Pengusaha Apresiasi Stimulus Kemudahan Ekspor-Impor Barang
A
A
A
JAKARTA - Pengusaha menyambut positif empat kebijakan stimulus pemerintah untuk menjamin kelancaran lalu lintas ekspor dan impor barang dalam mengantisipasi dampak merebaknya virus corona atau Covid-19.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, kebijakan tersebut dinilai tepat untuk kondisi saat ini mengingat pasar dalam kondisi kekurangan suplai bahan baku dan bahan pendukung produksi karena disrupsi produksi di China.
"Ke depannya kita juga harus mengantisipasi adanya disrupsi produksi/suplai dari negara lain di mana wabah semakin berkembang seperti Jepang dan Korea. Kalau impor tidak dibuka, kondisi kelangkaan suplai tidak akan terkoreksi karena saat ini mencari suplai alternatif saja sudah sulit," ujarnya di Jakarta, Selasa (3/3/2020).
Shinta melanjutkan, perusahaan hampir tidak bisa menemukan sumber suplai alternatif karena kondisi kelangkaan suplai terjadi secara global. "Kalau mekanisme impor kita tidak di by pass, butuh waktu sampai berbulan-bulan hingga barang suplai alternatifnya bisa digunakan untuk produksi oleh perusahaan. Kalau dibiarkan industri akan lebih dulu tutup sebelum bahan baku produksinya sampai," ungkapnya.
Menurut Shinta, tidak perlu terlalu dikhawatirkan ada bentrokan dengan pasokan lokal karena kondisi kelangkaan supplai sudah terjadi. Sementara jika dibiarkan hanya mengandalkan pasokan lokal, cepat atau lambat kenaikan harga bahan baku di pasar nasional akan terlalu tinggi melampaui daya beli industri sehingga industri akhirnya menghentikan produksi atau tutup.
"Saya rasa pemerintah juga cukup prudent dengan memberikan relaksasi ini hanya kepada trusted importers. Track record importir yang baik bisa meminimalisir potensi kebocoran atau penyalahgunaan impor," tuturnya.
Kalau pun terjadi kebocoran, lanjut Shinta, pemerintah akan lebih mudah mendeteksinya berdasarkan anomali kegiatan impor si perusahaan. "Yang jelas meskipun ada relaksasi impor, pemerintah tetap perlu memonitor kegiatan impor yang dilakukan untuk mengantisipasi risiko pelebaran defisit perdagangan nasional agar tidak berada di luar kemampuan kita dalam menciptakan stabilitas ekonomi," jelasnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, kemudahan dalam perizinan bahan baku sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing. Selain itu, kelancaran logistik juga diperlukan untuk menjadi stimulus bagi industri.
"Karena kalau logistik tidak lancar, biaya di pelabuhan, biaya pengangkutan akan menjadi mahal. Dengan biaya mahal akan dibebankan ke konsumen. Ini sebenarnya dikejar pemerintah untuk menurunkan biaya logistik supaya jadi stimulus bagi industi dan ujungnya peningkatan daya saing kita," jelasnya.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, saat ini merupakan kesempatan bagi pengusaha domestik untuk melakukan substitusi impor. Menurut dia, dengan diberikan kemudahan impor kurang tepat.
"Kita ingin agar corona jadi pelajaran bahwa Indonesia tidak bisa ketergantungan dari barang impor China. Padahal sebelumnya industri yang menjadi subsitusi impor diberikan aneka insentif dalam paket kebijakan. Jadi terkesan pemerintah inkonsisten," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, kebijakan tersebut dinilai tepat untuk kondisi saat ini mengingat pasar dalam kondisi kekurangan suplai bahan baku dan bahan pendukung produksi karena disrupsi produksi di China.
"Ke depannya kita juga harus mengantisipasi adanya disrupsi produksi/suplai dari negara lain di mana wabah semakin berkembang seperti Jepang dan Korea. Kalau impor tidak dibuka, kondisi kelangkaan suplai tidak akan terkoreksi karena saat ini mencari suplai alternatif saja sudah sulit," ujarnya di Jakarta, Selasa (3/3/2020).
Shinta melanjutkan, perusahaan hampir tidak bisa menemukan sumber suplai alternatif karena kondisi kelangkaan suplai terjadi secara global. "Kalau mekanisme impor kita tidak di by pass, butuh waktu sampai berbulan-bulan hingga barang suplai alternatifnya bisa digunakan untuk produksi oleh perusahaan. Kalau dibiarkan industri akan lebih dulu tutup sebelum bahan baku produksinya sampai," ungkapnya.
Menurut Shinta, tidak perlu terlalu dikhawatirkan ada bentrokan dengan pasokan lokal karena kondisi kelangkaan supplai sudah terjadi. Sementara jika dibiarkan hanya mengandalkan pasokan lokal, cepat atau lambat kenaikan harga bahan baku di pasar nasional akan terlalu tinggi melampaui daya beli industri sehingga industri akhirnya menghentikan produksi atau tutup.
"Saya rasa pemerintah juga cukup prudent dengan memberikan relaksasi ini hanya kepada trusted importers. Track record importir yang baik bisa meminimalisir potensi kebocoran atau penyalahgunaan impor," tuturnya.
Kalau pun terjadi kebocoran, lanjut Shinta, pemerintah akan lebih mudah mendeteksinya berdasarkan anomali kegiatan impor si perusahaan. "Yang jelas meskipun ada relaksasi impor, pemerintah tetap perlu memonitor kegiatan impor yang dilakukan untuk mengantisipasi risiko pelebaran defisit perdagangan nasional agar tidak berada di luar kemampuan kita dalam menciptakan stabilitas ekonomi," jelasnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, kemudahan dalam perizinan bahan baku sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing. Selain itu, kelancaran logistik juga diperlukan untuk menjadi stimulus bagi industri.
"Karena kalau logistik tidak lancar, biaya di pelabuhan, biaya pengangkutan akan menjadi mahal. Dengan biaya mahal akan dibebankan ke konsumen. Ini sebenarnya dikejar pemerintah untuk menurunkan biaya logistik supaya jadi stimulus bagi industi dan ujungnya peningkatan daya saing kita," jelasnya.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, saat ini merupakan kesempatan bagi pengusaha domestik untuk melakukan substitusi impor. Menurut dia, dengan diberikan kemudahan impor kurang tepat.
"Kita ingin agar corona jadi pelajaran bahwa Indonesia tidak bisa ketergantungan dari barang impor China. Padahal sebelumnya industri yang menjadi subsitusi impor diberikan aneka insentif dalam paket kebijakan. Jadi terkesan pemerintah inkonsisten," tuturnya.
(fjo)