Kartu Prakerja Dinilai Sarat Konflik Kepentingan

Kamis, 07 Mei 2020 - 14:29 WIB
loading...
Kartu Prakerja Dinilai...
Ilustrasi Kartu Prakerja. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, menilai Kartu Prakerja tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat yang terdampak Covid-19. Ia menilai yang diuntungkan dari program ini adalah penyedia modul pendidikan.

"Masyarakat tidak mendapat keuntungan dari program pelatihan Prakerja karena saat ini lebih perlu bantuan sosial langsung. Bukan pembelian modul pelatihan, karena di Google dan YouTube banyak modul pelatihan gratis," tukas Uchok.

Menurut Uchok, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto adalah biang masalah Kartu Prakerja, karena memaksakan program berjalan tanpa mendengar kritik publik.

Terlebih lagi, sambung Uchok, harga modul pelatihan sebagai syarat mendapat insentif dari Kartu Prakerja begitu mahal, serta kualitas dan pengawasan pelatihan yang tidak jelas.

"Kalau tidak mau dibilang sumber masalah, batalkan dong program itu. Jika Menko Perekonomian ngotot melaksanakan, maka wajar kami menilai mungkin ada kepentingan terselubung. Pemerintah harus tahu kebutuhan rakyatnya, bukan mengakomodasi kepentingan pihak tertentu," ujarnya.

Kritikan keras datang dari Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies Jerry Massie, yang menilai program Kartu Prakerja bisa dikategorikan sebagai "begal digital". Lantaran hal itu bukanlah urusan Airlangga Hartarto selaku Menko Perekonomian, melainkan domain Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Lanjut dia, meski Kartu Prakerja memiliki payung hukum berupa Perpres No.36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja, hal itu tetap berpotensi memiliki masalah yang cukup besar.

"Begal itu kan merampas. Nah, Menko Perekonomian ini telah merampas tugas Kemenaker dan Kemendikbud. Ini jelas-jelas menyalahi etika. Selain itu, anggarannya pun harus diketuk di DPR. Dan banyak yang kecewa karena tak sesuai dengan tujuan," tukas Jerry, Kamis (7/5/2020).

Pada kesempatan berbeda, Head of Research Data Indonesia, Herry Gunawan, justru melihat bahwa sejak peluncuran program Kartu Prakerja sudah terlihat adanya masalah konflik kepentingan. Sebab, diketahui salah satu dari delapan perusahaan rintisan (start-up) yang menjadi mitra prakerja tersebut ternyata milik Adamas Belva Syah Devara, Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga CEO Ruangguru.

"Kasus ruang guru itu yang pasti ada conflict of interest, sebab Belva adalah staf khusus presiden saat penunjukan terjadi. UU Administrasi Pemerintahan 2014 dan modul 'Penanganan Konflik Kepentingan' KPK menegaskan hal itu," tukas Herry.

Meski Adamas Belva Syah Devara telah mengundurkan diri sebagai staf khusus Presiden Jokowi pada 17 April 2020 silam, Herry menegaskan, aparat hukum tetap harus menyelidiki potensi dugaan korupsi dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja.

"Kan regulasinya sudah ada dan sangat jelas soal penanganan konflik kepentingan. Karena itu, penting bagi aparat hukum untuk menyelidiki potensi terjadinya penyimpangan di proyek pelatihan Rp5,6 triliun itu," tegas Herry.
(bon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1118 seconds (0.1#10.140)