Soal Kredit Macet LPEI, Pengamat: Kualitas Pengawasan Bermasalah

Jum'at, 05 Juli 2024 - 08:58 WIB
loading...
Soal Kredit Macet LPEI,...
Kredit macet yang menimpa PT Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank, dinilai oleh pengamat membuktikan kualitas pengawasan yang masih bermasalah. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Kredit macet yang menimpa PT Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia ( LPEI ) atau Indonesia Eximbank, dinilai oleh pengamat membuktikan kualitas pengawasan yang masih bermasalah. Lantaran itu perlunya diprioritaskan integrasi pengelolaan BUMN berada di satu pintu.



Terlebih paska LPEI membukukan kredit macet (non-performing loan) gross yang mencapai 43,5% atau Rp32,1 triliun dari pinjaman yang disalurkan Rp73,8 triliun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) malah mengajukan penyertaan modal negara (PMN) Rp10 triliun.

Hal itu terungkap ketika Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu meminta kucuran modal untuk membiayai penugasan khusus ekspor (PKE) kepada LPEI untuk peningkatan dari kapasitas 8 PKE dan juga penambahan 4 PKE baru.

Pengamat Ekonomi UI, Toto Pranoto menilai keberadaan BUMN yang masih berada di Kementeriaan Teknis menunjukkan hal yang anomali. "Apalagi pembentukan BUMN di bawah Kementrian Keuangan seperti PT SMI atau PT PII dibuat pada saat sudah ada lembaga Kementrian BUMN. Apa ada alasan khusus seperti itu?" ujar Toto, Selasa (2/7/2024).



"Karena sejatinya Kemenkeu adalah pemegang saham BUMN , sementara KBUMN adalah kuasa pemegang saham BUMN, yang juga berarti sebagai pihak yang diberi mandat oleh UU mewakili Kemenkeu dalam kelola BUMN,” tambahnya.

Mengaca dari kasus kredit macet di PT LPEI, Toto menganggap hal itu tak ubahnya kasus-kasus fraud lainnya yang sempat menerpa di beberapa BUMN. “Hal itu menunjukkan bahwa kualitas pengawasan masih bermasalah. Artinya dewan pengawas yang mewakili owner yaitu Kemenkeu juga dianggap kurang kompeten dalam bekerja," tambahnya.

Atas dasar itulah, Toto menekankan agar integrasi pengelolaan BUMN di bawah satu atap harus menjadi prioritas yang harus dikerjakan.

"Ada banyak manfaat. Pertama, koordinasi untuk mendapatkan sinergi yang optimal agar dijalankan dengan lebih baik. Kedua, pola pembinaan dan pengawasan BUMN bisa dalam satu SOP sehingga penilaian dan monitoring kinerja bisa lebih terkelola dengan baik," jelasnya.

Kembal ke kasus LPEI, menurut Riyani Tirtoso, Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI, memburuknya kualitas kredit di lembaga yang dipimpinnya terjadi sebelum 2018. "Penyebabnya sebagian besar pemberian kredit merupakan over financing," kata Riyani di Komisi XI DPR RI, Senin (1/7/2024) kemarin.

Menurut dia, selain pemberian kredit yang menyalahi kemampuan debitur, LPEI juga tidak memiliki infrastruktur maupun sistem yang memberi peringatan dini akan kualitas kredit debitur. Termasuk tidak adanya unit yang khusus menangani kredit macet.

Dia menjelaskan, atas kondisi ini kualitas kredit Indonesia Eximbank mengalami pemburukan. Rinciannya pada 2018 kredit yang diberikan mencapai Rp108,9 triliun, namun kredit macet alias NPL sebesar Rp14,9 triliun. Selanjutnya, pada 2019 meningkat menjadi NPL Rp22,9 triliun, sedangkan kredit yang diberikan Rp97,8 triliun.

Pada 2020, kondisinya makin sulit dengan kredit Rp90,4 triliun dan NPL Rp23,6 triliun. Periode 2021, nilai kredit tersisa Rp84 triliun serta NPL Rp17,7 triliun. Sedangkan pada 2022, kredit yang diberikan Rp83,4 triliun dan NPL mencapai Rp22,3 triliun. Puncaknya pada 2023, NPL Gross mencapai 43,5% dengan rincian kredit yang diberikan Rp73,8 triliun dengan NPL Rp32,1 triliun.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1798 seconds (0.1#10.140)