Konversi BBM ke BBG Berbasis Kawasan Bisa Atasi Kelangkaan

Selasa, 10 Desember 2019 - 22:18 WIB
Konversi BBM ke BBG Berbasis Kawasan Bisa Atasi Kelangkaan
Konversi BBM ke BBG Berbasis Kawasan Bisa Atasi Kelangkaan
A A A
BANDUNG - Pemerintah didorong terus menguatkan program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) berbasis kawasan untuk kemandirian energi nasional. Upaya ini diharapkan menjadi solusi mengatasi masalah distribusi bahan bakar di Indonesia.

Saat ini, setidaknya ada lima daerah di Indonesia yang menghasilkan gas bumi dalam jumlah besar, yaitu Jawa Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, dan Papua Barat. Beberapanya dikelola oleh perusahaan gabungan BUMN dan swasta, dengan volume produksi gas nasional sekitar 62,9 MToe atau setara 73,2 billion cubic metres (Bcm) pada 2018.

Ironisnya, di beberapa daerah penghasil gas alam seperti Papua dan Kalimantan, dengan cadangan gas mencapai 15,35 triliun standard cubic feet (TSCF), masyarakatnya terkadang masih kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM). Mereka harus mengantre akibat pasokan BBM yang terbatas.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Barat, Sony Sulaksono Wibowo, mengatakan kelangkaan BBM yang berakibat pada tersendatnya mobilitas masyarakat, mustinya tidak terjadi di daerah penghasil gas alam. Karena masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai sumber energi menggantikan bahan bakar minyak.

"Daerah yang punya potensi gas dan sulit mendapatkan bahan bakar minyak, bisa melakukan konversi BBM ke BBG. Jadi tidak ada lagi antrean kendaraan panjang di Kalimantan atau Sulawesi karena pasokan BBM yang kurang," jelas Sony.

Pemerintah, kata dia, bisa menggalakkan program konversi BBM ke BBG berdasarkan kawasan. Terutama daerah penghasil gas alam. Pasokan bahan bakar untuk kendaraan, nantinya mengandalkan pasokan gas yang dihasilkan di daerah tersebut. Langkah ini dinilai lebih efisien mengatasi problem distribusi.

"Kenapa enggak dilakukan program konversi ke gas saja. Karena sebenarnya, mesin mobil yang diambil uapnya juga. Kalau ada gas, kenapa enggak langsung saja pakai gas. Dari pada diekspor atau dijadikan pupuk," kata dia.

Penggunaan gas alam akan mendorong kemandirian energi nasional yang saat ini sedang digaungkan pemerintah. Dari produksi gas alam nasional sebesar 62,9 MToe, konsumsi dalam negeri pada 2018 hanya 33,5 MToe atau setara 39 Bcm dengan pertumbuhan 1,1%. Sisanya sekitar 20,8 Bcm diekspor.

Cadangan gas alam di Indonesia juga cukup melimpah, mencapai 142,72 TSCF. Sebanyak 100,36 TSCF merupakan cadangan terbukti dan 42,36 TSCF cadangan potensial. Di sisi lain, importasi bahan bakar minyak Indonesia terus meningkat dan menguras devisa negara. Pada 2018, impor minyak jadi sekitar USD15 miliar.

Namun untuk memulai kemandirian energi nasional dari gas, perlu ada komitmen pemerintah untuk menggalakkan program konversi BBM ke BBG. Keseriusan pemerintah juga mesti dibuktikan melalui diterbitkannya regulasi eksplorasi gas alam, penggunaan BBG dan perangkat pendukungnya.

"Jadi yang diperlukan keseriusan pemerintahan untuk konversi ini. Kalau memang mau serius, ya sudah bangun SPBG (Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas), terutama daerah yang intensitas mobilnya tinggi dan penghasil gas alam," beber dia.

Kejelasan aturan juga akan memberi kepastian hukum bagi para investor yang ingin membangun sumur gas. Atau industri yang siap memproduksi alat pendukung seperti konverter kit dan tabung BBG.

Wacana penggunaan BBG untuk semua angkutan umum, kata dia, juga cukup baik. Program ini tak hanya melakukan efisiensi bahan bakar tetapi juga mengurangi polusi udara. Penggunaan bahan bakar gas, sangat ramah lingkungan. Di beberapa negara, seperti Thailand telah menggunakan BBG untuk semua angkutan umum.

"Thailand sudah menggunakan gas dan teknologinya enggak sulit. Kalau masalahnya ada di tabung, ya bisa didesain sedemikian rupa, seperti model slim atau sesuai kondisi bagasi kendaraan. Di Thailand juga sudah lakukan itu," beber dia.

Bahkan, Sony lebih mendukung program konversi BBM ke BBG, ketimbang program kendaraan listrik. Menurut dia, persoalan BBG hanya terbentur masalah konverter, yang sebenarnya bisa dibuat di Indonesia. Banyak ahli mesin Tanah Air yang dinilai mampu membuat alat tersebut.

"Kalau mobil listrik, kita terkendala dengan batrenya. Teknologi baterai kita belum mampu untuk diproduksi dalam jumlah massal. Memang untuk skala lab kita bisa, tapi untuk skala massal, kita belum sanggup. Beberapa pencanangan mobil listrik, ujung-ujungnya kita akan impor barang terkait dengan baterai," imbuh dia.

Bila mobil listrik jadi digalakkan, Indonesia akan kembali menghadapi importasi batre yang terus membengkak. Belum lagi, banyak daerah di Indonesia yang pelayanan listriknya belum 24 jam. Hal itu akan menjadi persoalan di kemudian hari.

Pengamat Transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ofyar Z. Tamin, mengatakan ke depan angkutan umum akan difokuskan pada kendaraan berbasis rel dan jalan. Untuk rel diarahkan menggunakan energi listrik. Sedangkan angkutan jalan, berorientasi pada bahan bakar ramah lingkungan seperti bahan bakar gas. Hal itu masuk program langit biru yang digalakkan Kementerian Lingkungan Hidup.

"Konversi BBM ke BBG ini wajib. Karena menggunakan BBM kan sangat polutif. Jadi mestinya di geser ke gas, mobil listrik atau bus berbasis tram. Tetapi penggunaan gas jauh lebih ramah lingkungan," kata dia yang kini menjabat Rektor Institut Teknologi Sumatra (Itera).

Menurut dia, di beberapa kota besar di dunia, angkutan umum telah menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Mereka menggunakan energi listrik, solar sel, gas, dan lainnya.

Untuk di Indonesia, kata dia, penggunaan mobil listrik masih kurang memungkinkan, lantaran keterbatasan teknologi baterai. Penggunaan mobil listrik justru akan meningkatkan importasi Indonesia dari negara produsen baterai. Konversi ke BBG, kata dua, dinilai paling tepat dan sesuai kondisi Indonesia.

"Makanya yang paling mudah dan langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah menggunakan BBG, tidak ada alternatif lain. Apalagi kalau kita ingin dinilai sebagai kota yang bersih," katanya.

Menurut dia, skema yang bisa dilakukan untuk konversi BBM ke BBG adalah mengutamakan kawasan tertentu, seperti daerah penghasil gas alam atau kota besar.

"Pemerintah harus mendorong untuk konversi ini di kota besar. Kalau daerah itu penghasil gas, kenapa tidak diarahkan memakai gas. Sedangkan kalau di kota besar tidak ada SPBG, ya tinggal dibangun bersebelahan dengan SPBU," imbuh dia.

Kepala Seksi Kelaikan dan Keselamatan Transportasi Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung Viky Ardi mengaku, Pemkot Bandung merespons positif program konversi BBM ke BBG. Saat diluncurkan pada 2016 lalu, Pemkot Bandung bersedia menerapkannya program konversi bagi 90 kendaraan. 50 konverter kit dipasang di taksi Blue Bird, 30 angkutan kota, dan 10 kendaraan dinas.

"Kami, Pemkot Bandung sangat respons baik program konversi ini. Apalagi ini sejalan dengan program langit biru yang juga menjadi konsen kami. Salah satunya mengurangi polusi udara dengan meminimalisir polusi di perkotaan," kata dia.

Kendati saat ini program konversi cenderung meredup, Pemkot Bandung masih menunggu kelanjutan pemerintah pusat atas program ini. Apalagi, konversi BBM ke BBG sejalan dengan rencana Pemkot Bandung mencanangkan kendaraan umum ramah lingkungan.

"Kami menanti support dari pemerintah pusat untuk pengadaan konverter kit beserta infrastruktur pendukungnya. Karena kalau mengandalkan APBD, anggarannya sangat terbatas," beber Viky.

Saat ini, untuk mendukung program Langit Biru, Pemkot Bandung melakukan pembatasan usia kendaraan angkutan umum, maksimal berusia 10 tahun.

"Kami berharap ini mengurangi polusi udara di Kota Bandung. Apalagi bila menggunakan BBG, residunya bukan timbal, tetapi H2O, jadi lebih ramah lingkungan. Selain itu, pembakarannya sempurna. Sehingga perawatan mesin lebih ringan," imbuh dia.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.5464 seconds (0.1#10.140)