Menilik Urgensi Reformasi Subsidi BBM, Jangan Lupakan 2 Hal Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pembatasan subsidi BBM (bahan bakar minyak)yang baru diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan perlu dilihat dari perspektif yang lebih luas untuk mengukur dampaknya secara menyeluruh bagi masyarakat. Hal ini menjadi kesimpulan acara diskusi “Ruang Tengah” yang dilaksanakan oleh Think Policy, pada 9-10 Juli 2024.
Salah satu pembicara yang hadir dalam acara yang bertujuan mendiskusikan potensi dampak pembatasan BBM yakni Mantan Menteri Perdagangan Indonesia dan Braintrust Think Policy, Mari Elka Pangestu menyampaikan, bahwa reformasi subsidi BBM tidak berdiri sendiri dan harus dipahami dalam konteks yang lebih luas.
“Isu ini bukan hanya tentang kesehatan dan polusi, tetapi juga ekonomi. Polusi yang menurunkan hasil kesehatan akan berdampak pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Untuk memiliki subsidi yang produktif, ada dua hal yang perlu diperhatikan, termasuk penargetan yang tepat dan cara penyampaian subsidi. Perlu dicermati siapa yang harus dikompensasi dan bagaimana subsidi disampaikan perlu dibahas secara mendalam, termasuk timeline menuju zero subsidy yang harus dilakukan secara bertahap," ungkapnya.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Rachmat Kaimuddin menyampaikan latar belakang di balik rencana kebijakan pembatasan BBM dalam kata sambutannya
"Filosofi subsidi seharusnya menambah daya beli bagi yang rentan, namun ada pola di mana subsidi lebih besar dinikmati oleh mereka yang memiliki daya ekonomi tinggi. Salah satunya adalah subsidi BBM di mana pengguna kendaraan roda empat menikmati jauh lebih besar daripada pengguna roda dua per kendaraan," ungkap Rachmat Kaimuddin.
"Kita harus melihat bagaimana subsidi BBM bisa direformasi tanpa mengganggu ekonomi dan daya beli masyarakat. Caranya adalah dengan realokasi subsidi BBM yang lebih tepat sasaran dan lebih adil. Jika dilakukan, dapat terbuka ruang fiskal yang dapat dialokasikan untuk memperbaiki kualitas udara, mendorong transportasi umum, dan kepentingan umum lainnya. Tentu ini bukan sesuatu yang mudah dan harus kita kerjakan dengan bijak tapi juga segera," bebernya.
Sorotan utama dalam diskusi ini mencakup
Krisis Kesehatan Publik: Kandungan sulfur dari subsidi BBM kualitas rendah berdampak negatif terhadap polusi udara, terutama untuk diesel dan bensin RON 90 (pertalite). Pemerintah perlu mempertimbangkan transisi ke BBM kualitas tinggi yang memenuhi standar EURO-4.
Mistargeting Subsidi ‘Terbuka’ BBM: Subsidi BBM (diesel dan pertalite) lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah atas. Penghematan fiskal dari pengurangan subsidi ini seharusnya dialokasikan untuk program-program yang mendukung masyarakat kelas menengah bawah, rentan, dan miskin.
Implementasi Bertahap: Pembatasan subsidi BBM perlu dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan timeline implementasi, prioritisasi sektor, dan target kelompok masyarakat.
Sistem Evaluasi dan Monitor: Dibutuhkan sistem evaluasi dan monitor yang mendorong akuntabilitas dan transparansi, untuk menghindari salah sasaran di mana masyarakat kelas menengah ke atas lebih menikmati subsidi dibanding masyarakat miskin.
Diskusi pun menghasilkan beberapa rekomendasi relokasi dana subsidi BBM, yaitu Program Bantuan Langsung: Sejak hari pertama implementasi, harus sudah ada program bantuan langsung untuk memastikan dampak terhadap kelompok paling rentan dan miskin, termasuk dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).
Transisi Energi, yakni Relokasi dana bisa diarahkan ke transportasi umum dan/atau integrasi sistem transportasi. Sektor Produktif dengan Efek ‘Multiplier’ Pertumbuhan Ekonomi: Selain BLT, realokasi subsidi bisa diarahkan ke sektor produktif termasuk namun tidak terbatas pada manufaktur, pertanian, perikanan, dan sebagainya.
Program Pendidikan dan Kesehatan: Kelas menengah yang sebelumnya paling banyak mengkonsumsi subsidi BBM dapat menikmati kompensasi yang lebih membawa ‘eksternalitas positif’ seperti program pendidikan atau kesehatan.
CEO Think Policy, Andhyta Firselly Utami menjelaskan, secara teknokratis, kebijakan ini memiliki dasar ekonomi dan lingkungan yang masuk akal. Namun, harus secara cermat mempelajari tantangan, kesempatan, dan dampak implementasinya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan rakyat.
"Oleh karena itu, kami mengadakan Ruang Tengah untuk menyediakan ruang aman bagi para teknokrat di lintas sektor untuk berbagi pandangan ahli mereka. Dengan masukan dari berbagai pihak, kami berharap dapat memastikan bahwa kebijakan ini akan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan lingkungan," ucap Andhyta Firselly.
Salah satu pembicara yang hadir dalam acara yang bertujuan mendiskusikan potensi dampak pembatasan BBM yakni Mantan Menteri Perdagangan Indonesia dan Braintrust Think Policy, Mari Elka Pangestu menyampaikan, bahwa reformasi subsidi BBM tidak berdiri sendiri dan harus dipahami dalam konteks yang lebih luas.
“Isu ini bukan hanya tentang kesehatan dan polusi, tetapi juga ekonomi. Polusi yang menurunkan hasil kesehatan akan berdampak pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Untuk memiliki subsidi yang produktif, ada dua hal yang perlu diperhatikan, termasuk penargetan yang tepat dan cara penyampaian subsidi. Perlu dicermati siapa yang harus dikompensasi dan bagaimana subsidi disampaikan perlu dibahas secara mendalam, termasuk timeline menuju zero subsidy yang harus dilakukan secara bertahap," ungkapnya.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Rachmat Kaimuddin menyampaikan latar belakang di balik rencana kebijakan pembatasan BBM dalam kata sambutannya
"Filosofi subsidi seharusnya menambah daya beli bagi yang rentan, namun ada pola di mana subsidi lebih besar dinikmati oleh mereka yang memiliki daya ekonomi tinggi. Salah satunya adalah subsidi BBM di mana pengguna kendaraan roda empat menikmati jauh lebih besar daripada pengguna roda dua per kendaraan," ungkap Rachmat Kaimuddin.
"Kita harus melihat bagaimana subsidi BBM bisa direformasi tanpa mengganggu ekonomi dan daya beli masyarakat. Caranya adalah dengan realokasi subsidi BBM yang lebih tepat sasaran dan lebih adil. Jika dilakukan, dapat terbuka ruang fiskal yang dapat dialokasikan untuk memperbaiki kualitas udara, mendorong transportasi umum, dan kepentingan umum lainnya. Tentu ini bukan sesuatu yang mudah dan harus kita kerjakan dengan bijak tapi juga segera," bebernya.
Sorotan utama dalam diskusi ini mencakup
Krisis Kesehatan Publik: Kandungan sulfur dari subsidi BBM kualitas rendah berdampak negatif terhadap polusi udara, terutama untuk diesel dan bensin RON 90 (pertalite). Pemerintah perlu mempertimbangkan transisi ke BBM kualitas tinggi yang memenuhi standar EURO-4.
Mistargeting Subsidi ‘Terbuka’ BBM: Subsidi BBM (diesel dan pertalite) lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah atas. Penghematan fiskal dari pengurangan subsidi ini seharusnya dialokasikan untuk program-program yang mendukung masyarakat kelas menengah bawah, rentan, dan miskin.
Implementasi Bertahap: Pembatasan subsidi BBM perlu dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan timeline implementasi, prioritisasi sektor, dan target kelompok masyarakat.
Sistem Evaluasi dan Monitor: Dibutuhkan sistem evaluasi dan monitor yang mendorong akuntabilitas dan transparansi, untuk menghindari salah sasaran di mana masyarakat kelas menengah ke atas lebih menikmati subsidi dibanding masyarakat miskin.
Diskusi pun menghasilkan beberapa rekomendasi relokasi dana subsidi BBM, yaitu Program Bantuan Langsung: Sejak hari pertama implementasi, harus sudah ada program bantuan langsung untuk memastikan dampak terhadap kelompok paling rentan dan miskin, termasuk dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).
Transisi Energi, yakni Relokasi dana bisa diarahkan ke transportasi umum dan/atau integrasi sistem transportasi. Sektor Produktif dengan Efek ‘Multiplier’ Pertumbuhan Ekonomi: Selain BLT, realokasi subsidi bisa diarahkan ke sektor produktif termasuk namun tidak terbatas pada manufaktur, pertanian, perikanan, dan sebagainya.
Program Pendidikan dan Kesehatan: Kelas menengah yang sebelumnya paling banyak mengkonsumsi subsidi BBM dapat menikmati kompensasi yang lebih membawa ‘eksternalitas positif’ seperti program pendidikan atau kesehatan.
CEO Think Policy, Andhyta Firselly Utami menjelaskan, secara teknokratis, kebijakan ini memiliki dasar ekonomi dan lingkungan yang masuk akal. Namun, harus secara cermat mempelajari tantangan, kesempatan, dan dampak implementasinya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan rakyat.
"Oleh karena itu, kami mengadakan Ruang Tengah untuk menyediakan ruang aman bagi para teknokrat di lintas sektor untuk berbagi pandangan ahli mereka. Dengan masukan dari berbagai pihak, kami berharap dapat memastikan bahwa kebijakan ini akan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan lingkungan," ucap Andhyta Firselly.
(akr)