Akuisisi SECP, Chandra Asri Dukung Ketahanan Energi Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan menaikan lifting minyak dan gas naik untuk mengurangi impor yang membuat anggaran negara semakin besar. Seperti diketahui, produksi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menghadapi tantangan yang berat. Sebab, produksi migas Indonesia terus mengalami penurunan.
Pengamat Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, penurunan lifting ditambah kapasitas kilang yang terbatas, membuat Indonesia terus menjadi net importer minyak.
"Pada akhirnya, Indonesia bergantung impor minyak mentah dan BBM. Saat ini, suit mengurangi ketergantungan impor minyak karena cadangan minyak di dalam negeri semakin turun," ujar dia, dikutip Jumat (18/10/2024).
Fahmy menilai, butuh investasi besar untuk mengeksplorasi cadangan minyak. Namun, investor besar di Indonesia kurang berminat karena cadangan minyak yang menipis.
"Yang semestinya menjadi perhatian pemerintah untuk menggenjot produksi migas yakni dengan perluas eksplorasi cekungan baru yang secara geologis potensinya besar, tetapi belum terbukti ekonomis. Ketika cadangan migas pada sumur-sumur baru tersebut telah terbukti secara geologis dan dari sisi nilai keekonomian dianggap mumpuni, maka investor akan berdatangan," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, lifting minyak terus menurun dari tahun 2015. Pada tahun itu, realisasi lifting minyak tercatat 779 ribu barel per hari (bopd). Sempat naik menjadi 829 ribu bopd di 2016, tapi kemudian turun di 2017 menjadi 804 ribu bopd.
Setelah itu, lifting terus turun secara berurutan yakni 778 ribu bopd (2018), 746 ribu bopd (2019), 707 ribu bopd (2020), 660 ribu bopd (2021), 612 ribu bopd (2022), dan 605,4 ribu bopd (2023).
Dengan terus menurunnya lifting minyak dan gas terus maka akan berdampak terhadap keuangan negara. Pada tahun 2023, subsidi bahan bakar di Indonesia mencapai IDR 160 triliun, dan 60% dari jumlah tersebut dialokasikan untuk sektor bahan bakar dan LPG.
Saat ini, Indonesia sangat bergantung pada impor untuk minyak mentah dan produk minyak bumi guna menutupi defisit. Untuk memastikan keterjangkauan dan aksesibilitas bagi konsumen, subsidi bahan bakar diberikan.
Pengamat Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, penurunan lifting ditambah kapasitas kilang yang terbatas, membuat Indonesia terus menjadi net importer minyak.
"Pada akhirnya, Indonesia bergantung impor minyak mentah dan BBM. Saat ini, suit mengurangi ketergantungan impor minyak karena cadangan minyak di dalam negeri semakin turun," ujar dia, dikutip Jumat (18/10/2024).
Fahmy menilai, butuh investasi besar untuk mengeksplorasi cadangan minyak. Namun, investor besar di Indonesia kurang berminat karena cadangan minyak yang menipis.
"Yang semestinya menjadi perhatian pemerintah untuk menggenjot produksi migas yakni dengan perluas eksplorasi cekungan baru yang secara geologis potensinya besar, tetapi belum terbukti ekonomis. Ketika cadangan migas pada sumur-sumur baru tersebut telah terbukti secara geologis dan dari sisi nilai keekonomian dianggap mumpuni, maka investor akan berdatangan," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, lifting minyak terus menurun dari tahun 2015. Pada tahun itu, realisasi lifting minyak tercatat 779 ribu barel per hari (bopd). Sempat naik menjadi 829 ribu bopd di 2016, tapi kemudian turun di 2017 menjadi 804 ribu bopd.
Setelah itu, lifting terus turun secara berurutan yakni 778 ribu bopd (2018), 746 ribu bopd (2019), 707 ribu bopd (2020), 660 ribu bopd (2021), 612 ribu bopd (2022), dan 605,4 ribu bopd (2023).
Dengan terus menurunnya lifting minyak dan gas terus maka akan berdampak terhadap keuangan negara. Pada tahun 2023, subsidi bahan bakar di Indonesia mencapai IDR 160 triliun, dan 60% dari jumlah tersebut dialokasikan untuk sektor bahan bakar dan LPG.
Saat ini, Indonesia sangat bergantung pada impor untuk minyak mentah dan produk minyak bumi guna menutupi defisit. Untuk memastikan keterjangkauan dan aksesibilitas bagi konsumen, subsidi bahan bakar diberikan.