China Gelar 'Kampanye Piring Bersih', Tanda-tanda Krisis Pangan?
loading...
A
A
A
CANBERRA - Presiden China Xi Jinping telah mengeluarkan arahan kepada para pengelola restoran di negaranya untuk mempraktikkan penghematan dan memerangi pemborosan makanan.
Dalam komentar yang disampaikan melalui media resmi pemerintah pekan lalu, Xi mengatakan masalah limbah makanan "mengejutkan dan menyedihkan" dan menekankan kebutuhan bagi masyarakat untuk memiliki rasa krisis terkait keamanan pangan .
"Secara efektif menumbuhkan kebiasaan hemat dan menumbuhkan lingkungan sosial dimana sampah itu memalukan dan penghematan adalah hal yang terpuji," ungkapnya seperti dikutip ABC News.
(Baca Juga: AS-China Adu Kuat, Dunia Berisiko Jadi Dua Blok)
Sementara, arahan dari pemerintah tersebut sejauh ini menghasilkan hal yang berbeda-beda di bisnis restoran negara tersebut. Setidaknya satu restoran dikritik karena mendorong pelanggannya untuk menimbang diri mereka sendiri sebelum duduk, dan staf kemudian menawarkan saran kepada pelanggan tentang apa yang harus mereka pesan berdasarkan berat badan mereka.
Interpretasi dari Kampanye Piring Bersih Xi ini telah memunculkan respons kemarahan secara online. Tetapi, ini hanyalah salah satu cara restoran di negara dengan populasi terpadat di dunia itu untuk mengurangi limbah makanan. Sejumlah pemerintah daerah bahkan membuat sistem yang lebih formal untuk mengurangi sisa makanan.
Dalam budaya Tiongkok, memesan atau menyajikan lebih banyak makanan daripada yang dibutuhkan dipandang sebagai cara untuk menunjukkan keramahan tuan rumah, dan orang-orang secara tradisional berbagi hidangan saat makan di luar.
Namun para ahli mengatakan dorongan baru untuk berhemat mungkin menunjukkan masalah ketahanan pangan yang lebih dalam di China. Untuk diketahui, dalam setahun terakhir China menghadapi gangguan pasokan yang cukup berat.
Meski limbah makanan adalah masalah nyata di China, beberapa orang curiga tentang mengapa para pejabat negara komunis itu sangat serius pada Kampanye Piring Bersih tersebut.
(Baca Juga: MPR Minta Waspadai Ancaman Krisis Pangan Akibat Pandemi)
Dengan populasi 1,4 miliar orang - hampir seperlima dari populasi manusia di Bumi - China tidak mampu memproduksi semua makanan yang dibutuhkan warganya. China mengimpor jauh lebih banyak makanan daripada mengekspor, menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Strategis dan Internasional, dan situasi ini sepertinya tidak akan berubah mengingat relatif kurangnya lahan subur di negara itu.
Namun, hal ini tidak berarti China tidak mampu memenuhi kebutuhan makan seluruh penduduknya sendiri jika terpaksa; negara ini memiliki tingkat swasembada 95% dalam hal tanaman utama seperti gandum, beras, dan jagung. Tetapi gambarannya menjadi sedikit lebih rumit ketika mempertimbangkan hal-hal yang benar-benar ingin dimakan orang, seperti misalnya daging babi.
China adalah konsumen daging babi terbesar di dunia dan mengimpor dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan di negara tersebut. Impor ini membengkak setelah China tahun lalu dilanda wabah demam babi Afrika (ASF) yang sangat parah, yang memusnahkan sekitar setengah dari ternak babi di negara itu.
Hal ini menyebabkan kenaikan harga daging babi di China - sesuatu yang diperparah oleh pandemi virus corona, yang telah menghambat perdagangan global.
"Setelah wabah Covid-19, ekspor China telah menurun secara signifikan, dan ini telah mengurangi cadangan devisa terutama dalam bentuk dolar Amerika Serikat," kata He-ling Shi, seorang profesor ekonomi di Monash University, kepada ABC.
"Karena kekurangan cadangan devisa, Pemerintah China sekarang merasa cukup sulit untuk membeli makanan dalam jumlah yang cukup untuk memberi makan pelanggan domestik," sambungnya.
Bencana alam juga berperan. Banjir mematikan dalam beberapa bulan terakhir mempengaruhi area penting penanaman padi dan juga menyebabkan kebangkitan infeksi ASF di China Selatan. Babi yang terinfeksi biasanya dikubur dan diduga banjir menyebabkan penyakit menyebar melalui air tanah dan menginfeksi beberapa ternak yang pulih.
(Baca Juga: Banjir Genangi Situs Warisan Dunia, China Evakuasi 100.000 Orang)
Terlepas dari malapetaka, banjir, dan bahkan lebih banyak wabah penyakit, media pemerintah China bersikukuh bahwa tidak ada masalah keamanan pangan di negara tersebut, atau bahkan masalah yang membayang di cakrawala.
Namun Shi mengatakan, harga babi yang berfluktuasi menceritakan kisah yang berbeda. "Harganya, setahu saya, telah meningkat sekitar 70% dalam tiga bulan terakhir. Itu berarti ada kekurangan daging babi yang cukup parah di pasar China," katanya.
"Harga akan mengatakan yang sebenarnya. Kenaikan harga daging babi sebesar 70% jelas memberi tahu kita bahwa ada masalah yang cukup serius," tandasnya.
Dalam komentar yang disampaikan melalui media resmi pemerintah pekan lalu, Xi mengatakan masalah limbah makanan "mengejutkan dan menyedihkan" dan menekankan kebutuhan bagi masyarakat untuk memiliki rasa krisis terkait keamanan pangan .
"Secara efektif menumbuhkan kebiasaan hemat dan menumbuhkan lingkungan sosial dimana sampah itu memalukan dan penghematan adalah hal yang terpuji," ungkapnya seperti dikutip ABC News.
(Baca Juga: AS-China Adu Kuat, Dunia Berisiko Jadi Dua Blok)
Sementara, arahan dari pemerintah tersebut sejauh ini menghasilkan hal yang berbeda-beda di bisnis restoran negara tersebut. Setidaknya satu restoran dikritik karena mendorong pelanggannya untuk menimbang diri mereka sendiri sebelum duduk, dan staf kemudian menawarkan saran kepada pelanggan tentang apa yang harus mereka pesan berdasarkan berat badan mereka.
Interpretasi dari Kampanye Piring Bersih Xi ini telah memunculkan respons kemarahan secara online. Tetapi, ini hanyalah salah satu cara restoran di negara dengan populasi terpadat di dunia itu untuk mengurangi limbah makanan. Sejumlah pemerintah daerah bahkan membuat sistem yang lebih formal untuk mengurangi sisa makanan.
Dalam budaya Tiongkok, memesan atau menyajikan lebih banyak makanan daripada yang dibutuhkan dipandang sebagai cara untuk menunjukkan keramahan tuan rumah, dan orang-orang secara tradisional berbagi hidangan saat makan di luar.
Namun para ahli mengatakan dorongan baru untuk berhemat mungkin menunjukkan masalah ketahanan pangan yang lebih dalam di China. Untuk diketahui, dalam setahun terakhir China menghadapi gangguan pasokan yang cukup berat.
Meski limbah makanan adalah masalah nyata di China, beberapa orang curiga tentang mengapa para pejabat negara komunis itu sangat serius pada Kampanye Piring Bersih tersebut.
(Baca Juga: MPR Minta Waspadai Ancaman Krisis Pangan Akibat Pandemi)
Dengan populasi 1,4 miliar orang - hampir seperlima dari populasi manusia di Bumi - China tidak mampu memproduksi semua makanan yang dibutuhkan warganya. China mengimpor jauh lebih banyak makanan daripada mengekspor, menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Strategis dan Internasional, dan situasi ini sepertinya tidak akan berubah mengingat relatif kurangnya lahan subur di negara itu.
Namun, hal ini tidak berarti China tidak mampu memenuhi kebutuhan makan seluruh penduduknya sendiri jika terpaksa; negara ini memiliki tingkat swasembada 95% dalam hal tanaman utama seperti gandum, beras, dan jagung. Tetapi gambarannya menjadi sedikit lebih rumit ketika mempertimbangkan hal-hal yang benar-benar ingin dimakan orang, seperti misalnya daging babi.
China adalah konsumen daging babi terbesar di dunia dan mengimpor dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan di negara tersebut. Impor ini membengkak setelah China tahun lalu dilanda wabah demam babi Afrika (ASF) yang sangat parah, yang memusnahkan sekitar setengah dari ternak babi di negara itu.
Hal ini menyebabkan kenaikan harga daging babi di China - sesuatu yang diperparah oleh pandemi virus corona, yang telah menghambat perdagangan global.
"Setelah wabah Covid-19, ekspor China telah menurun secara signifikan, dan ini telah mengurangi cadangan devisa terutama dalam bentuk dolar Amerika Serikat," kata He-ling Shi, seorang profesor ekonomi di Monash University, kepada ABC.
"Karena kekurangan cadangan devisa, Pemerintah China sekarang merasa cukup sulit untuk membeli makanan dalam jumlah yang cukup untuk memberi makan pelanggan domestik," sambungnya.
Bencana alam juga berperan. Banjir mematikan dalam beberapa bulan terakhir mempengaruhi area penting penanaman padi dan juga menyebabkan kebangkitan infeksi ASF di China Selatan. Babi yang terinfeksi biasanya dikubur dan diduga banjir menyebabkan penyakit menyebar melalui air tanah dan menginfeksi beberapa ternak yang pulih.
(Baca Juga: Banjir Genangi Situs Warisan Dunia, China Evakuasi 100.000 Orang)
Terlepas dari malapetaka, banjir, dan bahkan lebih banyak wabah penyakit, media pemerintah China bersikukuh bahwa tidak ada masalah keamanan pangan di negara tersebut, atau bahkan masalah yang membayang di cakrawala.
Namun Shi mengatakan, harga babi yang berfluktuasi menceritakan kisah yang berbeda. "Harganya, setahu saya, telah meningkat sekitar 70% dalam tiga bulan terakhir. Itu berarti ada kekurangan daging babi yang cukup parah di pasar China," katanya.
"Harga akan mengatakan yang sebenarnya. Kenaikan harga daging babi sebesar 70% jelas memberi tahu kita bahwa ada masalah yang cukup serius," tandasnya.
(fai)