Sri Mulyani Siap Bahas Revisi UU Perpajakan dengan DPR Baru

Rabu, 02 Oktober 2019 - 17:26 WIB
Sri Mulyani Siap Bahas Revisi UU Perpajakan dengan DPR Baru
Sri Mulyani Siap Bahas Revisi UU Perpajakan dengan DPR Baru
A A A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, siap membahas revisi Undang-undang (UU) pajak dengan DPR baru sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyusun rancangan undang-undang (RUU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. UU ini nantinya akan mengakomodir semua UU pajak, seperti PPh, PPN, dan KUP.

Terkait hal itu, Menkeu menunggu DPR RI baru periode 2019-2024 membentuk alat kelengkapan pimpinan sebelum melakukan pembahasan terkait UU pajak baru. "Belum, kan baru kemarin (DPR dilantik). Masih terlalu dini," ujar Menkeu Sri Mulyani di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Lebih lanjut terang dia, setelah susunan pimpinan DPR periode baru rampung selanjutnya diskusi usulan revisi UU Perpajakan bakal dipercepat. Sebagai informasi, anggota Dewan telah melaksanakan pengucapan sumpah/janji berjumlah 711 orang, dengan rincian 575 anggota DPR/MPR dan 136 orang anggota DPD. "Kami hormati prosesnya," tegasnya.

Sebelumnya diterangkan bahwa RUU baru ini demi merespon kebutuhan ekonomi yang dinamis dan cepat dari sisi perubahan kebijakan fiskal di berbagai negara. Namun, RUU baru ini dibuat tidak akan membuat ekonomi Indonesia mengalami penurunan.

Ada beberapa poin penting yang akan masuk dalam RUU ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian. Pertama, menyangkut pengaturan tarif PPh, yakni penurunan tarif PPh Badan menjadi 20% dari 25% dan dilakukan bertahap mulai 2021. Lalu, dalam RUU ini juga memberikan penurunan tarif yang lebih rendah 3% bagi perusahaan go public sehingga tarif PPh nya menjadi 17% atau setara dengan Singapura.

Kedua, dalam RUU baru ini pemerintah menghapuskan PPh atas dividen dari dalam dan luar negeri dengan catatan dividen tersebut diinvestasikan di Indonesia. Selama ini, bagi wajib pajak (WP) pemilik saham di atas 25% maka tetap bebas. Sedangkan yang di bawah 25% terkena tarif PPh final 10%.

Ketiga, dalam RUU baru ini juga pemerintah mengatur mengenai WP orang pribadi berdasarkan rezim world wide menjadi teritorial. Di mana, bagi WNI yang tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari maka tidak lagi menjadi subjek pajak Indonesia. Begitu juga bagi WNA yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia maka tidak wajib melaporkan subjek pajaknya ke negara asal.

Keempat, RUU baru mengubah sanksi 2% dari kegiatan pembetulan SPT tahunan maupun masa menjadi tarif prorata yang mengacu suku bunga pasar ditambah 5%. Misalnya, kurang bayar selama dua bulan, maka suku dua bulan per 12 dikalikan suku bunga pasar ditambah 5%. Sanksi ini bagi WP yang melakukan pembetulan. Sedangkan berdasarkan penetapan atau ditemui jajaran DJP maka sanksinya akan lebih besar. Ini membuat seluruh WP mudah dalam meningkatkan kepatuhannya tanpa merasa terbebani pajak.

Kelima, RUU baru ini menurunkan sanksi denda untuk faktur pajak yang yang tidak dibuat secara tepat waktu. Sanksinya diturunkan menjadi 1% dari yang sekarang berlaku 2%.

Keenam, RUU baru ini memberikan relaksasi terhadap hak untuk mengkreditkan pajak terutama bagi perusahaan kena pajak (PKP) yang selama ini tidak membukukan produk yang dihasilkan. Intinya, berbagai pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan, dalam RUU ini sekarang bisa dikreditkan, diklaim untuk kurangi kewajiban pajak. Ini untuk pengusaha yang selama ini bukan PKP dan sekarang kena PKP.

Ketujuh, RUU baru ini pemerintah menempatkan seluruh fasilitas insentif perpajakan dalam satu bagian, seperti ta holiday, tax allowance, super deduction, fasilitas PPh untuk KEK, dam PPh untuk SBN di pasar internasional. Sehingga, seluruh fasilitas atau insentif pajak ini miliki landasan hukum dan konsistensi landasan hukum dalam satu peraturan. Dengan begitu fasilitas perpajakan akan jauh lebih konsisten.

Kedelapan, RUU baru ini akan menetapkan perusahaan digital asing seperti Amazon dan Google bisa memungut, menyetor, dan melaporkan PPN sebesar 10%.

Kesembilan, RUU ini tidak mengatur soal badan usaha tetap (BUT) bagi perusahaan berbasis digital internasional seperti Amazon dan Google agar tidak harus hadir perusahaan cabangnya di Indonesia, namun pemerintah tetap mewajibkan pengenaan pajaknya. Tujuannya, supaya ada level playing field terhadap kegiatan digital terutama perusahaan besar yang selama ini beroperasi across border. Tarifnya akan ditetapkan dalam PPh dan PPN dalam RUU ini.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.7970 seconds (0.1#10.140)