Pacu Pertumbuhan Ekonomi 2024, UU Cipta Kerja Disiapkan Jadi Motornya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Demi ciptakan keselarasan dan integrasi sistem perizinan , Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja kembali menggelar focus group discussion yang mengusung tema “Reformasi Penerbitan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha” di Medan, beberapa waktu lalu.
Pertumbuhan ekonomi di tahun 2024 diharapkan tumbuh lebih dari 5%. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja, Arif Budimanta dihadapkan kurang lebih 70 peserta FGD. Ditekankan olehnya bahwa stimulus untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5% membutuhkan reformasi struktural.
“Upaya pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi ini, salah satunya melalui akselerasi penerapan UU Cipta Kerja dengan segala aturan turunannya," jelas Arif dalam sambutannya.
Sejak adanya UU Cipta Kerja, Arif menjelaskan, bahwa ada upaya untuk mereformasi secara struktural, di mana undang-undang ini memberikan kemudahan, pemberdayaan, sekaligus perlindungan kepada dunia usaha.
“Dalam UU Cipta Kerja semua perizinan berbasis risiko, hal ini menjadi suatu terobosan baru yang lebih sistematis. Risiko itu menyangkut lingkungan, keselamatan manusia, serta aspek sosial lainnya,” ujar Arif.
Sehingga menurut Arif, perizinan dasar seperti PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), SLF (Sertifikat Laik Fungsi), dan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) menjadi sangat penting dan perlu reformasi agar semakin mudah serta cepat prosesnya.
Lebih lanjut, Arif menekankan, bahwa dalam era 4.0 semua permohonan yang berkaitan dengan perizinan harus mulai beralih dari manual menjadi digital.
“Instrumen yang ada dalam perizinan itu ada instrumen sistem, yaitu OSS-RBA(Online Single Submission - Risk Based Approach). Adanya OSS ini, menjadi dorongan agar masyarakat, khususnya pemohon paham akan tata cara penggunaannya secara digital,” jelasnya.
Arif melanjutkan, bahwa sistem tersebut tidak akan terintegrasi dengan baik jika tidak ada kerjasama yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta penerima manfaat.
“Hal ini karena integrasi sistem membutuhkan integrasi aturan, jadi aturan itu tidak hanya berada di tingkat Kementerian saja, daerah pun perlu mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) atau Perkada (Peraturan Kepala Daerah) yang sejalan dengan peraturan pusatnya,” ungkap Arif.
Sebagai penutup sambutannya, Arif mendorong para peserta FGD untuk melakukan diskusi secara terbuka, serta memberikan usulan-usulan yang solutif demi menciptakan forum yang kritis dan dinamis.
“Melalui FGD ini, kami (Satgas UU Cipta Kerja) sedang melakukan monitoring akan implementasi pelayanan perizinan berusaha di lapangan. Apakah sudah baik atau memang masih memerlukan perbaikan, sehingga dibutuhkan forum yang kritis dan solutif,” ungkapnya.
Selaras dengan tujuan UU Cipta Kerja dalam memudahkan perizinan berusaha, Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN, Rahma Julianti menjelaskan, bahwa perizinan dasar KKPR sekarang menjadi semakin mudah dan yang paling penting memberikan kepastian kepada pemohon.
“Bahkan bagi UMK, mereka bisa membuat penyataan mandiri di sistem OSS bahwa usaha yang mereka jalankan sesuai dengan rencana tata ruang, bisa langsung terbit itu,” ucap Rahma.
Walaupun secara aturan sudah mengalami perbaikan, tetapi menurut Rahma masih ada beberapa isu yang sering dihadapi saat pelaksanaannya. “Isu pelaksanaan KPPR secara umum ada tiga aspek, pertama dari segi SDM, masih ada pemohon yang belum paham terkait proses bisnis pelayanan penerbitan KKPR,” ujar Rahma.
Isu lainnya, Rahma menjelaskan, ada dari aspek teknis pelaksanaannya, di mana ada ketidaksesuaian KKPR otomatis hasil dari pernyataan mandiri pelaku usaha dengan rencana tata ruang dan tingkat risiko kegiatannya. Serta dari aspek Sistem Elektronik Pelayanan KKPR, seperti masih terjadi error di sistem OSS.
Akan tetapi, Kementerian ATR/BPN pun, ungkap Rahma, sudah menyiapkan roadmap percepatan agar isu tersebut bisa diatasi.
“Ada 4 strategi percepatan pelayanan KKPR, yaitu percepatan penyusunan RDTR, pembangunan dan pemanfaatan pusat data nasional, peningkatan kualitas SDM pelayanan KKPR, serta sosialisasi dan edukasi masyarakat dalam ekosistem digital layanan KKPR,” beber Rahma dalam sesi pemaparan narasumber.
FGD ini dihadiri oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman Dan Penataan Ruang Kota Medan, Dinas Cipta Karya Dan Tata Ruang Kabupaten Deli Serdang, Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Medan, Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Konstruksi Kota Medan, Dinas PUPR Kota Medan, dan Dinas Perikanan Kabupaten Deli Serdang.
Selain dinas, turut hadir sebagai peserta FGD dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Provinsi Sumatera Utara, Asosiasi Real Estate Indonesia (REI) Sumatera Utara, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Sumatera Utara, Federasi Asosiasi Perikanan Indonesia (FAPI) Sumatera Utara, dan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) Sumatera Utara.
Lihat Juga: Kemenparekraf: Literasi Keuangan dan Bisnis DPUP 2024 Cegah dari Pinjol Ilegal dan Judol
Pertumbuhan ekonomi di tahun 2024 diharapkan tumbuh lebih dari 5%. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja, Arif Budimanta dihadapkan kurang lebih 70 peserta FGD. Ditekankan olehnya bahwa stimulus untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5% membutuhkan reformasi struktural.
“Upaya pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi ini, salah satunya melalui akselerasi penerapan UU Cipta Kerja dengan segala aturan turunannya," jelas Arif dalam sambutannya.
Sejak adanya UU Cipta Kerja, Arif menjelaskan, bahwa ada upaya untuk mereformasi secara struktural, di mana undang-undang ini memberikan kemudahan, pemberdayaan, sekaligus perlindungan kepada dunia usaha.
“Dalam UU Cipta Kerja semua perizinan berbasis risiko, hal ini menjadi suatu terobosan baru yang lebih sistematis. Risiko itu menyangkut lingkungan, keselamatan manusia, serta aspek sosial lainnya,” ujar Arif.
Sehingga menurut Arif, perizinan dasar seperti PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), SLF (Sertifikat Laik Fungsi), dan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) menjadi sangat penting dan perlu reformasi agar semakin mudah serta cepat prosesnya.
Lebih lanjut, Arif menekankan, bahwa dalam era 4.0 semua permohonan yang berkaitan dengan perizinan harus mulai beralih dari manual menjadi digital.
“Instrumen yang ada dalam perizinan itu ada instrumen sistem, yaitu OSS-RBA(Online Single Submission - Risk Based Approach). Adanya OSS ini, menjadi dorongan agar masyarakat, khususnya pemohon paham akan tata cara penggunaannya secara digital,” jelasnya.
Arif melanjutkan, bahwa sistem tersebut tidak akan terintegrasi dengan baik jika tidak ada kerjasama yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta penerima manfaat.
“Hal ini karena integrasi sistem membutuhkan integrasi aturan, jadi aturan itu tidak hanya berada di tingkat Kementerian saja, daerah pun perlu mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) atau Perkada (Peraturan Kepala Daerah) yang sejalan dengan peraturan pusatnya,” ungkap Arif.
Sebagai penutup sambutannya, Arif mendorong para peserta FGD untuk melakukan diskusi secara terbuka, serta memberikan usulan-usulan yang solutif demi menciptakan forum yang kritis dan dinamis.
“Melalui FGD ini, kami (Satgas UU Cipta Kerja) sedang melakukan monitoring akan implementasi pelayanan perizinan berusaha di lapangan. Apakah sudah baik atau memang masih memerlukan perbaikan, sehingga dibutuhkan forum yang kritis dan solutif,” ungkapnya.
Selaras dengan tujuan UU Cipta Kerja dalam memudahkan perizinan berusaha, Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN, Rahma Julianti menjelaskan, bahwa perizinan dasar KKPR sekarang menjadi semakin mudah dan yang paling penting memberikan kepastian kepada pemohon.
“Bahkan bagi UMK, mereka bisa membuat penyataan mandiri di sistem OSS bahwa usaha yang mereka jalankan sesuai dengan rencana tata ruang, bisa langsung terbit itu,” ucap Rahma.
Walaupun secara aturan sudah mengalami perbaikan, tetapi menurut Rahma masih ada beberapa isu yang sering dihadapi saat pelaksanaannya. “Isu pelaksanaan KPPR secara umum ada tiga aspek, pertama dari segi SDM, masih ada pemohon yang belum paham terkait proses bisnis pelayanan penerbitan KKPR,” ujar Rahma.
Isu lainnya, Rahma menjelaskan, ada dari aspek teknis pelaksanaannya, di mana ada ketidaksesuaian KKPR otomatis hasil dari pernyataan mandiri pelaku usaha dengan rencana tata ruang dan tingkat risiko kegiatannya. Serta dari aspek Sistem Elektronik Pelayanan KKPR, seperti masih terjadi error di sistem OSS.
Akan tetapi, Kementerian ATR/BPN pun, ungkap Rahma, sudah menyiapkan roadmap percepatan agar isu tersebut bisa diatasi.
“Ada 4 strategi percepatan pelayanan KKPR, yaitu percepatan penyusunan RDTR, pembangunan dan pemanfaatan pusat data nasional, peningkatan kualitas SDM pelayanan KKPR, serta sosialisasi dan edukasi masyarakat dalam ekosistem digital layanan KKPR,” beber Rahma dalam sesi pemaparan narasumber.
FGD ini dihadiri oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman Dan Penataan Ruang Kota Medan, Dinas Cipta Karya Dan Tata Ruang Kabupaten Deli Serdang, Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Medan, Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Konstruksi Kota Medan, Dinas PUPR Kota Medan, dan Dinas Perikanan Kabupaten Deli Serdang.
Selain dinas, turut hadir sebagai peserta FGD dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Provinsi Sumatera Utara, Asosiasi Real Estate Indonesia (REI) Sumatera Utara, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Sumatera Utara, Federasi Asosiasi Perikanan Indonesia (FAPI) Sumatera Utara, dan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) Sumatera Utara.
Lihat Juga: Kemenparekraf: Literasi Keuangan dan Bisnis DPUP 2024 Cegah dari Pinjol Ilegal dan Judol
(akr)