Rupiah Betah Nangkring di Atas Rp16.200, Ekonomi RI dalam Ancaman
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah pada perdagangan hari ini ditutup menguat 24 poin atau 0,15 persen ke level Rp16.270 per USD setelah sebelumnya di Rp16.294 per USD. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah sempat dibuka pada level Rp16.279 per USD.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, indeks dolar AS dipengaruhi Ketua Jerome Powell mengatakan bank sentral sekarang hanya melihat kemungkinan satu kali penurunan suku bunga tahun ini, turun dari perkiraan sebelumnya sebanyak tiga kali.
"Beberapa pembuat kebijakan bahkan menyerukan agar tidak ada penurunan suku bunga tahun ini karena tingginya inflasi," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (13/6/2024).
The Fed juga menaikkan perkiraan inflasi untuk tahun 2024. Namun komentar The Fed didahului oleh inflasi indeks harga konsumen yang menunjukkan bahwa inflasi sedikit lebih rendah dari perkiraan pada bulan Mei. Angka tersebut memukul dolar dan menurunkan imbal hasil Treasury, karena para pedagang menerima narasi disinflasi.
Namun dolar stabil setelah komentar The Fed, mengingat suku bunga yang lebih tinggi dan lebih panjang kemungkinan akan menguntungkan greenback. Skenario seperti ini juga menjadi pertanda buruk bagi mata uang yang didorong oleh risiko. Data PPI yang akan dirilis pada hari Kamis diperkirakan akan memberikan lebih banyak petunjuk mengenai inflasi.
Selain itu, Bank sentral kemungkinan akan mempertahankan suku bunga tetap stabil, namun diperkirakan akan mengurangi sebagian pembelian obligasi dalam upaya untuk memperketat kebijakan. Meskipun kondisi moneter yang lebih ketat diperkirakan akan memberikan dukungan terhadap mata uangnya.
Dari sentimen domestik, pernyataan para ekonom berbeda dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang mengungkapkan proyeksi ekonomi dunia diperkirakan masih suram hingga tahun depan. Dia pun mengingatkan akan besarnya tantangan serta berbagai risiko ekonomi global yang mungkin terjadi hingga 2025.
Setidaknya ada enam tantangan besar yang harus dihadapi dunia ke depan yakni suku bunga tinggi, restriksi perdagangan yang semakin ketat, volatilitas harga komoditas, ketegangan geopolitik, mulai menuanya populasi dunia, hingga buruknya dampak perubahan iklim.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, indeks dolar AS dipengaruhi Ketua Jerome Powell mengatakan bank sentral sekarang hanya melihat kemungkinan satu kali penurunan suku bunga tahun ini, turun dari perkiraan sebelumnya sebanyak tiga kali.
"Beberapa pembuat kebijakan bahkan menyerukan agar tidak ada penurunan suku bunga tahun ini karena tingginya inflasi," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (13/6/2024).
The Fed juga menaikkan perkiraan inflasi untuk tahun 2024. Namun komentar The Fed didahului oleh inflasi indeks harga konsumen yang menunjukkan bahwa inflasi sedikit lebih rendah dari perkiraan pada bulan Mei. Angka tersebut memukul dolar dan menurunkan imbal hasil Treasury, karena para pedagang menerima narasi disinflasi.
Namun dolar stabil setelah komentar The Fed, mengingat suku bunga yang lebih tinggi dan lebih panjang kemungkinan akan menguntungkan greenback. Skenario seperti ini juga menjadi pertanda buruk bagi mata uang yang didorong oleh risiko. Data PPI yang akan dirilis pada hari Kamis diperkirakan akan memberikan lebih banyak petunjuk mengenai inflasi.
Selain itu, Bank sentral kemungkinan akan mempertahankan suku bunga tetap stabil, namun diperkirakan akan mengurangi sebagian pembelian obligasi dalam upaya untuk memperketat kebijakan. Meskipun kondisi moneter yang lebih ketat diperkirakan akan memberikan dukungan terhadap mata uangnya.
Dari sentimen domestik, pernyataan para ekonom berbeda dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang mengungkapkan proyeksi ekonomi dunia diperkirakan masih suram hingga tahun depan. Dia pun mengingatkan akan besarnya tantangan serta berbagai risiko ekonomi global yang mungkin terjadi hingga 2025.
Setidaknya ada enam tantangan besar yang harus dihadapi dunia ke depan yakni suku bunga tinggi, restriksi perdagangan yang semakin ketat, volatilitas harga komoditas, ketegangan geopolitik, mulai menuanya populasi dunia, hingga buruknya dampak perubahan iklim.