki kekhawatiran yang besar terhadap tantangan yang terjadi di industri ini.
Meskipun kehadiran P2P Lending tetap diperlukan untuk menjembatani masyarakat yang belum terlayani untuk mengakses pinjaman, tingkat penunggakan peminjam adalah faktor yang perlu diperhatikan. Beberapa pemain fintech P2P Lending telah memiliki berbagai strategi untuk memitigasi risiko gagal bayar.
Platform fintech P2P Lending, 360Kredi telah secara proaktif memitigasi risiko kredit macet melalui berbagai cara, termasuk memanfaatkan data skor kredit. CEO 360 Kredi Kuseryansyah menjelaskan sejak awal bisnisnya menerapkan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat, meskipun 100% proses pinjaman sudah contactless.
360Kredi saat ini mencatat sebanyak 60% penggunanya didominasi oleh kelompok usia 25-35 tahun. “Kami melihat di segmen first user, peminjam pertama profil literasinya masih,” lanjutnya.
Kus menambahkan perusahaannya telah memanfaatkan digitalisasi dengan optimal untuk operasional. "Kesuksesan operasional juga tidak berdiri sendiri, tapi juga didukung ekosistem digital, salah satunya tanda tangan digital, kami juga terbantu dengan credit scoring,” ungkapnya.
Dari sektor pinjaman produktif, platform P2P Lending Akseleran membagikan pentingnya mengukur kelayakan kredit personal sebelum mengajukan pinjaman. “Akan selalu ada borrower yang tidak bijak bahkan punya itikad tidak baik. Nah, ini mengapa penting sekali untuk melakukan asesmen pinjaman secara prudent, sehingga kita bisa memfilter dan meminimalisir borrower yg tidak mampu atau tidak niat membayar,” kata CEO Akseleran Ivan Tambunan.
Ivan memberikan saran bagi calon borrower untuk menghindari gagal bayar dengan cara mengkalkulasi cash flow, mengurangi perilaku konsumtif, dan selalu memilih platform pinjaman legal.
“Jangan ambil pinjaman tanpa mengkalkulasi pendapatan dan kemampuan bayar. Perlu bedakan keinginan, keperluan, dan yang kita perlu bisa jadi prioritas. Terakhir, pastikan platform yang legal. Bila berurusan dengan fintech ilegal, hanya banyak negatifnya saja seperti bunga tinggi dan penagihan kasar,” tambahnya.
Managing Partner dari firma hukum KARNA Partnership, Rizki Dwianda, menekankan bahwa kesadaran -dan literasi keuangan- pemberi dana (kreditur) akan informasi dalam kontrak pinjaman antara kreditur dengan fintech P2P lending perlu lebih ditingkatkan. Fintech P2P lending biasanya memang memiliki suku bunga lebih tinggi. Namun, setiap stakeholder, termasuk calon kreditur, tetap perlu untuk memperhatikan dan memahami ketentuan lain yang sudah dicantumkan dengan transparan baik pada platform maupun dalam kontrak pinjaman.
Klausul di dalam kontrak seperti hak dan kewajiban, pernyataan dan jaminan serta ketentuan mengenai denda (apabila ada) dan disclaimer mengenai risiko yang terdapat di platform merupakan poin-poin penting namun kerap luput dari pemahaman pengguna. ”Terlepas perlunya peningkatan literasi keuangan untuk mengurangi keresahan yang ada, tetap penting untuk ditekankan bahwa setiap peminjam memang berkewajiban untuk melunasi pinjamannya,” jelasnya.
Bagaimanapun, kolaborasi antarpemangku kepentingan sangat penting untuk memastikan risiko kredit macet bisa ditekan. Hal utama yang tidak kalah penting adalah kesadaran dari borrower atau peminjam memastikan kemampuan mereka untuk membayar sebelum melakukan pinjaman agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Lihat Juga: Fintech Berbasis di Singapura Masuk Daftar Perusahaan Teknologi dengan Pertumbuhan Tinggi
(poe)