Rupiah Tembus Rp16.420 per USD, Bos BI Ungkap Apa yang Terjadi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo buka suara terkait tren pelemahan rupiah dalam beberapa waktu terakhir. Sebagai informasi, saat artikel ini dituliskan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sudah menyentuh Rp16.454 per USD.
"(Nilai tukar) rupiah itu tentu saja adalah harga relatif, antara satu mata uang dengan mata uang lain. Yang sekarang terjadi adalah pergerakan nilai tukar itu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang fundamental dan teknikal, faktor-faktor yang jangka pendek, dan itu bergerak dari bulan ke bulan, selalu begitu," ungkap Perry dalam Konferensi Pers Pengumuman Hasil Rapat RDG BI Juni 2024 di Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Dia menyebut bahwa pada 2 bulan lalu, BI sebelumnya sudah menakar Fed Fund Rate (FFR) akan turun di akhir tahun ini, baseline-nya akan turun 25 bps (basis point). Tetapi pada saat yang sama, BI juga sudah mengukur potential risk kalau FFR tidak turun tahun ini.
"Dikala itu, yang terjadi adalah ketegangan geopolitik sehingga meningkatkan premi risiko. Jadi begini, nilai tukar rupiah, saya ulangi lagi dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental," sambung Perry.
Adapun faktor fundamental yang dimaksud adalah perbedaan inflasi dalam dan luar negeri, pertumbuhan ekonomi dalam dan luar negeri, perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri yang disebut sebagai imbal hasil, serta defisit transaksi berjalan.
"Selama ini kita meyakini, kalau melihat fundamental kita, (nilai tukar Rupiah) bisa lebih rendah dari Rp16 ribu. Inflasi kita rendah 2,8% dibandingkan Amerika Serikat (AS) yang tinggi, negara-negara lain juga tinggi," ungkap Perry.
Yang kedua, tambah Perry, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 5,1% juga relatif baik. Demikian juga current account masih surplus, dimana tahun ini defisitnya rendah 0,1-0,9% dari PDB. Imbal hasil juga menarik.
"Tapi itu kan faktor fundamental yang akan memengaruhi tren, sehingga kami masih meyakini tren nilai tukar rupiah ke depan akan menguat dengan kemungkinan juga FFR akan turun akhir tahun ini, inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi RI yang relatif baik, serta transaksi berjalan yang bagus dan imbal hasil yang menarik," jelasnya.
Perry menjelaskan, bahwa dari bulan ke bulan, faktor sentimen seperti premi risiko, ketidakpastian, itu adalah faktor-faktor yang tidak mempengaruhi tren, tetapi naik turunnya nilai tukar.
"Seperti yang sudah ditakar 2 bulan lalu, kalau saja tidak ada ketegangan geopolitik dan ketidakpastian FFR, mestinya kita tidak perlu menaikkan BI rate, bahkan di saat itu saya sudah mengatakan bahwa ada ruang untuk penurunan BI rate," ungkap Perry.
Di kala itu, Perry mengatakan bahwa pihaknya sudah bersabar karena ada ketidakpastian pasar keuangan global, sehingga tempo hari BI sempat menaikkan BI rate 25 bps dan suku bunga SRBI.
"Apa yang terjadi? Imbal hasil kita meningkat, SRBI kembali masuk, yang pada bulan Mei masuk Rp80,29 triliun SRBI, kemudian di Juni masuk sebesar Rp17,83 triliun, ini data transaksinya," pungkas Perry.
"(Nilai tukar) rupiah itu tentu saja adalah harga relatif, antara satu mata uang dengan mata uang lain. Yang sekarang terjadi adalah pergerakan nilai tukar itu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang fundamental dan teknikal, faktor-faktor yang jangka pendek, dan itu bergerak dari bulan ke bulan, selalu begitu," ungkap Perry dalam Konferensi Pers Pengumuman Hasil Rapat RDG BI Juni 2024 di Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Dia menyebut bahwa pada 2 bulan lalu, BI sebelumnya sudah menakar Fed Fund Rate (FFR) akan turun di akhir tahun ini, baseline-nya akan turun 25 bps (basis point). Tetapi pada saat yang sama, BI juga sudah mengukur potential risk kalau FFR tidak turun tahun ini.
"Dikala itu, yang terjadi adalah ketegangan geopolitik sehingga meningkatkan premi risiko. Jadi begini, nilai tukar rupiah, saya ulangi lagi dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental," sambung Perry.
Adapun faktor fundamental yang dimaksud adalah perbedaan inflasi dalam dan luar negeri, pertumbuhan ekonomi dalam dan luar negeri, perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri yang disebut sebagai imbal hasil, serta defisit transaksi berjalan.
"Selama ini kita meyakini, kalau melihat fundamental kita, (nilai tukar Rupiah) bisa lebih rendah dari Rp16 ribu. Inflasi kita rendah 2,8% dibandingkan Amerika Serikat (AS) yang tinggi, negara-negara lain juga tinggi," ungkap Perry.
Yang kedua, tambah Perry, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 5,1% juga relatif baik. Demikian juga current account masih surplus, dimana tahun ini defisitnya rendah 0,1-0,9% dari PDB. Imbal hasil juga menarik.
"Tapi itu kan faktor fundamental yang akan memengaruhi tren, sehingga kami masih meyakini tren nilai tukar rupiah ke depan akan menguat dengan kemungkinan juga FFR akan turun akhir tahun ini, inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi RI yang relatif baik, serta transaksi berjalan yang bagus dan imbal hasil yang menarik," jelasnya.
Perry menjelaskan, bahwa dari bulan ke bulan, faktor sentimen seperti premi risiko, ketidakpastian, itu adalah faktor-faktor yang tidak mempengaruhi tren, tetapi naik turunnya nilai tukar.
"Seperti yang sudah ditakar 2 bulan lalu, kalau saja tidak ada ketegangan geopolitik dan ketidakpastian FFR, mestinya kita tidak perlu menaikkan BI rate, bahkan di saat itu saya sudah mengatakan bahwa ada ruang untuk penurunan BI rate," ungkap Perry.
Di kala itu, Perry mengatakan bahwa pihaknya sudah bersabar karena ada ketidakpastian pasar keuangan global, sehingga tempo hari BI sempat menaikkan BI rate 25 bps dan suku bunga SRBI.
"Apa yang terjadi? Imbal hasil kita meningkat, SRBI kembali masuk, yang pada bulan Mei masuk Rp80,29 triliun SRBI, kemudian di Juni masuk sebesar Rp17,83 triliun, ini data transaksinya," pungkas Perry.
(akr)