Semakin Terfragmentasi, WTO: Perdagangan Global dalam Bahaya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perdagangan global sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala.
"Kita melihat meningkatnya proteksionisme, beberapa pelemahan aturan WTO, dan beberapa di antaranya mengarah pada fragmentasi," ungkapnya seperti dilansir BBC, Selasa (9/7/2024). "Perdagangan global benar-benar bagian dari urat nadi untuk membuat negara-negara tangguh - dan juga untuk mendukung pertumbuhan, jadi kami khawatir tentang hal itu."
Dalam beberapa minggu dan bulan terakhir, fragmentasi perdagangan global semakin mengemuka dengan tindakan Uni Eropa (UE) yang mengenakan tarif sementara hingga 37,4% pada impor kendaraan listrik (EV) China. Sebelumnya, pada bulan Mei lalu Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif 100% pada kendaraan listrik China.
Baik Brussels maupun Washington menuduh pemerintah China secara tidak adil menyubsidi sektor kendaraan listriknya, mengizinkan produsen mengekspor mobil dengan harga yang sangat rendah, dan mengancam lapangan pekerjaan di Barat.Terkait tarif impor pada kendaraan listrik China, Komisioner perdagangan UE Valdis Dombrovskis mengatakan kepada BBC bahwa Eropa tidak ingin menutup pasarnya. "Kami menyambut impor, kami menyambut persaingan, tetapi persaingan ini harus adil," kilahnya.
Presiden AS Joe Biden juga telah menaikkan pajak impor pada sejumlah produk China lainnya yang menurutnya akan membentuk industri masa depan. Ini termasuk baterai kendaraan listrik dan mineral yang dikandungnya, sel yang dibutuhkan untuk membuat panel surya, dan chip komputer. Sementara itu, AS telah menggelontorkan miliaran dolar uang pemerintah untuk teknologi hijau, melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada impor China.
Tahun lalu, WTO mencatat volume perdagangan global turun untuk ketiga kalinya dalam 30 tahun. Penurunan 1,2% itu dikaitkan dengan inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi. WTO memperkirakan perdagangan global mulai mengalami pemulihan tahun ini. Namun, perkembangan belakangan ini dinilai tidak sesuai dengan harapan WTO.
"Apa yang telah kita lihat dalam beberapa tahun terakhir, menurut saya, khususnya dalam hal hubungan perdagangan global, sama sekali tidak seperti yang telah kita lihat sejak berakhirnya Perang Dingin," kata Wakil Direktur Pelaksana Pertama Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath dalam pidatonya baru-baru ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata dia, dunia mengalami banyak guncangan, termasuk pandemi, dan diikuti invasi Rusia ke Ukraina. "Setelah peristiwa ini, semakin banyak negara di seluruh dunia yang berpatokan pada keamanan ekonomi dan masalah keamanan nasional dalam menentukan dengan siapa mereka berdagang dan kepada siapa mereka berinvestasi," katanya. Hal itu menurutnya memengaruhi negara-negara lainnya yang terpaksa harus memilih antara memperkuat hubungan ekonomi dengan kekuatan Barat atau poros China-Rusia.
Hal serupa dikhawatirkan pula oleh Okonjo-Iweala dari WTO. "Kami juga khawatir tentang munculnya fragmentasi yang kami lihat dalam data perdagangan. Kami melihat bahwa perdagangan antara blok-blok yang memiliki pemikiran yang sama tumbuh lebih cepat daripada perdagangan lintas blok tersebut," ujarnya.
Dia memperingatkan bahwa harga yang harus dibayar akan sangat mahal jika dunia terus menempuh jalan ini. Penelitian WTO memperkirakan harga tersebut adalah sebesar 5% dari nilai ekonomi global. Sementara IMF memperkirakan bahwa kerugian dari hal ini bisa mendekati 7% dari nilai ekonomi dunia atau sekira USD7,4 triliun, dari hilangnya produksi dalam jangka panjang.
Kekhawatiran terhadap dampak kecenderungan proteksionisme pada perdagangan global tersebut memang beralasan. Dalam kasus pengenaan tarif impor pada kendaraan listrik China oleh UE misalnya, kendati kedua belah pihak bersiap mengadakan perundingan kembali, pemerintah China dilaporkan telah mengambil ancang-ancang untuk tindakan pembalasan. China disebut-sebut tengah mempertimbangkan untuk menerapkan tarif serupa terhadap produk daging babi, cognac, dan mobil mewah dari Eropa.
"Kita melihat meningkatnya proteksionisme, beberapa pelemahan aturan WTO, dan beberapa di antaranya mengarah pada fragmentasi," ungkapnya seperti dilansir BBC, Selasa (9/7/2024). "Perdagangan global benar-benar bagian dari urat nadi untuk membuat negara-negara tangguh - dan juga untuk mendukung pertumbuhan, jadi kami khawatir tentang hal itu."
Dalam beberapa minggu dan bulan terakhir, fragmentasi perdagangan global semakin mengemuka dengan tindakan Uni Eropa (UE) yang mengenakan tarif sementara hingga 37,4% pada impor kendaraan listrik (EV) China. Sebelumnya, pada bulan Mei lalu Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif 100% pada kendaraan listrik China.
Baik Brussels maupun Washington menuduh pemerintah China secara tidak adil menyubsidi sektor kendaraan listriknya, mengizinkan produsen mengekspor mobil dengan harga yang sangat rendah, dan mengancam lapangan pekerjaan di Barat.Terkait tarif impor pada kendaraan listrik China, Komisioner perdagangan UE Valdis Dombrovskis mengatakan kepada BBC bahwa Eropa tidak ingin menutup pasarnya. "Kami menyambut impor, kami menyambut persaingan, tetapi persaingan ini harus adil," kilahnya.
Presiden AS Joe Biden juga telah menaikkan pajak impor pada sejumlah produk China lainnya yang menurutnya akan membentuk industri masa depan. Ini termasuk baterai kendaraan listrik dan mineral yang dikandungnya, sel yang dibutuhkan untuk membuat panel surya, dan chip komputer. Sementara itu, AS telah menggelontorkan miliaran dolar uang pemerintah untuk teknologi hijau, melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada impor China.
Tahun lalu, WTO mencatat volume perdagangan global turun untuk ketiga kalinya dalam 30 tahun. Penurunan 1,2% itu dikaitkan dengan inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi. WTO memperkirakan perdagangan global mulai mengalami pemulihan tahun ini. Namun, perkembangan belakangan ini dinilai tidak sesuai dengan harapan WTO.
"Apa yang telah kita lihat dalam beberapa tahun terakhir, menurut saya, khususnya dalam hal hubungan perdagangan global, sama sekali tidak seperti yang telah kita lihat sejak berakhirnya Perang Dingin," kata Wakil Direktur Pelaksana Pertama Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath dalam pidatonya baru-baru ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata dia, dunia mengalami banyak guncangan, termasuk pandemi, dan diikuti invasi Rusia ke Ukraina. "Setelah peristiwa ini, semakin banyak negara di seluruh dunia yang berpatokan pada keamanan ekonomi dan masalah keamanan nasional dalam menentukan dengan siapa mereka berdagang dan kepada siapa mereka berinvestasi," katanya. Hal itu menurutnya memengaruhi negara-negara lainnya yang terpaksa harus memilih antara memperkuat hubungan ekonomi dengan kekuatan Barat atau poros China-Rusia.
Hal serupa dikhawatirkan pula oleh Okonjo-Iweala dari WTO. "Kami juga khawatir tentang munculnya fragmentasi yang kami lihat dalam data perdagangan. Kami melihat bahwa perdagangan antara blok-blok yang memiliki pemikiran yang sama tumbuh lebih cepat daripada perdagangan lintas blok tersebut," ujarnya.
Dia memperingatkan bahwa harga yang harus dibayar akan sangat mahal jika dunia terus menempuh jalan ini. Penelitian WTO memperkirakan harga tersebut adalah sebesar 5% dari nilai ekonomi global. Sementara IMF memperkirakan bahwa kerugian dari hal ini bisa mendekati 7% dari nilai ekonomi dunia atau sekira USD7,4 triliun, dari hilangnya produksi dalam jangka panjang.
Kekhawatiran terhadap dampak kecenderungan proteksionisme pada perdagangan global tersebut memang beralasan. Dalam kasus pengenaan tarif impor pada kendaraan listrik China oleh UE misalnya, kendati kedua belah pihak bersiap mengadakan perundingan kembali, pemerintah China dilaporkan telah mengambil ancang-ancang untuk tindakan pembalasan. China disebut-sebut tengah mempertimbangkan untuk menerapkan tarif serupa terhadap produk daging babi, cognac, dan mobil mewah dari Eropa.
(fjo)