RUU Cipta Kerja Jadi Cara Menjaring Investasi Berorientasi Ekspor

Rabu, 23 September 2020 - 22:58 WIB
loading...
RUU Cipta Kerja Jadi...
Ekspor manufaktur Indonesia disebut termasuk terendah di Asia, karenanya investasi berorientasi ekspor jadi salah satu instrumen dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya menyebut, ekspor manufaktur Indonesia termasuk terendah di Asia. Untuk itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan transformasi ekonomi untuk memprioritaskan investasi yang berorientasi ekspor, yang salah satu instrumennya adalah Omnibus Law Cipta Kerja .

“Negara-negara Asia Timur seperti Korea, kemudian negara Malaysia, Taiwan dan Thailand ekonominya bergerak maju karena banyak investasi di sektor manufaktur. Ekspor manufaktur Indonesia paling rendah,” beber Berly pada diskusi bertajuk Menyoal Konflik dalam RUU Cipta Kerja.

(Baca Juga: Menangkap Peluang Relokasi Pabrik dari China dengan Permudah Investasi )

Berly menjelaskan, masalah rendahnya presentase investasi berorientasi ekspor di Indonesia sudah lama berlangsung. Trajektorinya turun sejak tahun 2000. Padahal Indonesia belum termasuk negara kaya seperti Jepang atau Korea yang beralih dari sektor manufaktur ke sektor jasa.

Menurut Berly, kemunculan RUU Omnibus Law Cipta Kerja berangkat dari beberapa masalah. Pertama, banyak peraturan yang tumpang tindih, akibatnya tidak ada kepastian dan menghambat dunia usaha. Oleh karenanya, banyak peraturan yang perlu diubah supaya sinkron.

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini mengatakan, untuk mengubah semua peraturan yang menghambat itu membutuhkan waktu yang lama. “Faktualnya, mengubah satu undang-undang saja bisa memakan waktu 1-2 tahun di DPR RI,” katanya.

Lebih lanjut Ia membeberkan, peringkat kemudahan buka usaha di Indonesia yang terbenam di peringkat 144. Untuk itu, UU yang ingin meningkatkan investasi sudah seharusnya untuk mengatasi persoalan itu.

(Baca Juga: Indonesia Bisa Gantikan China Sebagai Destinasi Investasi, Asal... )

“Ada 18 prosedur pusat dan Pemda untuk buka usaha di Indonesia. Itu termasuk paling sulit. Kemudian perlu 200 hari untuk dapat IMB. Itu paling lama dibanding negara lain,” ungkap Berly.

Yang menjadi latar belakang kemunculan RUU Cipta Kerja kedua adalah dalam UU terkait usaha banyak yang menyinggung wewenang menteri-menteri. Namun menurut Berly, dalam praktiknya, terdapat kementerian yang tidak tanggap untuk meresponsnya. Akibatnya, dalam RUU Cipta Kerja wewenang itu diambil alih oleh Presiden.

Menurut Berly, tujuan RUU Cipta Kerja itu bagus. Tetapi dalam isinya, terdapat pasal-pasal yang perlu dikritisi dan salah arah. Ia memberikan catatan terkait izin dalam RUU Cipta Kerja yang prosedurnya berbasis risiko. “Analisa berbasis risiko, perlu dilengkapi dengan analisa dan ada safeguard seperti di Australia,” tegasnya.

Selain itu, ia berharap adanya RUU Cipta Kerja tidak mengorbankan kawasan desa (hutan dan SDA) untuk kesejahteraan (penghuni kota). Katanya jika mengabaikan lingkungan, kerugian ekonominya tinggi.

“Pertumbuhan ekonomi dan investasi rendah, yang kita butuhkan adalah sektor manufaktur berorientasi ekspor. RUU Ciptaker ini justru mendorong investasi berbasis sumberdaya alam,” tambah Berly.

Berly juga menilai perlu agar RUU Cipta Kerja diikuti perbaikan sektor kesehatan, kualitas tenaga kerja dan infrastruktur. Menurutnya itu akan ampuh menarik investor asing khususnya di sektor manufaktur yang berorientasi ekspor.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1165 seconds (0.1#10.140)