Sawit dan Masyarakat Adat Bisa Hidup Berdampingan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perkebunan sawit dan masyarakat adat sama-sama saling membutuhkan dalam kegiatan pembangunan ekonomi di daerah dan Indonesia. Di provinsi sentra kelapa sawit, banyak kelompok masyarakat adat yang hidup dari perkebunan sawit. Akan tetapi, ada sekelompok LSM memanfaatkan masyarakat adat untuk menebarkan kebencian terhadap perkebunan sawit.
“Masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit tidak perlu dipertentangkan karena perkebunan itu bertujuan menyejahterakan dan sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit juga dimiliki masyarakat, termasuk masyarakat adat. Ketika ada persoalan dengan masyarakat adat, terkadang perusahaan perkebunan di daerah tidak mendapatkan informasi dari pemerintah daerah bahwa lahan perkebunan tersebut telah ditetapkan sebagai hutan adat,” ujar Ketua Borneo Forum Totok Dewanto di Jakarta, kemarin. (Baca: Berkata Kotor dan Keji, Dosa yang Sering Diabaikan)
Totok menjelaskan, banyak perusahaan sawit di wilayah Kalimantan belum mendapatkan informasi detail berkaitan peta hutan adat. Karena informasinya belum jelas terkait peta hutan adatnya, maka belum bisa memberikan informasi secara mendetail. Tentu yang diharapkan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit adalah adanya jaminan kepastian berusaha dan perlindungan hukum berdasarkan regulasi. Tidak ada perusahaan yang ingin memperuncing persoalan dengan masyarakat termasuk masyarakat adat.
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra menyebutkan, pemerintahan Joko Widodo memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan sawit berkelanjutan dengan menerbitkan peraturan, antara lain Inpres No 8/2018, Inpres No 6/2019, dan Perpres No 44/2020. Dengan luas dampak dan manfaat dari industri kelapa sawit bagi Indonesia, maka keberadaan dan hubungan masyarakat hukum adat dengan kelapa sawit adalah suatu kenyataan yang harus menjadi bagian bagi pengembangan praktik berkelanjutan. (Baca juga: Mahasiswa ITS Buat Aplikasi Pemantau Manula)
“Harus diakui, kelapa sawit merupakan komoditas paling efisien dan tinggi produktivitas sampai sekarang. Dalam konteks masyarakat adat dan kebun sawit, harus ada perubahan perspektif tidak sebatas melihat masalah. Tapi, temukan solusi. Karena sawit juga bisa memberikan manfaat bagi masyarakat. Di sisi lain, perlu penyediaan ruang hidup bagi masyarakat adat yang proporsional dan berkekuatan hukum,” kata Surya Tjandra.
Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo sepakat apabila kelapa sawit dan masyarakat adat sebaiknya tidak perlu dipertentangkan karena masyarakat adat tidak ingin konflik dengan siapa pun, termasuk dengan pengembang kebun sawit. Banyak pula masyarakat adat yang menjadi bagian dalam pengembangan kebun sawit.
Berkaitan dengan pembahasan RUU Masyarakat Adat, pemerintah sebaiknya melihat RUU ini lebih jeli karena berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Sebab, mayoritas lahan yang diklaim sebagai wilayah adat juga masuk sebagai klaim kawasan hutan oleh KLHK. Melihat kondisi riil masyarakat adat saat ini, menurut pakar hukum kehutanan Sadino, RUU tersebut patut dicermati lebih jeli karena saat ini masyarakat adat telah diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan lintas sektoral.
Sebaiknya regulasi yang ada dan terkait masyarakat adat yang tersebar tersebut, pemerintah mengharmoniskan peraturan hukum adat yang sudah ada. Dikhawatirkan kalau RUU Masyarakat Adat diketuk oleh DPR juga tidak bisa diimplementasikan. “Sudah ada di UU Kehutanan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Dalam Negeri, Kementrian Desa dan Peraturan Daerah lainnya,” kata Sadino. (Lihat videonya: Dua Kelompok Ormas di Bekasi Terlibat Bentrok)
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyebutkan, tantangan yang dihadapi industri sawit kian berat lantaran dihadang beragam isu, seperti tenaga kerja, hak asasi manusia, dan masyarakat adat. Untuk itu, pemerintah diharapkan membuat kepastian bagi investasi melalui implementasi regulasi. “Karena isu sosial terus digerakkan dengan isu masyarakat adat lalu klaim tanah. Klaim tanah sekarang nuansanya menjadi klaim masyarakat adat. Bahkan, kebun yang usianya sudah mencapai ratusan tahun diklaim punya masyarakat adat,” katanya.
Pemerintah juga sebaiknya lebih jeli melihat persoalan ini karena banyak petani berasal dari masyarakat adat dan lokal setempat. “Petani sawit dari masyarakat setempat sebaiknya dilindungi juga. Sebagai contoh, petani yang diklaim ada di kawasan hutan menghadapi ketidakpastian,” ujarnya. (Sudarsono)
“Masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit tidak perlu dipertentangkan karena perkebunan itu bertujuan menyejahterakan dan sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit juga dimiliki masyarakat, termasuk masyarakat adat. Ketika ada persoalan dengan masyarakat adat, terkadang perusahaan perkebunan di daerah tidak mendapatkan informasi dari pemerintah daerah bahwa lahan perkebunan tersebut telah ditetapkan sebagai hutan adat,” ujar Ketua Borneo Forum Totok Dewanto di Jakarta, kemarin. (Baca: Berkata Kotor dan Keji, Dosa yang Sering Diabaikan)
Totok menjelaskan, banyak perusahaan sawit di wilayah Kalimantan belum mendapatkan informasi detail berkaitan peta hutan adat. Karena informasinya belum jelas terkait peta hutan adatnya, maka belum bisa memberikan informasi secara mendetail. Tentu yang diharapkan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit adalah adanya jaminan kepastian berusaha dan perlindungan hukum berdasarkan regulasi. Tidak ada perusahaan yang ingin memperuncing persoalan dengan masyarakat termasuk masyarakat adat.
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra menyebutkan, pemerintahan Joko Widodo memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan sawit berkelanjutan dengan menerbitkan peraturan, antara lain Inpres No 8/2018, Inpres No 6/2019, dan Perpres No 44/2020. Dengan luas dampak dan manfaat dari industri kelapa sawit bagi Indonesia, maka keberadaan dan hubungan masyarakat hukum adat dengan kelapa sawit adalah suatu kenyataan yang harus menjadi bagian bagi pengembangan praktik berkelanjutan. (Baca juga: Mahasiswa ITS Buat Aplikasi Pemantau Manula)
“Harus diakui, kelapa sawit merupakan komoditas paling efisien dan tinggi produktivitas sampai sekarang. Dalam konteks masyarakat adat dan kebun sawit, harus ada perubahan perspektif tidak sebatas melihat masalah. Tapi, temukan solusi. Karena sawit juga bisa memberikan manfaat bagi masyarakat. Di sisi lain, perlu penyediaan ruang hidup bagi masyarakat adat yang proporsional dan berkekuatan hukum,” kata Surya Tjandra.
Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo sepakat apabila kelapa sawit dan masyarakat adat sebaiknya tidak perlu dipertentangkan karena masyarakat adat tidak ingin konflik dengan siapa pun, termasuk dengan pengembang kebun sawit. Banyak pula masyarakat adat yang menjadi bagian dalam pengembangan kebun sawit.
Berkaitan dengan pembahasan RUU Masyarakat Adat, pemerintah sebaiknya melihat RUU ini lebih jeli karena berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Sebab, mayoritas lahan yang diklaim sebagai wilayah adat juga masuk sebagai klaim kawasan hutan oleh KLHK. Melihat kondisi riil masyarakat adat saat ini, menurut pakar hukum kehutanan Sadino, RUU tersebut patut dicermati lebih jeli karena saat ini masyarakat adat telah diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan lintas sektoral.
Sebaiknya regulasi yang ada dan terkait masyarakat adat yang tersebar tersebut, pemerintah mengharmoniskan peraturan hukum adat yang sudah ada. Dikhawatirkan kalau RUU Masyarakat Adat diketuk oleh DPR juga tidak bisa diimplementasikan. “Sudah ada di UU Kehutanan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Dalam Negeri, Kementrian Desa dan Peraturan Daerah lainnya,” kata Sadino. (Lihat videonya: Dua Kelompok Ormas di Bekasi Terlibat Bentrok)
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyebutkan, tantangan yang dihadapi industri sawit kian berat lantaran dihadang beragam isu, seperti tenaga kerja, hak asasi manusia, dan masyarakat adat. Untuk itu, pemerintah diharapkan membuat kepastian bagi investasi melalui implementasi regulasi. “Karena isu sosial terus digerakkan dengan isu masyarakat adat lalu klaim tanah. Klaim tanah sekarang nuansanya menjadi klaim masyarakat adat. Bahkan, kebun yang usianya sudah mencapai ratusan tahun diklaim punya masyarakat adat,” katanya.
Pemerintah juga sebaiknya lebih jeli melihat persoalan ini karena banyak petani berasal dari masyarakat adat dan lokal setempat. “Petani sawit dari masyarakat setempat sebaiknya dilindungi juga. Sebagai contoh, petani yang diklaim ada di kawasan hutan menghadapi ketidakpastian,” ujarnya. (Sudarsono)
(ysw)