Batasi Sawit, Darmin Sebut Uni Eropa Takut Produknya Kalah Saing
Jum'at, 12 April 2019 - 20:55 WIB

Batasi Sawit, Darmin Sebut Uni Eropa Takut Produknya Kalah Saing
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, rencana pengesahan Renewable Energy Directive (RED) II oleh Uni Eropa (UE) merupakan langkah proteksionisme agar produk minyak nabati asal kawasan tersebut tidak kalah saing dengan sawit. Indonesia sendiri merespons keras rencana Uni Eropa melarang sawit (CPO) dan produk turunannya masuk ke pasar kawasan itu.
Sambung Darmin menerangkan, produktivitas minyak kelapa sawit untuk setiap hektarnya 10 kali lebih besar dari minyak nabati yang dihasilkan dari soybean, sunflower, rapeseed. Bahkan, penggunaan lahan soybean dan sunflower sembilan kali lebih besar dari lahan yang digunakan untuk kelapa sawit.
Menurutnya regulated RED II yang dibuat oleh komisi Eropa pun hanya sepihak dan bertentangan dengan fakta yang ada. "Jadi memang dari situ bisa dilihat bahwa dia (Uni Eropa) memang merasa kalah bersaing. Dia merasa dan dia tidak menghasilkan kelapa sawit dan dicari saja argumentasinya," jelas Menko Darmin di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (12/4/2019).
Ia menilai ada keanehan saat minyak nabati dari kelapa sawit tiba-tiba dikategorikan berisiko tinggi (high risk) oleh Uni Eropa. Padahal, Darmin mengklaim, untuk jumlah produksi minyak nabati yang sama, sawit memerlukan luasan lahan relatif lebih sedikit dibanding tanaman-tanaman itu. Maka untuk menyampaikan keberatan Indonesia, Darmin memimpin delegasi ke Brussel, Belgia.
Sementara itu Darmin meragukan keilmiahan kajian yang mendasari kebijakan itu serta menuduh ada upaya diskriminasi terencana oleh Uni Eropa terhadap produk sawit. "Untuk apa joint mission ini, kita mau mengamankan posisi atau perkembangan dari industri kelapa sawit, dan juga perkebunan rakyat kelapa sawit," jelasnya.
Sambung Darmin menerangkan, produktivitas minyak kelapa sawit untuk setiap hektarnya 10 kali lebih besar dari minyak nabati yang dihasilkan dari soybean, sunflower, rapeseed. Bahkan, penggunaan lahan soybean dan sunflower sembilan kali lebih besar dari lahan yang digunakan untuk kelapa sawit.
Menurutnya regulated RED II yang dibuat oleh komisi Eropa pun hanya sepihak dan bertentangan dengan fakta yang ada. "Jadi memang dari situ bisa dilihat bahwa dia (Uni Eropa) memang merasa kalah bersaing. Dia merasa dan dia tidak menghasilkan kelapa sawit dan dicari saja argumentasinya," jelas Menko Darmin di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (12/4/2019).
Ia menilai ada keanehan saat minyak nabati dari kelapa sawit tiba-tiba dikategorikan berisiko tinggi (high risk) oleh Uni Eropa. Padahal, Darmin mengklaim, untuk jumlah produksi minyak nabati yang sama, sawit memerlukan luasan lahan relatif lebih sedikit dibanding tanaman-tanaman itu. Maka untuk menyampaikan keberatan Indonesia, Darmin memimpin delegasi ke Brussel, Belgia.
Sementara itu Darmin meragukan keilmiahan kajian yang mendasari kebijakan itu serta menuduh ada upaya diskriminasi terencana oleh Uni Eropa terhadap produk sawit. "Untuk apa joint mission ini, kita mau mengamankan posisi atau perkembangan dari industri kelapa sawit, dan juga perkebunan rakyat kelapa sawit," jelasnya.
(akr)