Bank Dunia Sebut Harga Beras Indonesia Termahal, Kepala Bapanas: Jangan Terpancing
loading...
A
A
A
JAKARTA - Country Director untuk Indonesia dan Timor-Leste, East Asia dan Pacific World Bank , Carolyn Turk menyebut harga beras di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Tak tanggung-tanggung, perbedaannya mencapai 20%.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi meminta, agar Indonesia jangan terprovokasi. Pasalnya menurutnya apa yang dikatakan World Bank atau Bank Dunia tidak lebih dari sekedar jebakan agar Indonesia terus melakukan impor.
"Jadi kalau Bank Dunia menyampaikan pembatasan impor (yang dilakukan Indonesia) sehingga harga mahal, ya memang. Memang tugas kita sebagai negara melindungi petani kita," ungkap Arief.
"Sekarang kita jangan terpancing oleh statement Bank Dunia karena kita tidak impor maka harga tinggi. Indonesia saat ini memang sedang meningkatkan kesejahteraan petani," lanjutnya.
Lebih lanjut Arief menyampaikan bahwa Indonesia harus kompak, bahu membahu untuk melakukan koreksi sehingga produksi petani bisa semakin ditingkatkan. Menurutnya, ini penting dilakukan guna menekan harga beras agar bisa lebih terjangkau bagi masyarakat.
"Yang harus kita kerjakan adalah self correction. Kita harus tingkatkan produksi bersama-sama, semua elemen harus bekerja sama. Benih kita perbaiki, pupuk, penyuluh, teknologi, food cost kita perbaiki. Memang banyak yang harus dikerjakan," ujarnya.
Untuk diketahui sebelumnya Carolyn mengungkap, tingginya harga beras di Indonesia salah satunya disebabkan oleh pembatasan impor hingga keputusan pemerintah menaikkan harga jual beras hingga melemahkan daya saing pertanian. Dan yang mirisnya lagi, tingginya harga beras tidak diikuti dengan kesejahteraan petani.
Lebih jauh disampaikan, pendapatan petani di Indonesia masih di bawah USD1 atau setara Rp15.207 per hari. Yang mana itu artinya dalam setahun diperkirakan penghasilan petani Indonesia hanya kurang dari USD341 atau setara Rp5 juta saja.
"Yang kita lihat adalah bahwa pendapatan banyak petani marjinal sering kali jauh di bawah upah minimum, bahkan sering kali berada di bawah garis kemiskinan," ungkapnya dalam acara Indonesia International Rice Conference yang digelar di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu.
Carolyn menekankan, pentingnya investasi untuk mendorong produktivitas pertanian di tengah krisis pangan akibat perubahan iklim seperti sekarang ini.Menurutnya, investasi bisa mengurangi kerugian pasca panen sekaligus membuka peluang dalam meningkatkan kemampuan produksi dengan membangun ragam infrastruktur seperti pabrik dengan teknologi modern dan infrastruktur penunjang lainnya.
"Seperti yang telah saya katakan, penting untuk berinvestasi pada pendorong produktivitas pertanian. Kami telah menyarankan bahwa penelitian dan penyuluhan merupakan bidang yang penting untuk diperhatikan," ujarnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi meminta, agar Indonesia jangan terprovokasi. Pasalnya menurutnya apa yang dikatakan World Bank atau Bank Dunia tidak lebih dari sekedar jebakan agar Indonesia terus melakukan impor.
"Jadi kalau Bank Dunia menyampaikan pembatasan impor (yang dilakukan Indonesia) sehingga harga mahal, ya memang. Memang tugas kita sebagai negara melindungi petani kita," ungkap Arief.
"Sekarang kita jangan terpancing oleh statement Bank Dunia karena kita tidak impor maka harga tinggi. Indonesia saat ini memang sedang meningkatkan kesejahteraan petani," lanjutnya.
Lebih lanjut Arief menyampaikan bahwa Indonesia harus kompak, bahu membahu untuk melakukan koreksi sehingga produksi petani bisa semakin ditingkatkan. Menurutnya, ini penting dilakukan guna menekan harga beras agar bisa lebih terjangkau bagi masyarakat.
"Yang harus kita kerjakan adalah self correction. Kita harus tingkatkan produksi bersama-sama, semua elemen harus bekerja sama. Benih kita perbaiki, pupuk, penyuluh, teknologi, food cost kita perbaiki. Memang banyak yang harus dikerjakan," ujarnya.
Untuk diketahui sebelumnya Carolyn mengungkap, tingginya harga beras di Indonesia salah satunya disebabkan oleh pembatasan impor hingga keputusan pemerintah menaikkan harga jual beras hingga melemahkan daya saing pertanian. Dan yang mirisnya lagi, tingginya harga beras tidak diikuti dengan kesejahteraan petani.
Lebih jauh disampaikan, pendapatan petani di Indonesia masih di bawah USD1 atau setara Rp15.207 per hari. Yang mana itu artinya dalam setahun diperkirakan penghasilan petani Indonesia hanya kurang dari USD341 atau setara Rp5 juta saja.
"Yang kita lihat adalah bahwa pendapatan banyak petani marjinal sering kali jauh di bawah upah minimum, bahkan sering kali berada di bawah garis kemiskinan," ungkapnya dalam acara Indonesia International Rice Conference yang digelar di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu.
Carolyn menekankan, pentingnya investasi untuk mendorong produktivitas pertanian di tengah krisis pangan akibat perubahan iklim seperti sekarang ini.Menurutnya, investasi bisa mengurangi kerugian pasca panen sekaligus membuka peluang dalam meningkatkan kemampuan produksi dengan membangun ragam infrastruktur seperti pabrik dengan teknologi modern dan infrastruktur penunjang lainnya.
"Seperti yang telah saya katakan, penting untuk berinvestasi pada pendorong produktivitas pertanian. Kami telah menyarankan bahwa penelitian dan penyuluhan merupakan bidang yang penting untuk diperhatikan," ujarnya.
(akr)