Pertamina Tetap Beroperasi Saat Pandemi Menjaga Gerak Roda Ekonomi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tetap beroperasinya PT. Pertamina (Persero) saat pandemi corona atau Covid-19, menurut Anggota Komisi VII DPR Harry Poernomo sebagai bentuk perannya dalam menjaga gerak roda ekonomi nasional. Menurutnya Pertamina memang terdampak dengan anjloknya harga minyak dunia, sebab 80% keuntungan tahunan diperoleh dari sektor hulu dan sisanya sektor hilir.
"Sebenarnya, anjoknya harga minyak dunia juga memukul Pertamina, terutama di sektor hulu. Namun Pertamina tetap menjaga operasionalnya sehingga bisa menjaga gerak roda ekonomi nasional," kata Harry di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Namun lanjutnya saat terkena dampak, Pertamina justru memilih untuk mempertahankan operasional hulu dan menjaga produksi kilang. Selain itu juga tidak memilih membeli minyak impor keseluruhan tetapi tetap menyerap minyak dari KKKS di dalam negeri meski dengan harga lebih tinggi.
"Ini karena Pertamina mengemban fungsi ganda. Satu sisi komersial dan sisi lain adalah program pemerintah atau penugasan. Dan ini pula yang membedakan Pertamina dengan perusahaan komersial lain," kata Harry.
Terang dia kalau saja Pertamina memilih menutup kilang, melakukan impor keseluruhan, menutup sumur migas dan tidak membeli minyak mentah dari KKKS dalam negeri, dampaknya akan luar biasa. Selain pendapatan Pemerintah berkurang dari sektor pajak, juga berdampak terhadap KKKS itu sendiri, yang akibatnya bisa terjadi PHK besar-besaran terhadap karyawan KKKS.
"Yang diuntungkan tentu pemilik minyak luar negeri. Sedangkan perusahaan dalam negeri seperti KKKS dan juga mitra lain yang terkait dengan sektor hulu migas, akan berhenti atau berkurang pendapatannya. Dan yang pasti dikorbankan pertama adalah dengan mengurangi karyawan," kata dia.
Menurut Harry, di sisi lain, menjalankan kilang memang memiliki dampak ekonomi nasional yang sangat panjang yaitu, Pertamina turut menjaga kegiatan hulu dan juga memutar perekonomian dalam negeri. Sedangkan kalau menghentikan kilang, maka Pertamina juga akan sulit untuk melakukan restart lagi.
"Selain itu, kalau kilang berhenti, karyawan mau dikemanakan? Banyak sekali tenaga kerja yang terkait dengan keseluruhan ekosistem migas, terutama aktifitas Pertamina dari hulu sampai hilir," katanya melalui keterangan tertulis.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Profesor Sulastri Surono juga mendukung Pertamina yang tetap mempertahankan operasionalnya. Menurut dia, upaya tersebut memberi dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat di tengah pandemi COVID-19 yakni mencegah pengangguran lebih besar di Indonesia.
"Dengan masih bekerja, masyarakat juga memiliki daya beli yang cukup, sehingga aktivitas ekonomi juga bisa terjaga. Jadi, multiplier effect-nya sangat besar,” katanya.
Sektor migas yang merupakan rantai suplai untuk menjaga ketersediaan dan pelayanan energi di Indonesia merupakan sektor yang tetap diperbolehkan beroperasi selama masa PSBB ini.
Potensi pengangguran tersebut, menurut Sulastri, juga terjadi pada rekanan Pertamina, sebab, dalam operasional, Pertamina selalu bermitra dengan perusahaan lain. Dengan demikian, opsi Pertamina untuk mempertahankan operasional, memiliki dampak besar terhadap ekonomi.
"Kalau tidak, hancur-hancuran juga, pengangguran akan bertambah. Dan ini sangat merugikan ekonomi makro, yang menjadikan 'unemployment' sebagai salah satu indikator,” kata dia.
"Sebenarnya, anjoknya harga minyak dunia juga memukul Pertamina, terutama di sektor hulu. Namun Pertamina tetap menjaga operasionalnya sehingga bisa menjaga gerak roda ekonomi nasional," kata Harry di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Namun lanjutnya saat terkena dampak, Pertamina justru memilih untuk mempertahankan operasional hulu dan menjaga produksi kilang. Selain itu juga tidak memilih membeli minyak impor keseluruhan tetapi tetap menyerap minyak dari KKKS di dalam negeri meski dengan harga lebih tinggi.
"Ini karena Pertamina mengemban fungsi ganda. Satu sisi komersial dan sisi lain adalah program pemerintah atau penugasan. Dan ini pula yang membedakan Pertamina dengan perusahaan komersial lain," kata Harry.
Terang dia kalau saja Pertamina memilih menutup kilang, melakukan impor keseluruhan, menutup sumur migas dan tidak membeli minyak mentah dari KKKS dalam negeri, dampaknya akan luar biasa. Selain pendapatan Pemerintah berkurang dari sektor pajak, juga berdampak terhadap KKKS itu sendiri, yang akibatnya bisa terjadi PHK besar-besaran terhadap karyawan KKKS.
"Yang diuntungkan tentu pemilik minyak luar negeri. Sedangkan perusahaan dalam negeri seperti KKKS dan juga mitra lain yang terkait dengan sektor hulu migas, akan berhenti atau berkurang pendapatannya. Dan yang pasti dikorbankan pertama adalah dengan mengurangi karyawan," kata dia.
Menurut Harry, di sisi lain, menjalankan kilang memang memiliki dampak ekonomi nasional yang sangat panjang yaitu, Pertamina turut menjaga kegiatan hulu dan juga memutar perekonomian dalam negeri. Sedangkan kalau menghentikan kilang, maka Pertamina juga akan sulit untuk melakukan restart lagi.
"Selain itu, kalau kilang berhenti, karyawan mau dikemanakan? Banyak sekali tenaga kerja yang terkait dengan keseluruhan ekosistem migas, terutama aktifitas Pertamina dari hulu sampai hilir," katanya melalui keterangan tertulis.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Profesor Sulastri Surono juga mendukung Pertamina yang tetap mempertahankan operasionalnya. Menurut dia, upaya tersebut memberi dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat di tengah pandemi COVID-19 yakni mencegah pengangguran lebih besar di Indonesia.
"Dengan masih bekerja, masyarakat juga memiliki daya beli yang cukup, sehingga aktivitas ekonomi juga bisa terjaga. Jadi, multiplier effect-nya sangat besar,” katanya.
Sektor migas yang merupakan rantai suplai untuk menjaga ketersediaan dan pelayanan energi di Indonesia merupakan sektor yang tetap diperbolehkan beroperasi selama masa PSBB ini.
Potensi pengangguran tersebut, menurut Sulastri, juga terjadi pada rekanan Pertamina, sebab, dalam operasional, Pertamina selalu bermitra dengan perusahaan lain. Dengan demikian, opsi Pertamina untuk mempertahankan operasional, memiliki dampak besar terhadap ekonomi.
"Kalau tidak, hancur-hancuran juga, pengangguran akan bertambah. Dan ini sangat merugikan ekonomi makro, yang menjadikan 'unemployment' sebagai salah satu indikator,” kata dia.
(akr)