Terseok-seoknya Dunia Usaha Menghadapi Simalakama Corona

Sabtu, 04 April 2020 - 07:25 WIB
Terseok-seoknya Dunia...
Terseok-seoknya Dunia Usaha Menghadapi Simalakama Corona
A A A
JAKARTA - Pemerintah memberikan imbauan agar perkantoran menerapkan kebijakan bekerja dari rumah sebagai langkah pencegahan penularan virus corona (Covid-19) . Namun, tampaknya hal ini masih belum diterapkan oleh sejumlah perusahaan swasta di Jakarta. Juga untuk usaha-usaha nonformal seperti pedagang makanan dan minuman di luar pusat perbelanjaan.

Di Provinsi DKI Jakarta, misalnya, imbauan itu dikeluarkan melalui Surat Edaran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta Nomor 14/SE/2020 Tahun 2020 tentang Imbauan kepada Dunia Usaha untuk Menerapkan Kerja dari Rumah atau Work From Home (WFH). Imbauan ini dikeluarkan untuk meminimalkan pekerja beraktivitas di luar rumah guna mencegah meluasnya wabah virus corona atau Covid-19.

Namun, hal tersebut tidak mencangkup semua sektor usaha. Beberapa sektor masih diperbolehkan untuk mempekerjakan karyawannya di kantor dan lapangan seperti bidang layanan kesehatan, pangan atau kebutuhan pokok, energi dan jasa keuangan pembayaran. (Baca: Relaksasi Perpajakan Bisa Pulihkan Ekonomi Pasca COVID-19)

Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta tidak bisa memberikan sanksi kepada perusahaan yang belum menerapkan WFH.

"Yang bisa memberikan sanksi adalah pemerintah pusat. Bila ingin menekan atau lebih memaksa perusahaan untuk menerapkan WFH, pemerintah pusat harus turun tangan. Kita sifatnya hanya imbauan, istilahnya panggilan moral. Saat ini sudah ada 1.512 perusahaan dengan total karyawan 517.743 orang yang sudah menerapkan WFH," ujar Andri, di Jakarta, kemarin.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung meminta pemerintah memberi aturan yang jelas tentang peraturan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) sebagai langkah penghambat persebaran virus corona. Namun, masih banyak pegawai yang harus ke kantor karena perusahaan yang belum menerapkan kebijakan yang mendukung program tersebut.

"Saya lihat masih banyak orang yang bekerja seperti biasa. Dari pantauan, mereka yang ke kantor lebih banyak bukan karena tugas yang tidak bisa ditinggalkan, melainkan karena belum ada kebijakan dari perusahaan," katanya.

Martin mengatakan, ada juga yang tetap bekerja karena mereka bergantung pada upah atau tunjangan harian. Hal ini juga yang menyebabkan para pekerja enggan tinggal di rumah. Untuk beberapa perusahaan yang masih mempekerjakan karyawannya tentu harus bisa memperhatikan kesehatan karyawan.

"Perusahaan wajib memperhatikan kesehatan karyawannya, misalkan dengan memberikan proteksi diri seperti memberikan tambahan vitamin, masker, dan menyiapkan fasilitas kesehatan untuk menjaga mereka agar tetap aman dan tidak waswas," sebut Martin. (Baca juga: Kementerian BUMN dan DPR Hasilkan 8 Kesimpulan Soal Corona)

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai pemerintah harus memanggil pemilik perusahaan yang belum mematuhi imbauan tersebut. "Dipanggil, kemudian diberikan informasi. Jadi, supaya menjalankan aturan bekerja di rumah itu," ujar Trubus, saat dihubungi KORAN SINDO.

Dia meyakini para pemilik perusahaan akan langsung menerapkan kebijakan bekerja di rumah jika imbauan tersebut langsung diberikan oleh pemerintah. Hanya, pemerintah harus siap memberikan kompensasi kepada sejumlah perusahaan yang telah menerapkan aturan tersebut.

"Tentunya perusahaan harus menggaji karyawannya. Kalau dilihat dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dia harus digaji. Oleh karena itu, pemerintah mesti memberikan kompensasi, misalkan, kompensasinya berupa keringanan pajak," katanya.

Penyampaian informasi yang kurang lengkap oleh pemerintah menjadi penyebab masih adanya perusahaan yang mempekerjakan karyawannya di kantor hingga saat ini. Namun, Trubus menilai ini masih sangat wajar jika komunikasi pemerintah tidak tersampaikan dengan baik kepada jajaran perusahaan.

Untuk membuat rasa nyaman para karyawan yang belum bisa melakukan WFH, Psikolog Rini Setyowati mengatakan harus ada rasa saling pengertian antara perusahaan dan karyawan untuk sama-sama memproteksi diri agar menghilangkan rasa cemas dalam diri mereka.

"Tidak mungkin mereka tidak cemas. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gejala obsesif kompulsif dan gangguan mental yang menyebabkan mereka harus melakukan proteksi diri secara berulang-ulang. Bila tidak dilakukan, individu tersebut akan terus diliputi kecemasan dan ketakutan," tandasnya.

Rini menyarankan sebaiknya perusahaan bisa melakukan sistem libur secara bergantian untuk karyawannya atau menyediakan layanan kesehatan khusus di kantor yang bisa diakses dengan mudah oleh karyawannya. Dengan begitu, mereka bisa lebih aman dan tidak memiliki rasa cemas yang berlebihan.

Dilema Pelaku Usaha yang Masih Tetap Bekerja

Untuk menghambat persebaran virus corona, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah meminta penghentian sementara aktivitas perkantoran dan segala kegiatan operasional industri pariwisata seperti bioskop, bar, dan restoran yang jumlahnya mencapai 1.400 unit.

Jika melanggar, sanksi yang diberikan berupa surat peringatan hingga pencabutan izin, diperingatkan tiga kali tapi tidak dipatuhi. ‎Namun, hal inilah yang membawa dilema tersendiri bagi para pelaku usaha.

Anggota Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta mengatakan, banyak pelaku usaha yang dilematis antara mengikuti peraturan pemerintah atau mengikuti perjanjian dengan pusat perbelanjaan tempat mereka beroperasi, yaitu untuk mengikuti jam buka dan tutup pusat perbelanjaan.

"Bisa dikatakan ini adalah hal yang sangat dilematis untuk para pelaku usaha. Kami juga harus mengikuti jam buka dan tutup toko. Tidak bisa sepihak menutup toko karena mereka juga harus menjaga keutuhan (operasional) suatu pusat perbelanjaan," ungkap Tutum.

Sampai saat ini hanya segelintir mal yang tutup. Sebagian besar hanya mengurangi jam operasionalnya. Sementara untuk toko yang menjual kebutuhan pangan masih melayani masyarakat, karena permintaan yang cukup tinggi.

"Sampai saat ini gerai makanan masih banyak permintaan. Tapi, di beberapa gerai non-food, kami lagi bernegosiasi dengan pusat belanja dan pemda agar diizinkan untuk tutup," katanya.

Tutum pun mengatakan sampai saat ini anggota yang telah menutup gerainya masih belum mencapai 1%. Untuk menolong keberlangsungan anggotanya, Tutum meminta pemerintah agar ada insentif perpajakan di tengah kesulitan ekonomi yang muncul akibat pandemi corona ini.

"Kami meminta insentif pajak diringankan agar para pelaku usaha pun bebannya ringan. Ini juga untuk memperpanjang keberlangsungan usaha kami," ungkapnya.

Jika dipaksakan toko tetap buka namun tidak ada konsumen yang berbelanja, perusahaan akan bangkrut. "Jika tidak ada keringanan pajak, bisa-bisa para pelaku usaha akan memecat karyawannya. Kalau ada keringanan, kami bisa bernapas panjang. Jika tidak cepat dilakukan, dua hingga tiga bulan kami bisa tutup dan 40% perusahaan di pusat perbelanjaan akan bertumbangan dan susah bangkit," tandasnya.

Kebijakan WFH tidak bisa sepenuhnya diterapkan pada seluruh industri. Hal ini ditegaskan wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani bahwa tidak semua industri dan tidak semua fungsi kerja bisa dilakukan secara remote. "Kami pun tidak memaksa perusahaan untuk menutup kantor atau aktivitas usahanya," sebut Shinta.

Apindo pun telah meminta perusahaan yang masih melakukan aktivitas bekerja di kantor untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat mengakomodasi langkah social distancing di tempat kerja.

Pengusaha juga diminta untuk mempermudah karyawannya mengakses fasilitas kesehatan dan menjaga sanitasi tempat kerja. "Kami telah memberikan imbauan kepada pengusaha untuk menyediakan akses cepat terhadap perawatan kesehatan bila pekerjanya memiliki gejala korona dan fleksibilitas untuk mengakomodasi pekerja dari gangguan terhadap transportasi umum," ujarnya.

Shinta pun berharap‎ pemerintah tidak memaksakan karantina, tetapi memberikan protokol kesehatan dan tindakan pencegahan yang jelas dan tegas apabila perusahaan masih memerlukan karyawan untuk bekerja. (Aprilia S Andyna)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1508 seconds (0.1#10.140)