Menggarap Serius Wisata Selain Bali

Selasa, 08 Januari 2019 - 07:56 WIB
Menggarap Serius Wisata Selain Bali
Menggarap Serius Wisata Selain Bali
A A A
JAKARTA - Pengembangan destinasi wisata 10 Bali Baru yang diklaim telah mencapai 110% harus diikuti tingkat penyebaran kunjungan wisatawan agar tidak terfokus di Bali. Perlu langkah-langkah khusus agar destinasi lain di luar Pulau Dewata dapat menarik wisatawan semaksimal mungkin.

Di samping itu, perlu peningkatan kualitas kunjungan yang dilihat dari lamanya wisatawan tinggal di suatu destinasi. Hal tersebut bisa dicapai apabila faktor pendukung industri pariwisata seperti infrastruktur tersedia secara memadai.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Rudiana mengakui, upaya pemerintah masih kurang mengintensifkan event di kawasan destinasi wisata 10 Bali Baru. Padahal, apabila ingin mengembangkan pariwisata di luar Bali, seharusnya banyak event yang dilakukan di 10 destinasi baru yang dicanangkan pemerintah.

Diketahui, 10 Bali Baru yang dikembangkan pemerintah meliputi Danau Toba (Sumatera Utara), Belitung (Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Candi Borobudur (Jawa Tengah), Gunung Bromo (Jawa Timur), Mandalika Lombok (Nusa Tenggara Barat), Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur), Taman Nasional Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku Utara). “Sekarang rasanya pemerintah masih bergantung pada Bali. Kalau serius membangun Bali Baru seharusnya lebih banyak agenda di luar Bali,” ujar Rudiana kepada KORAN SINDO kemarin.Dia merujuk pada penyelenggaraan acara internasional, yakni pertemuan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang digelar di Bali pada Oktober tahun lalu.
Dia juga mengatakan industri lain seperti penerbangan harus mendukung pariwisata domestik dengan harga yang kompetitif. Pasalnya, fakta di lapangan ada maskapai penerbangan yang justru menghapuskan harga kelas murah. Kasus terbaru bahkan ada maskapai penerbangan murah yang kini membebankan biaya bagasi kepada penumpang.

Berbagai tantangan tersebut tentu akan membuat pekerjaan rumah pemerintah dalam menarik wisatawan semakin berat. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) terkini, jumlah kunjungan wisatawan pada periode Januari-November 2018 baru mencapai 14,40 juta. Angka tersebut jauh dari target 2018 yang ditetapkan 17 juta wisman. Sedankan untuk tahun ini target jumlah kunjungan ditetapkan 20 juta orang.

Menurut Rudiana, saat ini persaingan pariwisata Indonesia terus mendapatkan disrupsi dari destinasi asing seperti Jepang. Bahkan, dari sisi layanan, penerbangan di Negeri Sakura menawarkan harga tidak jauh berbeda dengan tujuan seperti Jakarta-Manado atau Jakarta-Jayapura. Padahal, pengalaman yang dijanjikan di luar negeri jauh lebih menarik apabila bersaing head to head dengan potensi wisata yang ada di Tanah Air.“Mungkin untuk tujuan dinas mereka akan ke daerah timur Indonesia. Namun, untuk berwisata tentu akan membandingkan harga dan pengalaman apa yang didapat. Saat ini daya beli masyarakat juga sedang lemah, ditambah masyarakat masih trauma dengan berbagai bencana di Tanah Air,” ujarnya.
Terkait tingkat lamanya hunian turis di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia di hotel berbintang pada November 2018 baru mencapai 1,85 hari. Jumlah tersebut meningkat 0,05 poin dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Sebagai perbandingan, jumlah rata-rata lama turis menginap di Thailand berdasarkan data Global Destination City Index Mastercard mencapai 4,7 hari. Adapun dari sisi pendapatan jasa sewa kamar hotel, data Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat, di Indonesia hanya meraup USD98 per hari, sementara Thailand mencapai USD130 per hari.

Ketua Tim Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Prioritas Hiramsyah S Thaib mengatakan, perkembangan pembangunan 10 Bali Baru di atas ekspektasi yang ditetapkan yakni mencapai 110% dari rencana awal.

Dari sisi investasi, ujar dia, kawasan pariwisata Mandalika di Nusa Tenggara Barat, sudah berhasil mendapatkan investasi sebesar USD2 miliar (sekitar 29 triliun, kurs Rp14.500 per dolar AS) dari berbagai investor. Sementara destinasi kawasan Danau Toba telah mendapatkan investasi lebih dari Rp6 triliun dari investor lokal.

“Berikutnya yang kita kejar investasi untuk destinasi Borobudur, Labuan Bajo, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, dan Morotai. Sejauh ini perkembangannya memuaskan di atas ekspektasi awal kita,” ujar Hiramsyah saat dihubungi kemarin.

Dia juga mengatakan, masih menunggu status destinasi prioritas untuk ditingkatkan seperti destinasi Bromo Tengger Semeru, Labuan Bajo, dan Wakatobi. Tiga kawasan tersebut sedang menanti keluarnya Perpres sehingga resmi menjadi Badan Otorita Pariwisata (BOP). Kawasan lainnya sudah memiliki status yang terbagi empat kawasan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sementara tiga kawasan telah resmi menjadi sebagai BOP.

Hiramsyah mengatakan, isu utama yang mendesak di sektor pariwisata adalah pembangunan infrastruktur yang sebagian besar ditargetkan selesai pada tahun ini. Dia menyebut, beberapa proyek yang dikebut pengerjaannya adalah bandara Kulon Progo Yogyakarta. “Ini akan membuat lompatan kunjungan wisatawan mancanegara yang juga turut berdampak pada minat investasi,” katanya.

Di kawasan Danau Toba, selain bandara yang sudah beroperasi, juga akan ada jalan tol pada untuk akses jalan darat dari Kuala Namu, Kuala Tanjung, atau Medan. “Dengan akses darat kapal pesiar juga tentu akan berminat merapat untuk melakukan tur 3-4 hari ke Danau Toba. Dalam atraksi kita kaya akan budaya dan alam. Namun, selama ini masalahnya pada akses sehingga kini kita perkuat destinasi dan manajemen tunggal,” ujarnya.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari mengingatkan, sejak 2010 lalu tren pariwisata dunia telah bergeser dari pariwisata berbasis kuantitas menjadi pariwisata yang menekankan kualitas. Menurut Azril, apabila sebelumnya wisatawan ingin menikmati kekayaan alam (sun-sand-sea), maka saat ini wisatawan ingin mendapatkan ketenangan melalui pengalaman terbaiknya yang belum pernah dialami di daerah wisata. “Wisatawan kini juga ingin berperan aktif dalam aktivitas pariwisata dalam hal ini lebih ke serenity, spirituality, dan sustainability,” katanya.

Azril juga mengkritik pemerintah yang ingin meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia di tahun ini sebanyak 20 juta turis. Target tersebut tidak memperhitungkan kecenderungan pertumbuhan pariwisata selama ini yang hanya mampu mencapai 9% (2001-2014). “Pemerintah juga keliru ingin meningkatkan jumlah wisman. Seharusnya fokus pada durasi mereka tinggal di Indonesia dan uang yang mereka belanjakan,” ujarnya.

Pendanaan Infrastruktur Pariwisata
Di bagian lain, terkait pendanaan infrastruktur pariwisata pemerintah telah menyiapkan skema kerja sama antara pemerintah dan badan usaha (KPBU). Dana tersebut tidak hanya akan digunakan untuk menggenjot pembangunan amenitas atau fasilitas penunjang pariwisata, namun juga untuk membangun infrastruktur menuju destinasi wisata.

CEO Pembiayaan Investasi Anggaran Nonpemerintah (PINA) Eko Putro Adijayanto menyatakan siap mendukung proyek 10 Bali Baru melalui skema PINA, yaitu pembiayaan investasi non anggaran pemerintah. Menurut Eko, tantangan utama saat ini adalah seluruh masterplan dan financial feasibility studies dari 10 Bali Baru, kecuali Mandalika yang dikelola Indonesia Tourism Development Coporation (ITDC), masih dalam proses penyusunan.

“Padahal, masterplan dan financial feasibility study adalah syarat utama kami dapat memasarkan 10 Bali Baru untuk investor baik dalam dan luar negeri. Tentunya sulit juga untuk kita berjualan. Namun kami terus berupaya menemukan solusinya,” ujar Eko.

Dia menambahkan, PINA terus mendorong penyusunannya studi kelayakan dan masterplan dengan melakukan penjajakan dengan sejumlah investor dari berbagai negara. “Tahun 2019 ini kami menjajaki serius beberapa investor dari Australia, Singapura, Jepang, dan Cina, untuk menyusun masterplan dan feasibility study sekaligus menjadi investor,” ujarnya.

Menurut Eko, hal lain yang penting selain kelayakan finansial adalah rencana terintegrasi membangun Bali Baru agar tidak sekadar menjadi target wisatawan, tetapi harus dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai. (Hafid Fuad)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5822 seconds (0.1#10.140)