Cadangan Energi Fosil Makin Tipis, Saatnya Beralih ke EBT
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia masih tergantung pada impor dalam penyediaan energi guna memenuhi kebutuhan di dalam negerinya. Ketergantungan impor energi ini menjadi salah satu tantangan dalam menjaga kedaulatan perekonomian dan ketahanan energi nasional .
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengatakan, ketergantungan terhadap energi fosil semakin lama makin mengkhawatirkan karena ketersediaan cadangannya semakin terbatas. Untuk itu, tegas dia, Indonesia memerlukan transisi dari energi berbasis fosil yang memberikan dampak serius terhadap lingkungan ke energi hijau yang menjadi tren global.
(Baca Juga: India Agresif Kembangkan Energi Baru Terbarukan, Bagaimana Indonesia?)
"Kondisi Indonesia saat ini masih didominasi oleh energi fosil. Masih ada sekitar 91% energi kita dipenuhi energi fosil, yaitu batu bara, minyak dan gas bumi. Baru sekitar 9,15% dari energi kita dipenuhi energi baru terbarukan (EBT) ," ujarnya dalam acara jumpa pers Indo EBTKE ConEx 2020 secara virtual, Jumat (9/10/2020).
Harris melanjutkan, untuk sektor pembangkit tercatat sudah ada sekitar 10.400 MW pembangkit dari EBT atau 15% dari total 69.000 MW pembangkit saat ini. Namun, jika dilihat lebih detail lagi, pembangkit yang ada saat ini belum mencapai 100% rumah tangga Indonesia. "Baru sekitar 98,9%. Artinya masih ada 1% rumah tangga di Indonesia yang belum ada akses listrik sama sekali," ungkapnya.
Demikian pula yang sudah berlistrik juga masih banyak yang kualitas listriknya belum bagus. "Ada yang penyediaan listriknya hanya 12 jam, 10 jam, bahkan ada yang kurang dari itu. Nah, ini juga tentunya harus kita perbaiki," jelasnya.
Harris menuturkan, Indonesia memiliki potensi EBT sebesar 400 Giga Watt (GW) yang perlu dikembangkan secara masif. Pemerintah tengah berupaya menyelesaikan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tarif Tenaga Listrik EBT yang akan mengatur aspek keekonomian.
(Baca Juga: Target Bauran Energi Baru Terbarukan 23% Harus Terealisasi 2025)
Nantinya di dalam rancangan Perpres tersebut akan mengatur EBT yang berdasarkan aspek keekonomian, teknologi EBT yang digunakan, dan juga lokasi EBT itu akan dibangun. "Harga yang dimasukan dalam Perpres itu akan berbeda sehingga lebih menarik bagi investor," tuturnya.
Pemerintah meyakini kehadiran Perpres EBT ini akan memberikan dampak yang besar bagi pengembangan EBT di Indonesia. "Ini juga jadi payung hukum yang lebih kuat dibandingkan peraturan-peraturan terdahulu. Kami yakin Perpres ini bisa kita laksanakan," tandasnya.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengatakan, ketergantungan terhadap energi fosil semakin lama makin mengkhawatirkan karena ketersediaan cadangannya semakin terbatas. Untuk itu, tegas dia, Indonesia memerlukan transisi dari energi berbasis fosil yang memberikan dampak serius terhadap lingkungan ke energi hijau yang menjadi tren global.
(Baca Juga: India Agresif Kembangkan Energi Baru Terbarukan, Bagaimana Indonesia?)
"Kondisi Indonesia saat ini masih didominasi oleh energi fosil. Masih ada sekitar 91% energi kita dipenuhi energi fosil, yaitu batu bara, minyak dan gas bumi. Baru sekitar 9,15% dari energi kita dipenuhi energi baru terbarukan (EBT) ," ujarnya dalam acara jumpa pers Indo EBTKE ConEx 2020 secara virtual, Jumat (9/10/2020).
Harris melanjutkan, untuk sektor pembangkit tercatat sudah ada sekitar 10.400 MW pembangkit dari EBT atau 15% dari total 69.000 MW pembangkit saat ini. Namun, jika dilihat lebih detail lagi, pembangkit yang ada saat ini belum mencapai 100% rumah tangga Indonesia. "Baru sekitar 98,9%. Artinya masih ada 1% rumah tangga di Indonesia yang belum ada akses listrik sama sekali," ungkapnya.
Demikian pula yang sudah berlistrik juga masih banyak yang kualitas listriknya belum bagus. "Ada yang penyediaan listriknya hanya 12 jam, 10 jam, bahkan ada yang kurang dari itu. Nah, ini juga tentunya harus kita perbaiki," jelasnya.
Harris menuturkan, Indonesia memiliki potensi EBT sebesar 400 Giga Watt (GW) yang perlu dikembangkan secara masif. Pemerintah tengah berupaya menyelesaikan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tarif Tenaga Listrik EBT yang akan mengatur aspek keekonomian.
(Baca Juga: Target Bauran Energi Baru Terbarukan 23% Harus Terealisasi 2025)
Nantinya di dalam rancangan Perpres tersebut akan mengatur EBT yang berdasarkan aspek keekonomian, teknologi EBT yang digunakan, dan juga lokasi EBT itu akan dibangun. "Harga yang dimasukan dalam Perpres itu akan berbeda sehingga lebih menarik bagi investor," tuturnya.
Pemerintah meyakini kehadiran Perpres EBT ini akan memberikan dampak yang besar bagi pengembangan EBT di Indonesia. "Ini juga jadi payung hukum yang lebih kuat dibandingkan peraturan-peraturan terdahulu. Kami yakin Perpres ini bisa kita laksanakan," tandasnya.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
(fai)