Relaksasi Perpajakan Bisa Pulihkan Ekonomi Pasca COVID-19
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, memuji kebijakan Pemerintah di bidang perpajakan yang memberikan insentif pada wajib pajak dan industri terdampak COVID-19.
"Apa yang direncanakan di Omnibus Law Perpajakan, ditarik ke depan agar segera memberi dampak bagi wajib pajak, maka tarif PPh Badan diturunkan menjadi 22% untuk Tahun Pajak 2020," kata Yustinus Prastowo dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/4/2020).
Menurutnya, pemajakan atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh), cukup beralasan. Sekalipun ditinjau dari sisi fairness maupun perluasan basis pajak, seiring pemanfaatan platform itu selama pandemi.
Walaupun pada implementasinya perlu dipikirkan mekanisme yang efektif dan keselarasannya kelak dengan global framework OECD.
"Perpanjangan jangka waktu permohonan atau penyelesaian terkait administrasi perpajakan juga sangat dinanti, baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak. Ini akan mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, mengurangi risiko penularan COVID-19, memberi kelonggaran, dan menjamin kredibilitas penyelesaian permohonan atau administrasi perpajakan," kata dia.
Selanjutnya, hanya perlu mempertimbangkan implementasinya agar lebih luwes, menyesuaikan masa tanggap darurat Pemerintah dan kesesuaian dengan Indikator Kinerja Utama. Terkait hal ini, pengaturan WFH juga perlu diselaraskan dan dimodifikasi agar tepat sasaran dan tujuan, termasuk memikirkan aspek keselamatan pegawai.
Yustinus menyebut Pemerintah berkomitmen baik dengan mengevaluasi insentif dan memperluas ke sektor-sektor lain yang terdampak, di luar industri pengolahan. Ia menilai pemerintah punya kemauan mendengarkan dan mengikuti saran pertimbangan banyak pihak.
"Tentu ini kabar baik karena pandemi ini telah menimbulkan dampak luar biasa ke hampir semua sektor usaha. Relaksasi berupa PPh 21 dan PPh 25 ditanggung pemerintah, pembebasan atau penundaan pemungutan bea masuk dan PPh 22 impor, dan percepatan restitusi PPN akan sangat membantu cash flow perusahaan dan individu. Hal konkret yang di depan mata menjadi ancaman survival," ujarnya.
Tidak hanya itu, pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat kebijakan terkait fasilitas kepabeanan, khususnya terhadap impor barang-barang yang dibutuhkan untuk penanganan COVID-19, akan jadi terobosan penting di tengah rumitnya regulasi impor dan tumpang tindih kewenangan di lapangan.
Kebijakan ini diracik bersamaan dengan upaya Kementerian Perekonomian dalam melakukan orkestrasi kebijakan sektoral yang partisipatoris. Hal tersebut akan berdampak positif bagi upaya penanganan COVID-19.
"Misalnya, percepatan produksi ventilator, bed rumah sakit, masker, APD, dan lainnya. Tarian insentif-disinsentif akan amat penting dan berguna jika dimainkan dengan lihai," katanya.
Menurutnya, koordinasi otoritas fiskal dan otoritas moneter belakangan ini memberi harapan bahwa kita bisa menghadirkan kepemimpinan yang efektif. Orkestrasi yang semakin baik ini kiranya juga bisa hadir lebih besar lagi dalam kepemimpinan penanganan COVID-19 yang multidimensi ini.
"Rakyat yang panjang sabar, bersolider, rajin berderma, dan fakta masih beratnya perjuangan di lapangan, kiranya semakin mendorong upaya-upaya pengendalian yang lebih baik, baik oleh pemimpin maupun para tokoh dan intelektual," tukasnya.
"Apa yang direncanakan di Omnibus Law Perpajakan, ditarik ke depan agar segera memberi dampak bagi wajib pajak, maka tarif PPh Badan diturunkan menjadi 22% untuk Tahun Pajak 2020," kata Yustinus Prastowo dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/4/2020).
Menurutnya, pemajakan atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh), cukup beralasan. Sekalipun ditinjau dari sisi fairness maupun perluasan basis pajak, seiring pemanfaatan platform itu selama pandemi.
Walaupun pada implementasinya perlu dipikirkan mekanisme yang efektif dan keselarasannya kelak dengan global framework OECD.
"Perpanjangan jangka waktu permohonan atau penyelesaian terkait administrasi perpajakan juga sangat dinanti, baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak. Ini akan mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, mengurangi risiko penularan COVID-19, memberi kelonggaran, dan menjamin kredibilitas penyelesaian permohonan atau administrasi perpajakan," kata dia.
Selanjutnya, hanya perlu mempertimbangkan implementasinya agar lebih luwes, menyesuaikan masa tanggap darurat Pemerintah dan kesesuaian dengan Indikator Kinerja Utama. Terkait hal ini, pengaturan WFH juga perlu diselaraskan dan dimodifikasi agar tepat sasaran dan tujuan, termasuk memikirkan aspek keselamatan pegawai.
Yustinus menyebut Pemerintah berkomitmen baik dengan mengevaluasi insentif dan memperluas ke sektor-sektor lain yang terdampak, di luar industri pengolahan. Ia menilai pemerintah punya kemauan mendengarkan dan mengikuti saran pertimbangan banyak pihak.
"Tentu ini kabar baik karena pandemi ini telah menimbulkan dampak luar biasa ke hampir semua sektor usaha. Relaksasi berupa PPh 21 dan PPh 25 ditanggung pemerintah, pembebasan atau penundaan pemungutan bea masuk dan PPh 22 impor, dan percepatan restitusi PPN akan sangat membantu cash flow perusahaan dan individu. Hal konkret yang di depan mata menjadi ancaman survival," ujarnya.
Tidak hanya itu, pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat kebijakan terkait fasilitas kepabeanan, khususnya terhadap impor barang-barang yang dibutuhkan untuk penanganan COVID-19, akan jadi terobosan penting di tengah rumitnya regulasi impor dan tumpang tindih kewenangan di lapangan.
Kebijakan ini diracik bersamaan dengan upaya Kementerian Perekonomian dalam melakukan orkestrasi kebijakan sektoral yang partisipatoris. Hal tersebut akan berdampak positif bagi upaya penanganan COVID-19.
"Misalnya, percepatan produksi ventilator, bed rumah sakit, masker, APD, dan lainnya. Tarian insentif-disinsentif akan amat penting dan berguna jika dimainkan dengan lihai," katanya.
Menurutnya, koordinasi otoritas fiskal dan otoritas moneter belakangan ini memberi harapan bahwa kita bisa menghadirkan kepemimpinan yang efektif. Orkestrasi yang semakin baik ini kiranya juga bisa hadir lebih besar lagi dalam kepemimpinan penanganan COVID-19 yang multidimensi ini.
"Rakyat yang panjang sabar, bersolider, rajin berderma, dan fakta masih beratnya perjuangan di lapangan, kiranya semakin mendorong upaya-upaya pengendalian yang lebih baik, baik oleh pemimpin maupun para tokoh dan intelektual," tukasnya.
(akr)