Impor Ilegal Marak, Pajak Impor E-Commerce Akan Ditata Ulang

Senin, 16 September 2019 - 06:34 WIB
Impor Ilegal Marak, Pajak Impor E-Commerce Akan Ditata Ulang
Impor Ilegal Marak, Pajak Impor E-Commerce Akan Ditata Ulang
A A A
JAKARTA - Pemerintah segera menerapkan skema baru pembayaran bea masuk dan pajak impor pengiriman barang perdagangan online (e-commerce). Kebijakan tersebut diambil untuk membendung maraknya praktik ilegal dengan motif mendapat pembebasan bea masuk di tengah booming e-commerce saat ini.

Sistem baru ini sedang disiapkan oleh jajaran Direktorat Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan. Saat kebijakan baru berlaku, bea masuk barang impor e-commerce otomatis masuk dalam komponen harga yang tertera. Saat ini, pungutan bea masuk barang impor e-commerce masih dilakukan di bandara atau pelabuhan melalui petugas Bea dan Cukai.

Sistem administrasi yang konvensional sering disiasati oleh pihak pengimpor agar terhindar dari pajak. Modusnya antara lain splitting, under-valuation, under-declaration dan misdeclaration. Diketahui, splitting adalah memisah-pisahkan barang dalam beberapa paket untuk membuat nilai bea masuk barang tersebut berkurang sehingga bebas dari pungutan pajak impor (pemecahan nilai).

Nilai pembebasan (de minimis value) bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) atas barang kiriman yang berlaku saat ini di Indonesia adalah USD75. Kebijakan terbaru anti-splitting ini, kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi, akan berlaku terhadap seluruh produk impor yang dipesan melalui e-commerce. Dia tidak menyebutkan waktu dimulainya kebijakan ini.

Yang jelas, selain untuk menekan praktik penghindaran pajak, skema baru ini juga membuat proses administrasi bea masuk menjadi lebih sederhana dan transparan. "Ini bukan pajak atau pungutan baru, hanya shifting. Kami mengubah administrasinya dari konvensional ke modern untuk mencegah splitting dan undervaluation. Sebelumnyadipungut oleh petugas Bea dan Cukai, nanti langsung masuk dalam komponen yang tertera dalam harga transaksi," jelas Budi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (14/9).

Dia mencontohkan seorang konsumen membeli sebuah barang dari luar negeri melalui sebuah situs atau aplikasi e-commerce. Dalam transaksi yang tertera, akan ada tambahan bea masuk impor sebesar 10% dari harga barang tersebut. Pada struk tagihan digital, akan disebutkan bahwa tambahan 10% tadi adalah pungutan bea masuk dan pajak-pajak impor.

Dengan begitu, ketika melalui bandara atau pelabuhan dalam proses pengiriman, barang tersebut tak akan lagi dikenakan pungutan. "Lebih simpel, lebih mudah, lebih cepat bagi semua pihak. Lebih terbuka juga," terang Budi. Berdasarkan data importasi kiriman per Agustus 2019, terdapat 14.397 dokumen consignment notes (CN) yang ditemukan sebagai split shipment dan terjaring dalam sistem anti-spliting.

Sementara itu, Kepala Subdit Impor Direktorat Teknis Kepabeanan DJBC Djanurindro Wibowo mengungkapkan, perkembangan e-commerce lintas negara (cross border) semakin membutuhkan sinergi kebijakan lintas lembaga. Salah satunya adalah peran DJBC dalam menekan praktik splitting untuk mengakali batas pembebasan bea masuk dan pajak impor (de minimis value) USD75. Teknologi pengenalan wajah, artificial intelligence (AI) ataupun big data dibutuhkan untuk menekan praktik kecurangan.

Djanurindro mengatakan pihaknya telah mengaplikasikan smart system didukung AI untuk mendeteksi transaksi berulang. Hasilnya setelah lebih dari setahun diaplikasikan, pihaknya berhasil meningkatkan pendapatan bea masuk Rp3,09 miliar hingga Agustus 2019.

Nilai tersebut didapatkan dari 14.397 dokumen yang terbukti melakukan splitting dan undervalue. "Sebelumnya dalam sehari sekali impor untuk kebutuhan pribadi bisa 400 kali dipecah-pecah. Mereka ingin coba hindari pajak. Dengan teknologi AI tentu akan terdeteksi dan praktik dengan pola sama terus berkurang," ujarnya.

Dia menekankan, kebijakan anti-splitting adalah untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat. Pemerintah, lanjut Djanurindro, sudah menyiapkan roadmap untuk mendorong keseimbangan e-commerce antara impor dan ekspor. Dalam roadmap tersebut terkandung skema postal, kerja sama dengan marketplace serta pusat logistik berikat e-commerce.

"Isu e-commerce kini jadi perhatian di seluruh dunia. Termasuk di dalamnya soal keamanan seperti penyelundupan narkoba dengan e-commerce. Belum ada satu negara yang mengklaim sistemnya telah paten untuk e-commerce karena begitu dinamis," paparnya. Program Manager World Customs Organization (WCO) Tong Hua mengingatkan, dalam praktik internasional semua pelaku e-commerce lintas negara harus terdaftar pada badan bea cukai dan pajak.

Menurut dia, bisnis e-commerce lintas negara sangat kompetitif karena berdampak pada biaya yang membuat harga mahal. "Karena itu pelaku lokal akan lebih diuntungkan sehingga banyak perusahaan e-commerce harus berinvestasi di negara lain daripada menjual secara langsung," ujar Tong.

Dia juga mengatakan, e-commerce membutuhkan teknologi modern untuk mencegah penyelundupan barang dan narkoba. Dia memberi ilustrasi, biasanya sangat mudah melakukan penyeluncupan ponsel antara Hong Kong dan China. Namun sekarang ada teknologi sistem pengenalan wajah sehingga pelaku akan dicurigai karena sangat sering lewat perbatasan.

"Sistem akan menandainya lalu akan diperiksa barangnya. Ini kan manfaat penggunaan teknologi terkini," paparnya. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nika Pranata mengatakan, e-commerce lintas negara membutuhkan aturan main yang tegas. "Regulasi adalah yang terpenting karena banyak model bisnis baru. Sehingga regulator harus lebih kerja keras mengejar tren bisnis itu," ujar Nika.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9107 seconds (0.1#10.140)