Fenomena Ini Jadi Pertimbangan Cukai Rokok Batal Naik di 2025
loading...
A
A
A
JAKARTA - Munculnya fenomena down trading rokok sebagai imbas dari kenaikan cukai rokok tahun 2020-2024 yang nilai rata-ratanya di atas 10% setiap tahun -sehingga kenaikan totalnya di atas 65%- menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok di tahun 2025. Fenomena itu ditandai oleh para konsumen yang beralih mengonsumsi produk rokok dengan harga lebih murah, termasuk rokok ilegal.
Menurut GAPPRI keputusan pemerintah ini akan membantu kelangsungan industri rokok dan para konsumen tetap terpacu membeli rokok legal. Selain apresiasi tarif CHT tidak naik, GAPPRI juga meminta pemerintah agar harga jual eceran (HJE) rokok tidak berubah di tahun 2025.
"Serta tidak ada kenaikan PPN menjadi 12%," kata Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Henry menyatakan, berdasarkan kondisi pasar rokok legal yang terancam oleh tekanan kebijakan non fiskal dan fiskal, pabrik anggota GAPPRI berupaya untuk bertahan dengan tenaga kerja dan kelangsungan industri, serta turunnya produksi dan melambatnya kinerja penerimaan CHT yang memerlukan kebijakan mitigasi.
"Kami mendorong adanya keseimbangan antara fungsi pengendalian dan fungsi penerimaan ke depan," ujar Henry.
GAPPRI meminta Menteri Keuangan untuk mempertimbangkan empat usulan sebagai berikut. Pertama, tarif CHT untuk tahun 2025, 2026 dan tahun 2027 tidak naik. Usulan itu demi menjaga kelangsungan proses pemulihan industri hasil tembakau legal nasional.
Kedua, GAPPRI berharap Harga Jual Eceran (HJE) tahun 2025 tidak naik untuk menyesuaikan dengan daya beli yang semakin rendah. Ketiga, tidak dinaikkan PPN pada tahun 2025, demi menjaga penjualan dalam kondisi turunnya daya beli masyarakat.
Keempat, mendorong agar Operasi Gempur Rokok Ilegal terus ditingkatkan sampai ke produsen secara extra ordinary dengan melibatkan aparat penegak hukum.
"Empat usulan kami dimaksudkan lebih berpihak melindungi rokok legal yang sudah merekrut banyak tenaga kerja terutama tenaga kerja wanita dan sebagian besar pabrik padat berbahan baku dalam negeri," terang Henry.
Sebelumnya, GAPPRI pernah mengingatkan Menteri Keuangan pada 19 Agustus 2024 lalu. Saat itu, GAPPRI meminta agar tarif CHT tahun 2025, 2026, dan 2027 tidak naik dengan tujuan memberikan kesempatan bagi industri rokok legal untuk pulih.
"GAPPRI juga meminta pemerintah tidak melakukan simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau dan mendekatkan disparitas harga antar golongan rokok," kata Henry.
Henry Najoan mengungkapkan, industri hasil tembakau (IHT) nasional sedang tidak baik-baik saja dengan indikasi yang jelas. Dalam hal ini, terjadi fenomena down trading atau penyusutan konsumsi rokok Golongan I. Rokok Golongan II pun ikut mengalami penyusutan lantaran para konsumen berpindah ke rokok yang lebih murah lagi, termasuk rokok ilegal.
Peredaran rokok ilegal pun terus menggerus pangsa pasar rokok legal yang tercermin dari penerimaan CHT tahun 2023 yang tidak mencapai target. “Prediksi kami target CHT tahun 2024 pun tidak akan tercapai,” tegas Henry.
Fakta-fakta di atas menandakan, bahwa harga rokok legal di Indonesia sudah tidak terjangkau oleh sebagian besar konsumen karena daya beli mereka sangat lemah seiring tingginya kenaikan tarif CHT periode 2020-2024.
Diketahui Ditjen Bea dan Cukai mencatat tingkat peredaran rokok ilegal 2023 mengalami peningkatan menjadi 6,86%. Angka itu menunjukkan ada potensi penerimaan negara yang tidak terselamatkan senilai Rp15,01 triliun.
Menurut GAPPRI keputusan pemerintah ini akan membantu kelangsungan industri rokok dan para konsumen tetap terpacu membeli rokok legal. Selain apresiasi tarif CHT tidak naik, GAPPRI juga meminta pemerintah agar harga jual eceran (HJE) rokok tidak berubah di tahun 2025.
"Serta tidak ada kenaikan PPN menjadi 12%," kata Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Henry menyatakan, berdasarkan kondisi pasar rokok legal yang terancam oleh tekanan kebijakan non fiskal dan fiskal, pabrik anggota GAPPRI berupaya untuk bertahan dengan tenaga kerja dan kelangsungan industri, serta turunnya produksi dan melambatnya kinerja penerimaan CHT yang memerlukan kebijakan mitigasi.
"Kami mendorong adanya keseimbangan antara fungsi pengendalian dan fungsi penerimaan ke depan," ujar Henry.
GAPPRI meminta Menteri Keuangan untuk mempertimbangkan empat usulan sebagai berikut. Pertama, tarif CHT untuk tahun 2025, 2026 dan tahun 2027 tidak naik. Usulan itu demi menjaga kelangsungan proses pemulihan industri hasil tembakau legal nasional.
Kedua, GAPPRI berharap Harga Jual Eceran (HJE) tahun 2025 tidak naik untuk menyesuaikan dengan daya beli yang semakin rendah. Ketiga, tidak dinaikkan PPN pada tahun 2025, demi menjaga penjualan dalam kondisi turunnya daya beli masyarakat.
Keempat, mendorong agar Operasi Gempur Rokok Ilegal terus ditingkatkan sampai ke produsen secara extra ordinary dengan melibatkan aparat penegak hukum.
"Empat usulan kami dimaksudkan lebih berpihak melindungi rokok legal yang sudah merekrut banyak tenaga kerja terutama tenaga kerja wanita dan sebagian besar pabrik padat berbahan baku dalam negeri," terang Henry.
Sebelumnya, GAPPRI pernah mengingatkan Menteri Keuangan pada 19 Agustus 2024 lalu. Saat itu, GAPPRI meminta agar tarif CHT tahun 2025, 2026, dan 2027 tidak naik dengan tujuan memberikan kesempatan bagi industri rokok legal untuk pulih.
"GAPPRI juga meminta pemerintah tidak melakukan simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau dan mendekatkan disparitas harga antar golongan rokok," kata Henry.
Henry Najoan mengungkapkan, industri hasil tembakau (IHT) nasional sedang tidak baik-baik saja dengan indikasi yang jelas. Dalam hal ini, terjadi fenomena down trading atau penyusutan konsumsi rokok Golongan I. Rokok Golongan II pun ikut mengalami penyusutan lantaran para konsumen berpindah ke rokok yang lebih murah lagi, termasuk rokok ilegal.
Peredaran rokok ilegal pun terus menggerus pangsa pasar rokok legal yang tercermin dari penerimaan CHT tahun 2023 yang tidak mencapai target. “Prediksi kami target CHT tahun 2024 pun tidak akan tercapai,” tegas Henry.
Fakta-fakta di atas menandakan, bahwa harga rokok legal di Indonesia sudah tidak terjangkau oleh sebagian besar konsumen karena daya beli mereka sangat lemah seiring tingginya kenaikan tarif CHT periode 2020-2024.
Diketahui Ditjen Bea dan Cukai mencatat tingkat peredaran rokok ilegal 2023 mengalami peningkatan menjadi 6,86%. Angka itu menunjukkan ada potensi penerimaan negara yang tidak terselamatkan senilai Rp15,01 triliun.
(akr)