Rekomendasi Kebijakan Bangun Sektor Pertanian Periode Kedua Jokowi

Senin, 20 Mei 2019 - 23:01 WIB
Rekomendasi Kebijakan Bangun Sektor Pertanian Periode Kedua Jokowi
Rekomendasi Kebijakan Bangun Sektor Pertanian Periode Kedua Jokowi
A A A
JAKARTA - Aliansi Masyarakat Indonesia Hebat (Almisbat) sebagai organisasi relawan pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut mencermati kebijakan pembangunan pertanian selama periode pertama pemerintahan. Catatan diberikan setelah menampung masukan dan saran pendapat dari perwakilan masyarakat, akademisi, lembaga penelitian, LSM, asosiasi petani dan peternak serta perwakilan asosiasi pedagang.

Dalam catatannya, Anggota Dewan Pertimbangan BPN Almisbat, Saiful Bahari mengatakan, kebijakan swasembada pangan selama lima tahun terlihat belum merata pada semua komoditi pangan pokok.

"Dari 9 bahan pangan pokok yang ditetapkan pemerintah baru beras yang relatif stabil baik dari sisi ketersediaan stok, distribusi dan harga. Sedangkan untuk komoditi pangan lainnya termasuk produk hortikultura, daging, telur masih menyimpan berbagai masalah dari mulai kelangkaan stok sampai gejolak harga di pasar," ujar Saiful dalam paparannya di Hotel Alia Cikini, Jakarta, Senin (20/5/2019).

Selain itu, kata dia, terjadi kebingungan di masyarakat dengan berbagai pernyataan pemerintah khususnya Kementerian Pertanian (Kementan) bahwa Indonesia sudah mencapai swasembada pangan dan harga bahan pangan pokok sudah stabil dengan menunjukkan data-data kemajuan pencapaian produksi, namun hampir setiap tahun gejolak harga pangan terus terjadi.

Menurutnya, masalah tersebut terus berulang dan tidak pernah dikaji mendalam akar permasalahannya agar dapat dicarikan penyelesaian yang tepat dan menyeluruh. Dia menganggap, fenomena operasi pasar baik oleh Kementan, Kemendag maupun Pemda semakin sering dilakukan dari tahun ke tahun untuk mengatasi gejolak harga bahan pangan pokok.

Seolah-olah operasi pasar sebagai cara yang efektif untuk mengatasi kebutuhan pangan yang murah atau terjangkau di masyarakat. Padahal operasi pasar adalah hanya instrumen sesaat untuk pengendalian harga pangan dan cara tersebut sebenarnya menunjukkan kegagalan dalam pengaturan tata niaga pertanian dan perdagangan bahan pokok oleh kementerian terkait.

Menurutnya, daya saing komoditi pertanian Indonesia masih sangat jauh dibandingkan negara-negara lain. Kurangnya daya saing tersebut lebih dikarenakan biaya produksi sektor pertanian Indonesia relatif masih tinggi sehingga ketika masuk ke pasar domestik dan internasional harga mahal dan kualitas kurang. Inilah yang menyebabkan mengapa neraca perdagangan Indonesia khususnya di sektor pertanian (rakyat) selalu defisit.

Selain itu, lanjut Saiful, kebijakan represif dan protektif yang selama ini dijalankan oleh Kementan di sektor pertanian rakyat bukannya menciptakan daya saing yang tinggi tetapi justru mengganggu sistem produksi, distribusi dan harga sehingga masalah gejolak harga selalu terjadi.

Kalaupun terjadi stabilisasi harga, terang dua karena dibantu melalui operasi pasar yang sesungguhnya bukan cara yang efektif dalam membangun masa depan pertanian Indonesia. Dan bahkan situasi tersebut menyuburkan praktek-praktek KKN, rente ekonomi bahkan kartel pangan.

Kata Saiful, selama 5 tahun belum terjadi sinergisitas antara kelembagaan pemerintahan terkait dengan pengembangan sektor pertanian nasional. Presiden Jokowi sebenarnya sudah memberikan tapak dasar untuk mempercepat pembangunan pertanian rakyat, salah satunya adalah memberikan akses lahan pertanian melalui program reforma agraria dan perhutanan sosial untuk para petani gurem.

"Karena salah satu persoalan utama pertanian Indonesia adalah ketiadaan lahan pertanian yang cukup. Namun, langkah tersebut kurang mendapat dukungan dari kelembagaan sektor lainnya terutama Kementan. Pembangunan pertanian seolah-olah berjalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi satu dengan lainnya," ujar dia.

Seringkali, kata dia, terjadi “kegenitan” dalam mewacanakan swasembada dan modernisasi pertanian. Selalu digembar-gemborkan baik di media maupun di publik bahwa Indonesia sudah swasembada dan bisa ekspor ribuan atau ratusan ribu ton produk pertanian ke pasar internasional, namun kenyataannya semua itu hanya pencitraan.

Padahal yang dibutuhkan masyarakat adalah kerja dan hasil kongkrit dengan ukuran keberhasilan yang jelas. Di samping itu menurutnya, tidak ada program prioritas apa yang mau dicapai selama 5 tahun oleh Kementan dalam pembangunan pertanian nasional.

Komoditi apa yang harus diprioritaskan dan digenjot untuk dijadikan produk unggulan. Anggaran yang diberikan cukup besar namun dampak yang dirasakan masih minim baik di petani maupun masyarakat luas. Untuk itu, Almisbat, lanjut Saiful merekomendasikan kebijakan pembangunan pertanian di periode kedua nanti antara lain;

Pertama, untuk program pertanian selama 5 tahun ke depan, Kementan harus mempunyai program prioritas mana-mana komoditi pertanian Indonesia yang menjadi unggulan baik di dalam negeri maupun di pasar internasional. Jangan semua mau diurus, semua mau di ekspor. Negara-negara lain saja yang pertaniannya sudah kuat hanya memprioritaskan beberapa komoditi yang dijadikan unggulan untuk menguasai pasar dunia.

"Sebagian mereka proteksi dan ekspor dan sebagian lagi mereka impor. Oleh karena itu pemerintah harus membuat kajian mendalam dari berbagai aspek mengenai komoditi pertanian unggulan sehingga bisa fokus untuk dikembangkan," ucap Saiful.

Selanjutnya yang kedua, Kementan harus terbuka dan jujur mengenai data produksi pertanian dan peternakan. Jangan membuat data-data kemajuan produksi yang kebenarannya belum teruji di lapangan dan hanya mementingkan pencitraan.

Ia mengingatkan, jangan memproduksi informasi- informasi yang dalam kenyataannya membuat bingung masyarakat. Karena kebenaran data sangat berpengaruh dengan anggaran yang harus dikeluarkan negara (APBN) dan target keberhasilan di lapangan, bukan di atas kertas.

Ketiga, Kementan ke depan harus bersinergis dengan kelembagaan pemerintah lainnya dan juga dengan komponen akademisi, peneliti independen, asosiasi-asosiasi petani, peternak, dan pedagang atau industri untuk mencari akar persoalan dan memperbaiki sistem produksi dan tata niaga pertanian agar terdapat kesesuaian antara produksi, distribusi dan harga.

Pencapaian swasembada pertanian melalui cara-cara represif dan proteksi yang berlebihan harus ditinggalkan karena cara-cara tersebut tidak dapat menciptakan daya saing pertanian Indonesia lebih baik, justru akan menjerumuskan pertanian nasional ke dalam situasi yang sulit berkembang baik di dalam negeri sendiri apalagi di pasar internasional.

Berikutnya, keempat, lima tahun ke depan adalah waktu yang singkat, dari pada membuat program-program mercusuar dan hanya mementingkan pencitraan, lebih baik Kementan ke depannya harus fokus membangun kawasan pertanian dan industri pertanian yang terintegrasi dan modern untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, industri dalam negeri dan pasar ekspor.

"Bukan seperti sekarang ini modernisasi pertanian hanya diartikan bagi-bagi alsintan dan bantuan bibit atau pupuk. Dengan demikian dibutuhkan cara berpikir yang cerdas, kreatif dan transparan dalam memajukan pertanian nasional," pungkasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8324 seconds (0.1#10.140)