Industri Ritel Makin Tertekan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerapan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk ke sekian kalinya membuat para pelaku usaha di sektor ritel dan pengelola pusat perbelanjaan kalang kabut. Bagaimana tidak, mereka terpaksa kehilangan calon pembeli karena pembatasan jumlah pengunjung ke pusat perbelanjaan.
Tak hanya itu, para pelaku usaha restoran dan kafe juga kini di pusat perbelanjaan sepi karena di masa PSBB pembeli tidak diperbolehkan makan/minum di tempat. (Baca: Salat Dhuha Bukan Sekedar Membuka Pintu Rezeki)
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia Budiharjo Iduansjah mengungkapkan, dampak PSBB membuat para pengusaha ritel kehilangan omzet hingga Rp200 triliun. Kehilangan tersebut terjadi karena pusat perbelanjaan hanya punya batas kapasitas 50% selama pemberlakuan aturan tersebut.
"Kami itu setahun sekitar Rp400 triliun. Jadi kalau hanya 50%, ya omzetnya turun Rp200 triliun. Ya, kerugiannya di situ," kata Budi saat konferensi pers di Jakarta kemarin.
Dia juga menyampaikan, meski kapasitas mal hanya setengah, pihaknya tetap harus membayar pajak dan hak karyawan. Untuk itu, dia bersama asosiasi meminta agar pemerintah dapat memberikan keringanan dari segi pajak dan subsidi gaji.
"Kami meminta keringanan pajak. Kemudian masalah gaji pegawai, mohon pemerintah juga membantu. Setidaknya memberikan subsidi gaji sebesar 50%. Jadi, 50% dari pemerintah dan 50% dari pengusaha," katanya.
Dia menambahkan, arus kas dari tenant (penyewa) di pusat perbelanjaan juga sudah lesu sejak Maret karena adanya PSBB. Saat ini pengunjung pusat perbelanjaan hanya 10% dari jumlah pengunjung saat masa transisi PSBB. (Baca juga: Sekolah di Merangin Mulai Belajar Tatap Muka dengan Protokol Ketat)
"Pusat belanja dan tenant enam bulan ini berat. Tidak baik dari Maret sampai sekarang, omzet dan kas dari perusahaan minim," tandasnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengakui, pelaku usaha yang berbisnis di pusat perbelanjaan telah merasakan resesi ekonomi dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini seiring dengan pembatasan yang terjadi hingga memengaruhi bisnis mereka.
"Sebetulnya buat kami, resesi sudah dirasakan dari beberapa bulan lalu. Jika diumumkan, resesi itu memang cuma akumulasi saja," kata Alphonzus.
Menurutnya, resesi ekonomi yang terjadi di Tanah Air tidak bisa dihindari sebab negara lain pun mengalami situasi yang sama. Namun, kata dia, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pemerintah dapat mempersingkat mungkin resesi ini tidak berkepanjangan. “Itu yang harus dilakukan pemerintah," katanya. (Baca juga: Pneumonia Butuh Penanganan Serius)
Dia menambahkan, jika resesi terus berlarut-larut dalam waktu yang lama maka ini akan memberatkan bagi pelaku usaha. "Jika resesi ini terjadi dalam waktu yang lama maka pelaku usaha bisa kolaps," katanya.
Sebelumnya, Alphonzus mengatakan pelaku usaha lain yang berbisnis di pusat perbelanjaan seperti restoran dan kafe, juga terdampak PSBB. Maklum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melarang makan di tempat dan restoran serta hanya bisa melayani pembelian take away alias dibawa pulang.
Menurutnya, saat ini tercatat jumlah pegawai yang bekerja di restoran dan kafe di mal Ibu Kota sekitar 400.000 orang. Namun, dengan situasi terkini di mana terjadi pembatasan, pengelola restoran dan kafe mengalami paceklik sehingga terpaksa merumahkan sementara beberapa pegawainya.
"Jumlah karyawan yang dirumahkan saat ini ada sekitar 50% dari jumlah tersebut. Sementara baru dirumahkan yang berpotensi besar dapat di-PHK jika PSBB ketat yang diberlakukan saat ini terus berlangsung untuk jangka waktu yang lama," kata Alphonzus. (Baca juga: Era Teknologi KTP Biometrik Dimulai)
Ketua DPD APPBI DKI Jakarta Ellen Hidayat sebelumnya menyebutkan, trafik pengunjung masa PSBB transisi pada pertengahan Juni lalu mencapai 35–45%. Meski sepi, kata dia, para pelaku usaha dan tenant berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga seluruh pihak agar bisa bekerja.
“Apabila mal ditutup, tentu banyak pihak yang akan kena getahnya, seperti UKM, (petugas) parkir, pedagang kecil, hingga pemasok barang ke pusat perbelanjaan,” katanya.
Dia menambahkan, saat ini baik pengelola pusat belanja dan juga para tenant bekerja sama untuk bisa melewati keadaan yang berat ini. “Setidaknya kami masih bisa membuka lapangan kerja bagi para karyawan yang sangat membutuhkan penghasilan," kata Ellen. (Baca juga: Jalan Terjal Anwar Ibrahim Jadi PM Malaysia)
Ekonom Bank Permata Josua Pardede sebelumnya mengatakan, adanya ancaman resesi yang semakin mendekati kenyataan diperlukan langkah-langkah cepat dari pemerintah, khususnya dalam rangka mendongkrak kembali konsumsi masyarakat.
"Ini yang saya pikir menjadi komponen terbesar sehingga aktivitas dari sisi produksi akan terungkit kalau sisi permintaan terdorong dengan stimulus-stimulus yang diberikan pemerintah," ujar Josua dalam sebuah diskusi Market Review IDX Channel, Jumat (25/9/2020).
Menurutnya, selain data pertumbuhan ekonomi, ada beberapa indikator lain yang memengaruhi resesi atau tidaknya suatu negara, antara lain tingkat pekerjaan, pendapatan domestik bruto, penjualan eceran grosir, dan produksi industri. (Lihat videonya: Sepeda Kayu dari Limbah Kayu Pinus)
Josua menuturkan, jika dilihat dari perkembangan arus pemutusan hubungan kerja (PHK) atau perusahaan yang merumahkan karyawannya sejak April lalu, ada potensi bahwa tingkat pengangguran cenderung akan meningkat. "Kita perkirakan tingkat rasio (PHK) sekitar 9%-an," kata dia. (Ferdi Rantung/Suparjo Ramalan/Fadel Prayoga)
Tak hanya itu, para pelaku usaha restoran dan kafe juga kini di pusat perbelanjaan sepi karena di masa PSBB pembeli tidak diperbolehkan makan/minum di tempat. (Baca: Salat Dhuha Bukan Sekedar Membuka Pintu Rezeki)
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia Budiharjo Iduansjah mengungkapkan, dampak PSBB membuat para pengusaha ritel kehilangan omzet hingga Rp200 triliun. Kehilangan tersebut terjadi karena pusat perbelanjaan hanya punya batas kapasitas 50% selama pemberlakuan aturan tersebut.
"Kami itu setahun sekitar Rp400 triliun. Jadi kalau hanya 50%, ya omzetnya turun Rp200 triliun. Ya, kerugiannya di situ," kata Budi saat konferensi pers di Jakarta kemarin.
Dia juga menyampaikan, meski kapasitas mal hanya setengah, pihaknya tetap harus membayar pajak dan hak karyawan. Untuk itu, dia bersama asosiasi meminta agar pemerintah dapat memberikan keringanan dari segi pajak dan subsidi gaji.
"Kami meminta keringanan pajak. Kemudian masalah gaji pegawai, mohon pemerintah juga membantu. Setidaknya memberikan subsidi gaji sebesar 50%. Jadi, 50% dari pemerintah dan 50% dari pengusaha," katanya.
Dia menambahkan, arus kas dari tenant (penyewa) di pusat perbelanjaan juga sudah lesu sejak Maret karena adanya PSBB. Saat ini pengunjung pusat perbelanjaan hanya 10% dari jumlah pengunjung saat masa transisi PSBB. (Baca juga: Sekolah di Merangin Mulai Belajar Tatap Muka dengan Protokol Ketat)
"Pusat belanja dan tenant enam bulan ini berat. Tidak baik dari Maret sampai sekarang, omzet dan kas dari perusahaan minim," tandasnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengakui, pelaku usaha yang berbisnis di pusat perbelanjaan telah merasakan resesi ekonomi dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini seiring dengan pembatasan yang terjadi hingga memengaruhi bisnis mereka.
"Sebetulnya buat kami, resesi sudah dirasakan dari beberapa bulan lalu. Jika diumumkan, resesi itu memang cuma akumulasi saja," kata Alphonzus.
Menurutnya, resesi ekonomi yang terjadi di Tanah Air tidak bisa dihindari sebab negara lain pun mengalami situasi yang sama. Namun, kata dia, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pemerintah dapat mempersingkat mungkin resesi ini tidak berkepanjangan. “Itu yang harus dilakukan pemerintah," katanya. (Baca juga: Pneumonia Butuh Penanganan Serius)
Dia menambahkan, jika resesi terus berlarut-larut dalam waktu yang lama maka ini akan memberatkan bagi pelaku usaha. "Jika resesi ini terjadi dalam waktu yang lama maka pelaku usaha bisa kolaps," katanya.
Sebelumnya, Alphonzus mengatakan pelaku usaha lain yang berbisnis di pusat perbelanjaan seperti restoran dan kafe, juga terdampak PSBB. Maklum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melarang makan di tempat dan restoran serta hanya bisa melayani pembelian take away alias dibawa pulang.
Menurutnya, saat ini tercatat jumlah pegawai yang bekerja di restoran dan kafe di mal Ibu Kota sekitar 400.000 orang. Namun, dengan situasi terkini di mana terjadi pembatasan, pengelola restoran dan kafe mengalami paceklik sehingga terpaksa merumahkan sementara beberapa pegawainya.
"Jumlah karyawan yang dirumahkan saat ini ada sekitar 50% dari jumlah tersebut. Sementara baru dirumahkan yang berpotensi besar dapat di-PHK jika PSBB ketat yang diberlakukan saat ini terus berlangsung untuk jangka waktu yang lama," kata Alphonzus. (Baca juga: Era Teknologi KTP Biometrik Dimulai)
Ketua DPD APPBI DKI Jakarta Ellen Hidayat sebelumnya menyebutkan, trafik pengunjung masa PSBB transisi pada pertengahan Juni lalu mencapai 35–45%. Meski sepi, kata dia, para pelaku usaha dan tenant berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga seluruh pihak agar bisa bekerja.
“Apabila mal ditutup, tentu banyak pihak yang akan kena getahnya, seperti UKM, (petugas) parkir, pedagang kecil, hingga pemasok barang ke pusat perbelanjaan,” katanya.
Dia menambahkan, saat ini baik pengelola pusat belanja dan juga para tenant bekerja sama untuk bisa melewati keadaan yang berat ini. “Setidaknya kami masih bisa membuka lapangan kerja bagi para karyawan yang sangat membutuhkan penghasilan," kata Ellen. (Baca juga: Jalan Terjal Anwar Ibrahim Jadi PM Malaysia)
Ekonom Bank Permata Josua Pardede sebelumnya mengatakan, adanya ancaman resesi yang semakin mendekati kenyataan diperlukan langkah-langkah cepat dari pemerintah, khususnya dalam rangka mendongkrak kembali konsumsi masyarakat.
"Ini yang saya pikir menjadi komponen terbesar sehingga aktivitas dari sisi produksi akan terungkit kalau sisi permintaan terdorong dengan stimulus-stimulus yang diberikan pemerintah," ujar Josua dalam sebuah diskusi Market Review IDX Channel, Jumat (25/9/2020).
Menurutnya, selain data pertumbuhan ekonomi, ada beberapa indikator lain yang memengaruhi resesi atau tidaknya suatu negara, antara lain tingkat pekerjaan, pendapatan domestik bruto, penjualan eceran grosir, dan produksi industri. (Lihat videonya: Sepeda Kayu dari Limbah Kayu Pinus)
Josua menuturkan, jika dilihat dari perkembangan arus pemutusan hubungan kerja (PHK) atau perusahaan yang merumahkan karyawannya sejak April lalu, ada potensi bahwa tingkat pengangguran cenderung akan meningkat. "Kita perkirakan tingkat rasio (PHK) sekitar 9%-an," kata dia. (Ferdi Rantung/Suparjo Ramalan/Fadel Prayoga)
(ysw)