Pengurus INSA Ramai-Ramai Tegaskan Kedaulatan Kapal Berbendera Indonesia, Ada Apa?

Selasa, 29 September 2020 - 21:21 WIB
loading...
Pengurus INSA Ramai-Ramai...
INSA menegaskan bahwa jika asas cabotage coba dibuka, maka Indonesia akan kehilangan kekuatĂ n potensi maritim nasional di sektor pelayaran. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) menegaskan bahwa keinginan pemerintah untuk membuka akses investor asing dalam kepemilikan kapal berbendera Indonesia untuk kegiatan angkutan muatan dalam negeri tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Hal ini bisa berakibat meredupnya kekuatan industri maritim dalam negeri. Dibukanya akses asing di sektor pelayaran dikhawatirkan ada pada RUU Cipta Kerja. Ketua Umum INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, INSA sepenuhnya mendukung RUU Cipta Kerja selama sektor pelayaran dalam negeri tetap berdaulat di wilayah NKRI.

Menurutnya, penerapan aturan kapal berbendera merah putih atau asas cabotage ditegaskan dalam Inpres No 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 tahun 2008 khususnya di pasal 8 dan pasal 57.

(Baca Juga: Kapal Berlebih, Investasi Asing di Sektor Pelayaran Belum Dibutuhkan)

"Jika asas cabotage coba dibuka, maka Indonesia akan kehilangan kekuatĂ n potensi maritim nasional di sektor pelayaran. Ini bukan berarti kita anti asing, tapi harusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih," tegas Carmelita di Jakarta, Selasa (29/9/2020).

Carmelita juga menambahkan penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, China dan negara-negara maju lainnya. Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim mengatakan, investasi asing di industri pelayaran tidak sama dengan investasi asing di sektor manufaktur dan infrastruktur yang membawa dana dan membuka lapangan pekerjaan.

Hal ini mengingat investasi asing di industri pelayaran tidak bisa diartikan sebagai bentuk aliran dana masuk, melainkan hanya berupa pencatatan asset di pembukuan. Kapal sebagai aset bergerak sangat mudah dipindahtangankan dan berganti bendera negara. Keuntungan pelayaran asing, kata dia, juga akan dibawa balik ke negara mereka, yang artinya devisa negara akan lari ke luar negeri. Alhasil, kondisi ini juga akan membebani neraca pembayaran Indonesia.

Alih-alih mendorong perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja, investasi asing di industri pelayaran justru mengancam lapangan kerja dan ekosistem di industri pelayaran nasional. "Atas dasar itu, DPP INSA menilai konsistensi penerapan asas cabotage merupakan harga mati dan bersifat wajib untuk negara. Dengan begitu, kedaulatan negara terjaga dan perekonomian nasional dapat terus tumbuh," ujarnya.

Tidak hanya terkait dengan devisa, kapal asing yang masuk dikhawatirkan akan berpengaruh pada industri galangan kapal dalam negeri. Ketika kapal asing masuk dan memilih mengunakan galangan luar atau miliknya sendiri, artinya ini sebuah kehilangan bagi industri galangan kapal dalam negeri.

Wakil Ketua Umum III DPP INSA Nova Y Mugijanto mengatakan asas cabotage telah berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja di industri pelayaran dan ekosistem industri di sekitarnya, seperti logistik, galangan, asuransi, klasifikasi Indonesia, industri komponen, konsultan desain kapal, lembaga sekolah dan pelatihan SDM pelaut dan lainnya.

Nova menjelaskan, khusus kondisi bisnis kapal roro penumpang saat ini sudah oversupply, mengingat utilisasi kapal di bawah 50%. Kondisi ini semakin parah saat terjadi pembatasan pergerakan orang saat Covid-19. Atas dasar itu, relaksasi investasi asing di bidang kapal roro penumpang justru akan berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup usaha kapal. "Sehingga bisa berpotensi akan terjadi PHK massal baik di pelayaran maupun industri penunjangnya," tuturnya.

Sementara, Wakil Ketua Umum I INSA Darmansyah Tanamas mengatakan, armada kapal merah putih semakin tumbuh sejak diberlakukannya asas cabotage di Indonesia. Ini terbukti dengan menurunnya jumlah armada asing lantaran armada merah putih berhasil menguasai pangsa pasar angkutan laut domestik.

Seperti kondisi pasar angkutan laut dalam negeri, lanjut Darmansyah, khususnya di sektor minyak dan gas (migas) saat ini hampir 98 persen digantikan oleh armada merah putih. "Tingkat persaingan antar pelaku usaha pelayaran dalam negeri lebih kompetitif karena dalam kondisi equal playing field yang sama," jelas Darmansyah.

(Baca Juga: SOS! Agar Tak Tenggelam oleh Pandemi, Sektor Pelayaran Butuh Dukungan)

Sebelumnya, Pemerintah menyatakan akan memangkas Daftar Negatif Investasi (DNI) dari 20 bidang usaha menjadi enam bidang usaha. Itu berarti akan ada 14 bidang usaha yang akan dibuka untuk asing.

Sebanyak enam bidang usaha yang masih akan tertutup untuk asing meliputi ganja, perjudian, industri dengan proses produksi merkuri, penangkapan spesies ikan yang diindungi serta pemanfaatan atau pengambilan koral (karang dari alam).

Pemangkasan dilakukan atas revisi Perpres No 44 Tahun 2016 yang rencananya akan diundangkan pada Januari 2020. Penyesuaian nama juga diubah dari Daftar Negatif Investasi menjadi Daftar Positif Investasi.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2272 seconds (0.1#10.140)