Penerimaan Negara Dipatok Rp2,997 Triliun di 2025, Ekonom: Sulit Dicapai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai target penerimaan negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 sebesar Rp2,997 triliun sulit dicapai, bila pertumbuhan ekonomi nasional tumbuh stagnan di bawah atau sekitar 5 persen.
Guru Besar dan Ekonom Senior Indef, Didik J Rachbini mengatakan, instrumen makro ekonomi di dalam negeri tengah mengalami penurunan. Dua diantaranya, daya beli masyarakat dan kelas menengah yang kian mengecil. Kedua aspek ini dikhawatirkan berlanjut di tahun depan, sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi RI.
“Kondisi sekarang cukup berat dimana daya beli masyarakat turun. Kelas menengah juga berat kondisinya dan bahkan turun kelas,” ujar Didik, Minggu (18/8/2024).
Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi didorong di level 6-6,5 persen, maka sasaran penerimaan pajak tersebut bisa dicapai.
Sesuai tren perkembangan penerimaan negara RAPBN tahun sebelumnya, yakni Rp2,802 triliun dan juga target penerimaan pada 2024 sebesar Rp2,309 triliun, Didik menyebut target penerimaan negara tahun depan masuk akal, lantaran tidak naik pesat.
“Pemerintah sendiri pada saat ini masih pesimis bahwa target penerimaan pajak pada anggaran berjalan tahun 2024 akan bisa dicapai. Apalagi pada tahun 2025 dimana tantangannya jauh lebih besar lagi,” paparnya
Dia mencatat, faktor pertumbuhan ekonomi seperti iklim investasi serta kegiatan perdagangan terutama ekspor akan menentukan target penerimaan pajak bisa dicapai atau tidak.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sekarang bisa dicapai, jika ada kebijakan makro struktural, dimana investasi dan ekspor bisa didorong menjadi lokomotifnya.
“Sekarang Indonesia dalam hal kebijakan seperti ini kalah dengan negara tetangga Vietnam dan Filipina,” tutur dia.
Adapun, defisit anggaran RAPBN 2025 direncanakan Rp616,2 triliun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, defisit ini sangat besar dan mau tidak mau harus ditambal dengan utang.
Bahkan, Didik mencatat selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kebijakan utang memang ugal-ugalan, sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo Subianto.
“Dengan janji politik yang banyak sekali, maka sulit bagi pemerintahan yang akan datang bisa mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada. Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus,” jelasnya.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap bahwa pendapatan negara dirancang untuk bisa mencapai Rp2.996,9 triliun pada tahun 2025. Hal ini disampaikan dalam acara Penyampaian RUU APBN 2025 yang digelar di Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Jokowi merinci, pendapatan negara tersebut akan terdiri dari penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Rancangan pendapatan negara ini disebutnya akan tetap menjaga iklim investasi dan kelestarian lingkungan serta keterjangkauan layanan publik.
"Pendapatan negara pada tahun 2025 dirancang sebesar Rp2.996,9 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun," ungkapnya
Guru Besar dan Ekonom Senior Indef, Didik J Rachbini mengatakan, instrumen makro ekonomi di dalam negeri tengah mengalami penurunan. Dua diantaranya, daya beli masyarakat dan kelas menengah yang kian mengecil. Kedua aspek ini dikhawatirkan berlanjut di tahun depan, sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi RI.
“Kondisi sekarang cukup berat dimana daya beli masyarakat turun. Kelas menengah juga berat kondisinya dan bahkan turun kelas,” ujar Didik, Minggu (18/8/2024).
Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi didorong di level 6-6,5 persen, maka sasaran penerimaan pajak tersebut bisa dicapai.
Sesuai tren perkembangan penerimaan negara RAPBN tahun sebelumnya, yakni Rp2,802 triliun dan juga target penerimaan pada 2024 sebesar Rp2,309 triliun, Didik menyebut target penerimaan negara tahun depan masuk akal, lantaran tidak naik pesat.
“Pemerintah sendiri pada saat ini masih pesimis bahwa target penerimaan pajak pada anggaran berjalan tahun 2024 akan bisa dicapai. Apalagi pada tahun 2025 dimana tantangannya jauh lebih besar lagi,” paparnya
Dia mencatat, faktor pertumbuhan ekonomi seperti iklim investasi serta kegiatan perdagangan terutama ekspor akan menentukan target penerimaan pajak bisa dicapai atau tidak.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sekarang bisa dicapai, jika ada kebijakan makro struktural, dimana investasi dan ekspor bisa didorong menjadi lokomotifnya.
“Sekarang Indonesia dalam hal kebijakan seperti ini kalah dengan negara tetangga Vietnam dan Filipina,” tutur dia.
Adapun, defisit anggaran RAPBN 2025 direncanakan Rp616,2 triliun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, defisit ini sangat besar dan mau tidak mau harus ditambal dengan utang.
Bahkan, Didik mencatat selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kebijakan utang memang ugal-ugalan, sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo Subianto.
“Dengan janji politik yang banyak sekali, maka sulit bagi pemerintahan yang akan datang bisa mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada. Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus,” jelasnya.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap bahwa pendapatan negara dirancang untuk bisa mencapai Rp2.996,9 triliun pada tahun 2025. Hal ini disampaikan dalam acara Penyampaian RUU APBN 2025 yang digelar di Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Jokowi merinci, pendapatan negara tersebut akan terdiri dari penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Rancangan pendapatan negara ini disebutnya akan tetap menjaga iklim investasi dan kelestarian lingkungan serta keterjangkauan layanan publik.
"Pendapatan negara pada tahun 2025 dirancang sebesar Rp2.996,9 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun," ungkapnya
(fch)