Soal PP Kesehatan, Pemerintah Seharusnya Mengayomi Petani Tembakau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) mencurigai lembaga donor asing bersama kelompok anti tembakau mengintervensi pemerintah dalam men-drive Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketua umum DPN APTI, Agus Parmuji mengatakan, secara umum PP 28/2024 khususnya Pasal 429-463, ruang lingkupnya tak jauh berbeda dengan isi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Menurut Agus, di dalam PP 28/2024 tidak ada sama sekali pengaturan kesehatan, yang ada pengaturan industri. Pada titik ini, kata Agus Parmuji, Menteri Kesehatan (Menkes) nyata-nyata mengabaikan mandat Konstitusi, serta mandat UU 17/2023 tentang Kesehatan.
Dia menambahkan, PP 28/2024 isinya sangat restriktif sehingga menjadi ancaman atas kedaulatan negara, juga ancaman terhadap tenaga kerja, petani dan turunnya penerimaan negara salah satunya banjirnya rokok ilegal di Indonesia.
Agus meragukan komitmen pemerintah yang ingin menjaga kedaulatan negara serta melindungi warga negaranya untuk mempertaruhkan hak hidup, hak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, justru kalah sama kepentingan kesehatan global.
"Kenapa pemerintah mau disetir lembaga donor asing dan kelompok anti tembakau untuk membunuh ekosistem pertembakuan yang kontribusinya sangat nyata bagi negara?," tegas Agus Parmuji dihubungi di Jakarta, Senin (26/8/2024).
Baca Juga: APTI Kirim Surat Terbuka ke Presiden Jokowi, Ini Isinya
Dia mensinyalir isi Pasal 429-463 PP 28/2024 merupakan pasal karet alias jebakan batman. Sebagai contoh, Pasal 435 yang berbunyi, "Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan."
Pihaknya menduga, Pasal 435 adalah pasal culas yang dibuat oleh pemerintah atas pesanan ormas global anti tembakau.
"Pasal 435 apabila diterapkan, pelaku industri hasil tembakau (IHT) legal berpotensi gulung tikar karena beban biaya produksi yang melonjak. Sebab, mereka harus merancang ulang kemasan secara total yang membutuhkan investasi besar dan waktu yang lama. Kalau IHT legal gulung tikar, kepada siapa jutaan petani tembakau akan menjual daun tembakaunya?,” tanya Agus Parmuji.
Berdasarkan informasi yang diterima, bahwa Pasal 435 akan diberlakukan pada tanggal 31 Agustus 2024. Menurut Agus Parmuji, Pasal 435 tidak menjadi bagian dari ketentuan yang mendapatkan transisi 2 tahun sebagaimana 8 Pasal lain, sehingga Kemenkes bisa menentukan kapan saja ketentuan itu dikeluarkan.
"Ini jelas bentuk ketidakpastian hukum. Hal itu juga bentuk pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual karena desain kemasan termasuk hak kekayaan dan industri dipaksa untuk mengubahnya," terang Agus Parmuji.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna mengatakan, Kemenkes itu fungsinya memberi pelayanan, mengayomi dan melindungi kehidupan semua kelompok warga bangsa.
Menurut dia menjadi seroang menteri tidak hanya mengayomi satu kelompok masyarakat, seperti misalnya kelompok masyarakat anti tembakau, tetapi juga jutaan petani tembakau, petani cengkeh, buruh rokok dan industri hasil tembakau legal.
"Apakah dengan terus-menerus memproduksi argumen kesehatan dengan mengadopsi FCTC dan data-data riset dari luar negeri, Menkes ingin memaksakan kewenangannya dengan membangun opini yang bisa mengancam kepentingan masyarakat yang hidup dan berjuang mempertahankan hidup dari tembakau dan IHT legal tersebut?" jelasnya.
Baca Juga: PP Kesehatan Dinilai Mengancam Tenaga Kerja
Sarmidi Husna mengatakan, PP 28/2024 khususnya Pasal 429-463 ditengarai adopsi FCTC dengan melibatkan mafia-mafia internasional atas dukungan pendanaan multinasional. Mereka bekerja melalui lembaga resmi pemerintah, parlemen, lembaga penelitian, perguruan tinggi, Ormas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
"Apa menkes akan manut saja dengan dikte dari asing yang merugikan rakyatnya? Apa Menkes memang memusuhi petani tembakau, petani cengkeh dan buruh rokok yang merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang wajib dilindungi?" katanya.
Ketua umum DPN APTI, Agus Parmuji mengatakan, secara umum PP 28/2024 khususnya Pasal 429-463, ruang lingkupnya tak jauh berbeda dengan isi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Menurut Agus, di dalam PP 28/2024 tidak ada sama sekali pengaturan kesehatan, yang ada pengaturan industri. Pada titik ini, kata Agus Parmuji, Menteri Kesehatan (Menkes) nyata-nyata mengabaikan mandat Konstitusi, serta mandat UU 17/2023 tentang Kesehatan.
Dia menambahkan, PP 28/2024 isinya sangat restriktif sehingga menjadi ancaman atas kedaulatan negara, juga ancaman terhadap tenaga kerja, petani dan turunnya penerimaan negara salah satunya banjirnya rokok ilegal di Indonesia.
Agus meragukan komitmen pemerintah yang ingin menjaga kedaulatan negara serta melindungi warga negaranya untuk mempertaruhkan hak hidup, hak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, justru kalah sama kepentingan kesehatan global.
"Kenapa pemerintah mau disetir lembaga donor asing dan kelompok anti tembakau untuk membunuh ekosistem pertembakuan yang kontribusinya sangat nyata bagi negara?," tegas Agus Parmuji dihubungi di Jakarta, Senin (26/8/2024).
Baca Juga: APTI Kirim Surat Terbuka ke Presiden Jokowi, Ini Isinya
Dia mensinyalir isi Pasal 429-463 PP 28/2024 merupakan pasal karet alias jebakan batman. Sebagai contoh, Pasal 435 yang berbunyi, "Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan."
Pihaknya menduga, Pasal 435 adalah pasal culas yang dibuat oleh pemerintah atas pesanan ormas global anti tembakau.
"Pasal 435 apabila diterapkan, pelaku industri hasil tembakau (IHT) legal berpotensi gulung tikar karena beban biaya produksi yang melonjak. Sebab, mereka harus merancang ulang kemasan secara total yang membutuhkan investasi besar dan waktu yang lama. Kalau IHT legal gulung tikar, kepada siapa jutaan petani tembakau akan menjual daun tembakaunya?,” tanya Agus Parmuji.
Berdasarkan informasi yang diterima, bahwa Pasal 435 akan diberlakukan pada tanggal 31 Agustus 2024. Menurut Agus Parmuji, Pasal 435 tidak menjadi bagian dari ketentuan yang mendapatkan transisi 2 tahun sebagaimana 8 Pasal lain, sehingga Kemenkes bisa menentukan kapan saja ketentuan itu dikeluarkan.
"Ini jelas bentuk ketidakpastian hukum. Hal itu juga bentuk pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual karena desain kemasan termasuk hak kekayaan dan industri dipaksa untuk mengubahnya," terang Agus Parmuji.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna mengatakan, Kemenkes itu fungsinya memberi pelayanan, mengayomi dan melindungi kehidupan semua kelompok warga bangsa.
Menurut dia menjadi seroang menteri tidak hanya mengayomi satu kelompok masyarakat, seperti misalnya kelompok masyarakat anti tembakau, tetapi juga jutaan petani tembakau, petani cengkeh, buruh rokok dan industri hasil tembakau legal.
"Apakah dengan terus-menerus memproduksi argumen kesehatan dengan mengadopsi FCTC dan data-data riset dari luar negeri, Menkes ingin memaksakan kewenangannya dengan membangun opini yang bisa mengancam kepentingan masyarakat yang hidup dan berjuang mempertahankan hidup dari tembakau dan IHT legal tersebut?" jelasnya.
Baca Juga: PP Kesehatan Dinilai Mengancam Tenaga Kerja
Sarmidi Husna mengatakan, PP 28/2024 khususnya Pasal 429-463 ditengarai adopsi FCTC dengan melibatkan mafia-mafia internasional atas dukungan pendanaan multinasional. Mereka bekerja melalui lembaga resmi pemerintah, parlemen, lembaga penelitian, perguruan tinggi, Ormas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
"Apa menkes akan manut saja dengan dikte dari asing yang merugikan rakyatnya? Apa Menkes memang memusuhi petani tembakau, petani cengkeh dan buruh rokok yang merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang wajib dilindungi?" katanya.
(nng)