Lemah Tata Kelola, LPS Tutup 6 Bank Bermasalah

Minggu, 28 Juli 2019 - 22:13 WIB
Lemah Tata Kelola, LPS Tutup 6 Bank Bermasalah
Lemah Tata Kelola, LPS Tutup 6 Bank Bermasalah
A A A
KUNINGAN - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan telah melikuidasi enam bank bermasalah sejak awal tahun ini. Masalah tata kelola atau Good Corporate Governance (GCG) yang tidak dilakukan pihak manajemen masih jadi sebab utama dibandingkan risiko lainnya.

Di bulan Januari, BPRS Jabal Tsur di Pasuruan dan BPRS Safir di Bengkulu. Lalu bulan Februari terdapat BPR Panca Dana di Batu Malang. Kemudian, BPRS Muamalat Youtefa di Papua pada bulan Mei. Berikutnya BPR Legian di Denpasar pada Juni, lalu yang terakhir adalah BPR Efita Dana Sejahtera di Depok pada bulan Juli.

Direktur Group Penanganan Premi Penjaminan LPS, Samsu Adi Nugroho, mengatakan bank yang ditutup tersebut karena tidak bisa diselamatkan dari kebangkrutan. Namun secara persentase masih kecil dari total bank peserta sebanyak 1.856 bank yang terdiri dari 113 bank umum/syariah dan 1.743 BPR hingga akhir Juni 2019.

Berdasarkan jumlah aset bank yang ditutup tidak besar dan sistemik. Dengan demikian, penutupan enam bank tersebut tidak mengganggu stabilitas keuangan.

"Asetnya hanya Rp1 miliar hingga Rp10 miliar. LPS telah memiliki pengalaman khususnya terhadap bank gagal. BPR terbesar sempat ditangani selama ini adalah BPR Tri Panca Lampung dengan total aset Rp600 miliar. Lalu di Bengkulu Rp100 miliar dan di Bandung Rp200 miliar. Sehingga ini tidak berpengaruh ke sistem keuangan," ucap Samsu dalam media gathering di Kuningan, Jawa Barat, Minggu (28/7/2019).

Dia mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan dana mencapai Rp1,4 triliun untuk melikuidasi 97 bank sejak 2005 hingga Juli 2019. Bank yang dilikuidasi tersebut terdiri dari satu bank umum dan 96 BPR. Mayoritas bank yang ditutup 34 bank di Jawa Barat dan 16 bank di Sumatra Barat.

"Kami segera lakukan pembayaran klaim penjaminan simpanan dan proses likuidasi setelah izinnya dicabut. Pihaknya juga melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan dan informasi lainnya untuk menetapkan simpanan yang layak dibayar dan tidak layak dibayar. Kami bayar hanya yang sejumlah Rp2 miliar. Kalau lebih tidak dijamin," ujarnya.

Kepala Kantor Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS, Suwandi, mengatakan fraud atau penipuan menjadi penyebab utama bank di Indonesia ditutup. Faktor fraud lebih banyak dibandingkan karena kalah bersaing dan ditinggal para nasabahnya seperti yang terjadi di luar negeri.

Tindakan fraud tersebut dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari nasabah hingga direksi bank tersebut. "Laporan keuangan jadi tidak dapat dipercaya. Misalnya kredit sebenarnya macet tapi ditulis lancar. Setelah diselidiki langsung rasio kecukupan modalnya anjlok," ujar Suwandi.

Lebih lanjut dia mengatakan kecurangan umumnya terjadi pada penyusunan laporan keuangan. Secara struktur keuangan, bank yang sebenarnya sakit tersebut terlihat baik-baik saja, bahkan ada yang membukukan kenaikan pertumbuhan.

"Kalau kita lihat struktur keuangannya, ada yang datar atau bahkan naik. Karena pelaku tidak akan beraksi karena melihat kondisi keuangan tapi karena ada kesempatan atau tata kelola yang lemah sehingga rentan," tambahnya.

Kedepan, LPS juga akan menyelesaikan infrastruktur agar bank bisa melaporkan data secara integrasi kepada LPS, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Rencananya, integrasi laporan secara online ini rampung pada tahun depan.

Dengan adanya platform terintegrasi, bank tidak perlu lagi membuat laporan data perusahaan satu per satu ke tiga institusi keuangan. Cukup dengan satu laporan, BI, OJK, dan LPS sudah bisa mengakses secara bersamaan.

Dengan adanya integrasi ini, pekerjaan perbankan dalam mengirim data secara reguler juga akan lebih efisien. Integrasi tersebut juga membuat laporan data yang masuk jadi lebih kredibel.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.8292 seconds (0.1#10.140)