Kenaikan PPN 12% Ditunda, Ekonom Sebut Tetap Berisiko Tinggi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan pemerintah bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN jadi 12% yang akan diimbangi terlebih dahulu dengan pemberian bantuan tunai serta subsidi tambahan bagi masyarakat menengah ke bawah, menurut ekonom merupakan kebijakan yang tetap berisiko tinggi.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah hanya menyampaikan bahwa kebijakan PPN jadi 12% di 2025 hanya ditunda, bukan dibatalkan. "Artinya tarif PPN 12 persen akan tetap berlaku di 2025," ujarnya ketika dihubungi MNC Portal Indonesia, Kamis (28/11/2024).
Bhima menuturkan, apabila bantuan sosial atau bansos itu diberikan dalam kurun waktu 2 sampai 3 bulan kemudian tarif PPN tetap naik menjadi 12%, maka dampak ke ekonomi tetap negatif. Sehingga menurutnya, bantuan hanya bersifat temporer, sementara kenaikan tarif PPN 12% akan berimbas pada jangka panjang.
"Tidak semua kelompok masyarakat yang terdampak kenaikan PPN khususnya kelas menengah mendapat kompensasi. Hampir sulit ya jumlah kelas menengah yang disebut aspiring middle class saja ada 137,5 juta orang. Berapa banyak alokasi bansos-nya juga belum jelas," terang Bhima.
Sementara lanjut Bhima, kenaikan inflasi bahkan terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12% berlaku di Januari 2025. Oleh karena itu Bhima berpendapat terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru.
Adapun pre-emptives inflation berasal dari perilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru.
Diungkapkan Bhima, kekhawatiran pre-emptives inflation bisa dibaca dari ekspektasi kenaikan harga pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025, selain karena momentum seasonal libur Natal dan tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12%.
"Fenomena pre-emptives inflation akan membuat proyeksi inflasi 2025 jauh lebih tinggi dibanding 2024," tegasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa pemerintah berencana memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial atau bansos ke kelas menengah sebelum penerapan kenaikan PPN menjadi 12% dilakukan.
"PPN 12% sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah," ujarnya di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu (27/11/2024).
Lebih lanjut, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sebagai bantalan dalam penerapan PPN 12%, tidak akan berupa bantuan langsung tunai (BLT), melainkan subsidi energi ketenagalistrikan. Tapi diberikan itu ke listrik. Karena kalau diberikan nanti ke rakyat takut dijudikan lagi nanti," urai Luhut.
Dikatakan Luhut, untuk anggaran bantuan sosial tersebut sudah disiapkan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta segera diselesaikan rancangan penyalurannya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah hanya menyampaikan bahwa kebijakan PPN jadi 12% di 2025 hanya ditunda, bukan dibatalkan. "Artinya tarif PPN 12 persen akan tetap berlaku di 2025," ujarnya ketika dihubungi MNC Portal Indonesia, Kamis (28/11/2024).
Bhima menuturkan, apabila bantuan sosial atau bansos itu diberikan dalam kurun waktu 2 sampai 3 bulan kemudian tarif PPN tetap naik menjadi 12%, maka dampak ke ekonomi tetap negatif. Sehingga menurutnya, bantuan hanya bersifat temporer, sementara kenaikan tarif PPN 12% akan berimbas pada jangka panjang.
"Tidak semua kelompok masyarakat yang terdampak kenaikan PPN khususnya kelas menengah mendapat kompensasi. Hampir sulit ya jumlah kelas menengah yang disebut aspiring middle class saja ada 137,5 juta orang. Berapa banyak alokasi bansos-nya juga belum jelas," terang Bhima.
Sementara lanjut Bhima, kenaikan inflasi bahkan terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12% berlaku di Januari 2025. Oleh karena itu Bhima berpendapat terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru.
Adapun pre-emptives inflation berasal dari perilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru.
Diungkapkan Bhima, kekhawatiran pre-emptives inflation bisa dibaca dari ekspektasi kenaikan harga pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025, selain karena momentum seasonal libur Natal dan tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12%.
"Fenomena pre-emptives inflation akan membuat proyeksi inflasi 2025 jauh lebih tinggi dibanding 2024," tegasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa pemerintah berencana memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial atau bansos ke kelas menengah sebelum penerapan kenaikan PPN menjadi 12% dilakukan.
"PPN 12% sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah," ujarnya di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu (27/11/2024).
Lebih lanjut, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sebagai bantalan dalam penerapan PPN 12%, tidak akan berupa bantuan langsung tunai (BLT), melainkan subsidi energi ketenagalistrikan. Tapi diberikan itu ke listrik. Karena kalau diberikan nanti ke rakyat takut dijudikan lagi nanti," urai Luhut.
Dikatakan Luhut, untuk anggaran bantuan sosial tersebut sudah disiapkan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta segera diselesaikan rancangan penyalurannya.
(akr)