Kapal Berlebih, Investasi Asing di Sektor Pelayaran Belum Dibutuhkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerapan asas cabotage di industri pelayaran dinilai telah berdampak positif bagi Indonesia. Tidak hanya menggerakkan ekonomi, tapi juga telah menjaga kedaulatan bangsa. Oleh sebab itu, investasi asing di sektor pelayaran dinilai tidak memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional, terlebih kapal merah putih di dalam negeri saat ini sudah oversupply.
Kapal nasional berbendera merah putih terus mengalami pertumbuhan positif sejak diterapkannya asas cabotage yang tertuang dalam Inpres No 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 Tahun 2008. (Baca: Inilah Nasib Orang yang Bakhil)
Kementerian Perhubungan mencatat, jumlah armada nasional mencapai 32.587 unit pada 2019. Dengan kekuatan saat ini, armada pelayaran telah mampu melayani seluruh angkutan logistik domestik.
Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan, asas cabotage merupakan keistimewaan yang dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan yang perlu dijaga penerapannya untuk kepentingan nasional.
Menurutnya, jika asas cabotage coba dibuka maka Indonesia akan kehilangan potensi maritim dari sektor pelayaran. “Ini bukan berarti kita antiasing, tapi seharusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Di sisi lain, asas cabotage juga sebagai bentuk kedaulatan negara (sovereign of the country). Kapal merah putih sesuai Undang-Undang No. 03 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memiliki peran kewajiban bela negara khususnya pada saat negara dalam keadaan darurat dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara.
Penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, China. (Baca juga: Penting Buat Orangtua, Kenali Gejala Kanker Pada Anak)
Sebelumnya, pemerintah menyatakan akan memangkas Daftar Negatif Investasi (DNI) dari 20 bidang usaha menjadi enam bidang usaha. Itu berarti akan ada 14 bidang usaha yang akan dibuka untuk asing.
Enam bidang usaha yang masih akan tertutup untuk asing meliputi ganja, perjudian, industri dengan proses produksi merkuri, penangkapan spesies ikan yang dilindungi, serta pemanfaatan atau pengambilan koral (karang dari alam).
Pemangkasan dilakukan atas revisi Perpres No 44/2016 yang rencananya diundangkan pada Januari 2020. Penyesuaian nama juga diubah dari Daftar Negatif Investasi menjadi Daftar Positif Investasi.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, enam bidang usaha yang tertutup untuk asing merupakan usulan BKPM. "Ini usulan BKPM dan diputuskan di Kemenko Perekonomian," ungkap Bahlil. (Lihat videonya: Banjir Bandang Terjang Desa Cicurug, Sukabumi)
Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim mengatakan kekhawatirannya jika investasi asing yang berkaitan dengan kepentingan negara dibuka lebar melalui sektor kepemilikan kapal. Menurutnya, kapal merah putih milik nasional dapat dimobilisasi sebagai komponen pertahanan negara, sedangkan kapal Indonesia yang dimiliki asing pasti akan enggan bahkan kemungkinan akan hengkang dari Indonesia.
“Oleh karenanya atas pertimbangan-pertimbangan ini, potensi masuknya investor asing pada pelayaran domestik belum/tidak diperlukan pada industri pelayaran, bahkan dinilai sangat membahayakan keberadaan pengusaha pelayaran nasional,” pungkasnya. (Ichsan Amin)
Kapal nasional berbendera merah putih terus mengalami pertumbuhan positif sejak diterapkannya asas cabotage yang tertuang dalam Inpres No 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 Tahun 2008. (Baca: Inilah Nasib Orang yang Bakhil)
Kementerian Perhubungan mencatat, jumlah armada nasional mencapai 32.587 unit pada 2019. Dengan kekuatan saat ini, armada pelayaran telah mampu melayani seluruh angkutan logistik domestik.
Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan, asas cabotage merupakan keistimewaan yang dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan yang perlu dijaga penerapannya untuk kepentingan nasional.
Menurutnya, jika asas cabotage coba dibuka maka Indonesia akan kehilangan potensi maritim dari sektor pelayaran. “Ini bukan berarti kita antiasing, tapi seharusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Di sisi lain, asas cabotage juga sebagai bentuk kedaulatan negara (sovereign of the country). Kapal merah putih sesuai Undang-Undang No. 03 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memiliki peran kewajiban bela negara khususnya pada saat negara dalam keadaan darurat dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara.
Penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, China. (Baca juga: Penting Buat Orangtua, Kenali Gejala Kanker Pada Anak)
Sebelumnya, pemerintah menyatakan akan memangkas Daftar Negatif Investasi (DNI) dari 20 bidang usaha menjadi enam bidang usaha. Itu berarti akan ada 14 bidang usaha yang akan dibuka untuk asing.
Enam bidang usaha yang masih akan tertutup untuk asing meliputi ganja, perjudian, industri dengan proses produksi merkuri, penangkapan spesies ikan yang dilindungi, serta pemanfaatan atau pengambilan koral (karang dari alam).
Pemangkasan dilakukan atas revisi Perpres No 44/2016 yang rencananya diundangkan pada Januari 2020. Penyesuaian nama juga diubah dari Daftar Negatif Investasi menjadi Daftar Positif Investasi.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, enam bidang usaha yang tertutup untuk asing merupakan usulan BKPM. "Ini usulan BKPM dan diputuskan di Kemenko Perekonomian," ungkap Bahlil. (Lihat videonya: Banjir Bandang Terjang Desa Cicurug, Sukabumi)
Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim mengatakan kekhawatirannya jika investasi asing yang berkaitan dengan kepentingan negara dibuka lebar melalui sektor kepemilikan kapal. Menurutnya, kapal merah putih milik nasional dapat dimobilisasi sebagai komponen pertahanan negara, sedangkan kapal Indonesia yang dimiliki asing pasti akan enggan bahkan kemungkinan akan hengkang dari Indonesia.
“Oleh karenanya atas pertimbangan-pertimbangan ini, potensi masuknya investor asing pada pelayaran domestik belum/tidak diperlukan pada industri pelayaran, bahkan dinilai sangat membahayakan keberadaan pengusaha pelayaran nasional,” pungkasnya. (Ichsan Amin)
(ysw)